Selasa, 03 Mei 2011

“Lunturnya Nilai-Nilai & Kebudayaan Indonesia”

Nilai-nilai budaya lokal dewasa ini kian luntur, bahkan menghilang di masyarakat. Kecenderungan ini hampir terlihat dalam berbagai kehidupan, baik sosial, politik, maupun hukum. Dalam pembahasan ini SIKAP membahas tentang arti dari plularisme yang sesungguhnya dalam konteks lunturnya nilai dan kebudayaan.

Indonesia terkenal dengan keragamannya namun hal itu diterima hanya sebagai fakta bukan sebagai prinsip yang mengarahkan. Terlebih lagi masa depan pluralisme di Indonesia masih ditentukan oleh negosiasi politik antara elit agama dan elit negara. Sehingga toleransi keragamaan di Indonesia menjadi amat rapuh.

Keragaman Indonesia tak hanya tercermin dari budayanya, tapi juga dari etnis, bahasa, agama, dan sumber daya alamnya. Sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia seperti Budha, Islam, Kristen dan yang lainnya, masyarakat pribumi telah hidup dengan berbagai kepercayaan lokal, yang kini masih dipraktikkan oleh beberapa suku di pedalaman.
Untuk mengelola keragaman ini para pendiri bangsa memutuskan sebuah platform bersama, yakni Pancasila, dengan lima nilai inti: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial.

Nilai-nilai ini mengatur kehidupan masyarakat. Peran penting agama dalam kehidupan publik diakui oleh sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, seharusnya sila ini diimplementasikan untuk tidak mendukung agama tertentu, termasuk Islam—sebagai agama mayoritas—untuk menjadi ideologi negara. Namun pada praktiknya justru negara terkadang membiarkan beberapa kelompok dari agama tertentu untuk mengedepankan kepentingannya dengan cara-cara kekerasan. Seperti kasus-kasus penyerangan dan juga pemaksaan terhadap kalangan minoritas.

Menanggapi peristiwa ini, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama SKB 3 Menteri; Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, yang melarang kalangan Ahmadiyah untuk menyebarkan ajaran mereka demi “menjaga kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat”.

Contoh lain dari tidak adanya kebijakan yang jelas adalah ketika pemerintah tidak mengambil posisi menyangkut fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 yang melarang kaum Muslim untuk mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama yang sah.

Sementara itu, lunturnya nilai-nilai pancasila diperparah oleh tidak adanya sinkronisasi antara ucapan dengan tindakan dari para pejabat negara dalam proses berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang justru amat jauh dari nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan.
Perilaku yang tidak baik serta kurangnya komitmen dan tanggungjawab dari para pemimpin bangsa dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai budaya di masyarakat dan telah mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat nilai kebudayaan sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadilah kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana kelompok tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling baik.

Taufiqurrahman selaku Center For Information and Development Studies” berpendapat bahwa pluralisme merupakan sikap saling toleransi dan menghargai bukan hanya antar agama saja, namun juga antar budaya. Meskipun kita tahu kenyataannya pluralisme belum bisa berjalan di Indonesia. Namun pluralisme dapat di lakukan dengan cara sikap tidak saling mengganggu dan mengusik satu sama lain.”

Beliau menambahkan bahwa karena pemetaan masalah yang sebenarnya belum diketahui dengan jelas, maka konflik antar agama dan budaya kerap kali terjadi. Dalam hal ini peran pemerintah dituntut untuk lebih tegas dalam mengatur hukum yang berlaku agar mampu meredam konflik-konflik tersebut.
Multikulturalisme apa bila tidak di atur dengan tepat oleh pemerintah maka akan menjadi bom waktu yang siap untuk meledak kapan saja dan berpotensi memecah belah persatuan di indonesia, pluralisme di Indonesia saat ini masih dalam tahap perkembangan, dan dapat di katakan bahwa indonesia saat ini masih belum merdeka akan pluralisme”, ujar beliau dengan nada yang begitu serius.

Contoh dari pluralisme di indonesia menurut beliau adalah bersatunya rakyat Indonesia pada momentum Reformasi tahun 1998 dimana penggulingan kekuasaan  Presiden Soeharto. Mereka bersama-sama bekerjasama untuk bebas dari kediktatoran Rezim Tiran Soeharto”.  

Kini parlemen tengah membahas kemungkinan merevisi KUHP. Ini adalah kesempatan bagi kalangan masyarakat sipil untuk mendorong amandemen pasal yang melegalkan investigasi dan hukuman bagi kelompok-kelompok yang menyimpang dari doktrin-doktrin agama untuk melindungi setiap warga negara dari intimidasi atau kekerasan ketika menjalankan agama dan kepercayaan mereka.

Harmoni sosial yang sesungguhnya tak akan terwujud dengan membisukan keragaman; itu hanya bisa diraih ketika hak-hak setiap warga negara dipenuhi, dan setiap kelompok bebas dari diskriminasi agama. Agar ini terwujud, negara tidak boleh memihak pada doktrin agama manapun.

Penulis: Mei & Rudi.red

0 komentar: