Rabu, 20 Oktober 2010

Kisah Nyata Nasib Anak-anak Indonesia Yang Kurang Mampu

Ini kisah nyata tentang nasib anak-anak usia sekolah di Indonesia yang hidupnya kurang mampu/miskin dengan kondisi mereka yang sangat memperihatinkan pada akhirnya mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Mudah-mudahan dengan semakin banyak saudara-saudari kita yang peduli terhadap nasib-nasib anak-anak tersebut terutama memberikan bantuan berupa dana pendidikan insha Alloh problematika-problematika tersebut akan ditemukan solusinya.

Aduh… Susahnya Rakyat Miskin Pergi ke Sekolah
SEPERTI biasa Asep Supriyadi (14) saban hari selalu berada di SD Negeri 06 Rawajati Barat di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Hanya saja, saat anak-anak lain mengikuti pelajaran di kelas, bocah berkulit hitam itu setia menjagai gerobak siomay dagangannya.

BEGITU bel istirahat berdering, saat itu pula kesibukan Asep melayani para pembeli cilik yang masih seumur dengannya dimulai. Sesekali Asep terlihat bercanda-canda dengan mereka. Selain di sekolah itu, Asep juga berjualan di beberapa SD dan SMP di kawasan itu.

Hampir satu tahun ini Asep yang lulusan SD Negeri 04 di Desa Cengal, Majalengka, Jawa Barat, tidak bersekolah lagi. Dia tidak ingin membebani orangtuanya yang hanya penjual sayur-sayuran dan kadang- kadang terpaksa mencari rumput pakan sapi untuk menutupi biaya hidup. Selain itu, pelajaran di sekolah menurut dia terlalu berat sehingga dia merasa tidak kuat atau tidak cukup pintar untuk belajar terus.

Ketika kakak sepupunya, Udin, mengajak dia ke Jakarta untuk berjualan siomay, Asep Supriyadi dan orangtuanya langsung mengiyakan. Tiga bulan sudah dia berjualan, mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 15.00, berkeliling mendorong gerobak. Upah Rp 200.000 dibayarkan langsung ke orangtuanya di desa. Di Ibu Kota, bocah itu tinggal bersama lima pedagang lain di sebuah kamar kontrakan di daerah Pancoran. "Lebih baik saya dagang, dapat uang," kata Asep mempertegas niatnya untuk melupakan saja bersekolah.

Kalau Asep Supriyadi memilih berhenti sekolah dan bekerja, nasib lebih tragis menimpa Bunyamin (17). Siswa kelas II Logam I SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itu tewas gantung diri di tiang dapur rumahnya (Kompas, Kamis 7 April 2005). Ironisnya, Bunyamin diduga bunuh diri lantaran tidak mampu membayar biaya sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP). Kepada Kamiluddin (26), sepupunya, almarhum sempat bercerita selama sepuluh hari tidak masuk sekolah takut tidak bisa membayar uang sekolah, rendah diri dan ngeri dikeluarkan dari sekolah. Apalagi saat itu sudah menjelang ujian akhir. Saking paniknya, menurut salah seorang temannya, Bunyamin sempat berniat menjual sepatu yang biasa dipakai ke sekolah untuk menutupi uang SPP.

Uang sekolahnya itu sebesar Rp 40.000 sebulan dan sudah tertunggak sembilan bulan. Orangtua almarhum merantau di Jakarta sebagai penjual nasi goreng sehingga Bunyamin tinggal bersama kakaknya yang sudah mempunyai tanggungan keluarga sendiri. Sebelum upaya pihak sekolah mencarikan beasiswa berhasil, Bunyamin kadung memilih mengakhiri hidupnya.

DARI sekian banyak pilihan sebagai bangsa yang baru merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan mencerdaskan bangsa sebagai salah satu tujuan negara. Pendidikan saat itu telah disadari merupakan hak dasar dan mencerdaskan bangsa. Artinya, tidak ada satu pun yang boleh tertinggal untuk mengecap pendidikan. Ironisnya, hampir enam puluh tahun kemudian, pendidikan masih menjadi kemewahan. Bahkan, masih ada warga di negeri ini yang tak sanggup lagi mengecapnya, seperti Asep dan Bunyamin.

Pusat Data dan Informasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional memproyeksikan, murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/ MA mencapai 1.122.742 anak. Angka terbesar justru putus sekolah tingkat SD, yakni mencapai 685.967.

Turunnya kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya-terutama pada masyarakat lapisan kelas bawah, menurut proyeksi itu, masih menjadi penyebab utama tingginya jumlah anak yang putus sekolah. Gejala ini memberi dampak negatif, yaitu semakin banyaknya anak usia sekolah yang harus bekerja pada berbagai lapangan pekerjaan. Tak bisa dimungkiri, kualitas angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah ini menyebabkan profesionalitas sumber daya manusia Indonesia tergolong rendah dan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Berdasarkan proyeksi itu, masalah uang sekolah serta biaya langsung atau tidak langsung pendidikan sangat memengaruhi pemenuhan partisipasi di sekolah. Banyak anak menyangkal hak mereka untuk menempuh hak mereka untuk pendidikan dasar.

Laporan tim Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menyebutkan biaya pendidikan lebih banyak ditanggung masyarakat daripada pemerintah. Porsi biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari total biaya pendidikan. Sementara porsi biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua siswa) sebesar 26,13-42,26 persen dari total biaya pendidikan yang harus dikeluarkan.

Berbagai jurus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, di antaranya melalui pemberian beasiswa dengan dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang sudah beberapa tahun ini berjalan. Dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan tahun 2005 ini, misalnya, diputuskan sekitar Rp 9 triliun. Dari dana tersebut, besar beasiswa atau dana bantuan khusus murid (BKM) per siswa miskin di tingkat SD atau sederajat Rp 25.000 per bulan. Sementara bantuan bagi siswa SMP sederajat Rp 65.000 per bulan per siswa, dan SMA sederajat Rp 120.000 per bulan untuk masing-masing siswa.

Namun, pemberian beasiswa sebelumnya tidak juga menyelesaikan persoalan di lapisan bawah masyarakat. Angka putus sekolah tetap tinggi. Pemerintah pada dasarnya memang tidak cukup hanya memberikan beasiswa, sebab untuk dapat pergi ke sekolah siswa membutuhkan hal-hal lain yang kadang menguras kantong lebih banyak daripada uang sekolahnya.

Paling tidak itu dialami oleh Nurdin (46). Lelaki yang tinggal di daerah Pengadegan, Jakarta Selatan, itu sehari-hari mencari nafkah dengan menjadi pemulung kardus sejak mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai sekuriti di sebuah perusahaan tahun 1997. Saking miskinnya, pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, itu harus tinggal di emperan toko dekat pul bus Damri di Pasar Minggu.
Dia mempunyai empat anak, dua di antaranya sudah berusia SD. Namun, Nurdin baru dapat menyekolahkan satu anaknya, yakni Nurprihatin (11), di SD Negeri 05 Pengadegan, Kalibata. Sementara Nurpriyanto yang berusia sembilan tahun belum bersekolah.

Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Nurprihatin saja dia kerepotan, padahal uang SPP sudah dibebaskan. Setiap hari dia masih harus menyiapkan ongkos transportasi Rp 3.000 untuk naik mikrolet dan ojek. Terkadang, kalau penghasilan sedang kurang, Nurdin hanya memberi ongkos sekali jalan. Pulangnya, dia akan menjemput si anak dengan gerobak untuk memulung.

Dalam setahun terakhir, untuk kebutuhan lima setel seragam terdiri atas seragam merah putih, pramuka, dan batik, Nurdin harus merogoh kocek sekitar Rp 200.000. Untuk buku pelajaran sekitar Rp 160.000. Dia juga bercerita bahwa masih menunggak enam bulan biaya ekstrakurikuler komputer, yang sebulannya Rp 15.000.
Padahal, dengan mencari kardus, Nurdin hanya mendapatkan Rp 15.000 per hari. Istrinya juga tidak bekerja. Bisa dibayangkan betapa susah hidup mereka. Untuk makan yang wajar bagi lima orang anggota keluarganya setidaknya dibutuhkan Rp 24.000 sehari. Jika sedang tidak ada rezeki, Nurdin terpaksa mengalah tidak makan. "Kadang saya beruntung, ada saja orang yang memberikan sedekah. Saya juga pernah dapat bantuan uang dari sekolah," katanya.

Hal senada diungkapkan Jaka, yang berjualan gorengan di daerah Kalibata. Anaknya bersekolah di SD Negeri 03 Jumapolo di Ngamblang, Karang Anyar, Solo, Jawa Tengah. "Untuk uang sekolah memang saya masih mampu, yakni Rp 16.000 per bulan, tetapi untuk seragam misalnya, harus menyediakan uang sekitar Rp 30.000 untuk satu setel seragam di awal tahun. Belum lagi buku pelajaran yang mencapai puluhan ribu rupiah," katanya.
Permasalahan serupa terjadi pula di daerah yang telah mendeklarasikan bebas SPP. Kenyataannya, di lapangan justru muncul bermacam pungutan yang dapat memberatkan para siswa dan orangtuanya.

Ade Irawan dari Divisi Pendidikan Indonesian Coruption Watch mencatat, ada sekitar 39 jenis pungutan di sekolah. Mulai dari biaya rapor, guru bantu, lembar kerja siswa, fotokopi ujian, komputer, disket, nilai olahraga, peringatan hari besar, mutasi, awal tahun, sarana olahraga, uang kunti, kapur, ekstrakurikuler, sampai kawinan guru. Ada saja murid yang akhirnya tidak meneruskan sekolah karena tidak mampu menebus ijazah dan membayar kegiatan ekstrakurikuler. Model lainnya, siswa yang baru masuk ke sekolah tidak langsung diinformasikan biaya yang harus dikeluarkan. Sesudah seminggu atau sebulan sekolah berjalan, baru pengelola sekolah memanggil orangtua murid untuk meminta partisipasi biaya karena ada keperluan ini dan itu. Orangtua murid akhirnya terjebak dan tidak mempunyai banyak pilihan.

Terkait beasiswa, untuk menentukan siapa si miskin yang berhak menerima sumbangan juga menjadi soal dan kerap gagal. Akibatnya, beasiswa rawan jatuh ke tangan yang salah.
Pernah pula terlontar niatan membangun sistem subsidi silang, yang dikuatkan dengan keputusan presiden atau bahkan ditingkatkan menjadi undang-undang. Dengan mekanisme subsidi silang yang dianggap berwatak sosial oleh pemerintah itu masyarakat mampu secara finansial akan menyubsidi warga miskin.

Sekolah negeri unggulan secara bertahap juga didorong mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah, yang dengan kata lain mengarah kepada privatisasi pendidikan. Adapun dananya dilimpahkan lebih banyak ke sekolah untuk memperluas akses bagi masyarakat dengan standar pelayanan pendidikan minimal tertentu. Peserta didik dari daerah tertinggal atau miskin diupayakan tetap memiliki akses ke sekolah yang baik atau unggulan dengan sistem subsidi silang. Akan diatur kewajiban sekolah memberikan beasiswa.

Hanya saja, muncul pertanyaan siapa yang akan menyubsidi orang miskin di daerah miskin? FAISAL Madani dari Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional berpendapat, yang diperlukan sekarang adalah sinergi di semua sektor pemerintah agar mengatasi permasalahan sehingga masyarakat miskin tersentuh dan hak mereka terpenuhi. Tidak hanya dari segi pendidikan saja, tetapi ekonomi keluarga miskin juga harus dibantu untuk mengangkat kemampuan mereka.

Kalau dilihat dari APBN, pendidikan sudah berada di nomor dua setelah anggaran pertahanan dan keamanan. Pemerintah setidaknya telah mencoba meletakkan persoalan pendidikan dalam prioritas. Hanya saja, persoalan yang mengiringinya sangat banyak dan tidak mudah.

Selain jumlah anak usia belajar yang besar, terjadi perubahan sistem menjadi desentralisasi. Ada pula masalah penegakan demokrasi dan akuntabilitas publik.

Untuk itu, perlu dibangun prakondisi yang harus dimulai dari pemberdayaan masyarakat. Namun, pemberdayaan masyarakat tersebut jangan langsung diarahkan kepada pembiayaan mandiri, melainkan pemberdayaan masyarakat untuk berani menuntut haknya. Negara juga tetap harus mempunyai rasa berkepentingan untuk menanggung kewajibannya apa pun kondisinya.

Bagaimana juga anak miskin sebagai warga negara mempunyai hak memperoleh pendidikan bermutu tanpa diskriminasi. Hak memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat ini ini juga diperkuat dalam Artikel 26 (1) dari Universal Declaration of Human Rights, yang menyebutkan: Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.

Pemikiran lain, pendidikan dapat menjadi salah satu alat pemutus penting mata rantai kemiskinan itu sendiri. Berbagai kesepakatan dunia internasional telah pula menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara penanggulangan kemiskinan, peningkatan keadilan, serta keadilan sosial. Jadi, keadilan akses terhadap pendidikan dasar memang tidak bisa ditunda lagi. (Indira Permanasari)

(Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724863.htm)

0 komentar: