Sabtu, 21 Mei 2011

SIKAP Gandeng Komnas HAM dan Poros Gelar Pelatihan Fotografi



JAKARTA, PedomanNEWS.com - Upaya untuk terus mengkampanyekan perlindungan serta penegakan HAM dapat dilakukan dengan beragam cara. Mulai dari penyuluhan hingga pembuatan film-film dokumenter acap kali digunakan sebagai medium sosialisasi.
Melihat antusiasme kalangan muda terhadap dunia fotografi membuat Buletin SIKAP menggandeng Komnas HAM dan Poros Photos untuk menggelar pelatihan fotografi bertemakan Human Rights and Social Documentary Photography.
"Kita sedang berupaya mencari cara agar kesadaran dalam menegakan HAM dapat dilakukan oleh para kaum muda melalui sesuatu hal yang mereka sukai (fotografi)," ujar salah satu panitia.
Kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih satu bulan tersebut diselenggarakan atas inisiatif sebuah lembaga pers yang dikelola oleh mahasiswa, Buletin SIKAP. Bekerjasama dengan Komnas HAM selaku fasilitator materi HAM dan Poros Photos selaku fasilitator foto, mereka mencoba menangkap beragam peristiwa yang berkaitan dengan isu-isu HAM ke dalam medium foto.
Rencananya kegiatan ini akan berlangsung mulai 21 Mei hingga 14 Juni 2011 mendatang dan diikuti oleh berbagai kampus di Jakarta.
Penulis: Taufik H Karepesina

Senin, 16 Mei 2011

Workshop Human Rights and Social Documentary Photography

PENGUMUMAN

Kepada seluruh kawan-kawan pelajar dan mahasiswa yang memiliki ketertarikan serta motivasi yang kuat untuk terus meningkatkan kemampuan serta manambah pengetahuan, dengan ini diberitahukan kepada seluruh calon peserta baik yang telah mendaftarkan diri maupun yang baru akan melakukan pendaftaran untuk mengikuti kegiatan Workshop Human Rights & Social Documentary Photography bahwa:

1. Pendaftaran diperpanjang hingga Kamis, 19 Mei 2011 pukul 18.00 WIB

2. Biaya registrasi peserta turun menjadi Rp 350.000,-

3. Pengumuman hasil seleksi dilakukan pada Kamis, 19 Mei 20011 pukul 21.00 WIB 

Terima kasih atas perhatiannya,

Jakarta, 16 Mei 2011 
 
Panitia Pelaksana
WHR-SDP 

Selasa, 03 Mei 2011

Pluralisme

Sebagai negeri kepulauan yang terbesar di dunia Indonesia tampil sebagai ikon pluralisme dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari keberagaman agama, adat istiadat, budaya, suku, bangsa, dan bahasa yang menjadikan Indonesia dikenal dengan pluralitasnya.
Kebudayaan lokal masyarakat nusantara tercermin dalam perbedaan bahasa dan logat, cara berpakaian, sistem adat atau tradisi tiap daerah, sistem kepercayaan dan religi, serta cara hidup masyarakat yang berbeda-beda. Tidak ada yang menghendaki kita hidup bercerai berai hanya karena alasan kita berbeda satu sama lainnya.

Proses Asimilasi Budaya
Sebagai makhluk sosial, menjadi kebutuhan dasar manusia untuk senantiasa bisa berinteraksi dengan sesamanya, tak memandang latar belakangnya. Dampak dari interaksi antara sesama manusia ini melahirkan sesuatu yang baru yang disepakati bersama. Dalam konteks kebudayaan, hasil dari interaksi ini melahirkan asimilasi budaya.
Terminologi asimilasi budaya bisa diterjemahkan sebagai pembaruan atau saling bercampurnya dua unsur kebudayaan yang awalnya berbeda. Unsur-unsur kebudayaan yang menjadi ciri khas dari masing-masing kebudayaan itu lambat laun berganti dengan kebudayaan baru.
Awalnya, asimilasi budaya lahir sebagai upaya mempererat hubungan pelaku budaya, baik berupa tindakan, perasaan, pikiran, dan sikap keseharian dengan lebih mementingkan tujuan dan kepentingan bersama.
Budaya sebagai hasil budi dan daya seseorang atau kelompok orang memang sangat menonjolkan ciri-ciri khas individu atau kelompok pengusung budaya tersebut. Jika masing-masing kelompok mengusung budaya yang berbeda dengan ciri khas masing-masing dan tetap mempertahankan ciri khasnya itu dalam masyarakat di mana terjadi interaksi maka bisa mengganggu keharmonisan dan keselarasan dalam interaksi sehari-hari.

Alasan-alasan itulah yang kemudian melahirkan pikiran-pikiran untuk mengasimilasi budaya tertentu sehingga lahir budaya baru yang lebih bisa diterima oleh semua pelaku interaksi dengan tetap memperhatikan keberagaman sebagai sebuah kekayaan.
Asimilasi budaya tidak semata melahirkan budaya baru sebagai hasil percampuran, namun demikian semakin tipislah perbedaan-perbedaan individu dalam kelompok masyarakat baru tersebut. Masing-masing individu kemudian mengidentifikasi diri masing-masing diselaraskan dengan keinginan atau kepentingan bersama. Inilah salah satu dampak positif dari terjadinya asimilasi budaya.
Masyarakat etnis Cina yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat etnis tertentu di Indonesia misalnya, melahirkan pikiran-pikiran yang bermanfaat untuk kepentingan bersama. Dari sinilah terjadi asimilasi budaya. Tari barong yang telah dipengaruhi atraksi sisingaan misalnya, membuat sebuah atraksi baru yang lebih indah. Asimilasi budaya merupakan buah kesadaran akibat interaksi dua kebudayaan atau lebih yang berbeda dan hidup dalam satu kelompok masyarakat tertentu, yang telah terjadi dalam waktu lama.

Faktor Pendorong
Tingginya toleransi masing-masing individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, ditengarai sebagai cikal bakal munculnya proses asimilasi budaya. Sebaliknya, kelompok-kelompok tertentu yang menutup diri dan kurangnya pemahaman terhadap perubahan kebudayaan yang terjadi, menjadi faktor penghalang dari terjadinya asimilasi budaya.
Selain adanya toleransi yang tinggi, sikap terbuka dari individu atau golongan yang berkuasa dalam sebuah masyarakat, juga merupakan cikal-bakal yang mendorong terjadinya asimilasi budaya. Demikian halnya terjadi perkawinan antara dua kelompok berbeda menjadi faktor pencetus munculnya proses asimilasi budaya.
Sementara faktor-faktor yang dianggap sebagai penghalang untuk terjadinya asimilasi budaya selain yang telah diuraikan sebelumnya, antara lain adalah munculnya prasangka negatif terhadap kebudayaan tertentu. Pikiran-pikiran negatif terhadap kebudayaan tertentu jelas menjadi faktor penghalang proses asimiliasi budaya, karena sikap seperti ini biasanya membuat seseorang atau sekelompok manusia terlalu berhati-hati sehingga interaksi budaya menjadi kaku dan cenderung saling bertahan dengan kebudayaan masing-masing


Pluralisme Budaya
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap "kambing hitam", mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial.
Pada masa lalu, nilai-nilai pluralisme dirangkum dalam wawasan nusantara. Konsep wawasan nusantara mampu mengakomodasi pluralisme yang memaknai dinamika masyarakat beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya ketika itu berlangsung antara lain dalam bentuk sosialisasi "Sumpah Pemuda"; setelah merdeka lebih dikenal dengan ideologi Pancasila.
Ketika itu, pluralisme budaya dalam konteks wawasan nusantara berkembang sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing. Persoalan konkret muncul ketika keanekaragaman budaya menjadi kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.
Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, guru, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat kemanusiaan seorang manusia.
Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal itu nampak jelas ketika sebuah kebaikan yang berlandaskan azas saling menghormati akan muncul dengan sendirinya apabila kita mampu menghadirkan sebuah pamrih yang dikendalikan remote control politik ekonomi dengan kalkulasi untung rugi. Contoh konkrit dapat disaksikan pada berbagai reality show tayangan televisi yang menghadirkan sebuah kebaikan dalam kemasan politik dagang.
Pertanyaannya, kenapa kita enggan saling menghormati? Kenapa kita sulit berbuat baik tanpa pamrih demi memuliakan sebuah kebaikan yang hakiki? Kenapa kita tidak mau menerima keberagaman orang lain tanpa mencurigainya? Kenapa kita sukar menghormati perbedaan pendapat dengan orang lain? Dan kenapa pula kita seakan menjadi ‘mati’ justru ketika kita masih mampu menghirup napas kehidupan dengan bebas?
Permasalahan besar seperti itu agaknya menjadi kecenderungan negatif yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Anehnya lagi, belakangan ini, kita condong menjadi masyarakat yang seragam dalam hal selera dan pemikiran. Kita cenderung emosional, mudah tersinggung, senang menyimpan dendam, dan gampang naik darah ketika menghadapi sebuah permasalahan yang terkadang tidak prinsipial.

Realitas Semu
Terhadap permasalahan tersebut di atas, kita seolah disihir dan dituntun untuk mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Kita didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik ini dimulailah sebuah proses pendewasaan diri manusia.
Akibatnya, kita lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat.
Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Dalam konteks ini, untuk dihormati, cara yang gampang ditempuh lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini. Dampak turunannya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji, dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.
Celakanya, sikap hidup semacam itu mendapatkan peneguhannya dan secara kasatmata tercermin pada masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kemasan kehidupan glamour. Setiap saat menggelar pesta dengan berbagai tajuk untuk merayakan momentum kesuksesan dan kebahagian individu atau kelompok. Dihadiri kalangan selebritis, pejabat publik, dan kalangan jetset. Disuguhi hidangan minuman dan makanan mewah olahan koki terkenal. Perhelatan bersifat hura-hura konsumtif itu dihibur pertunjukan musik dari grup band papan atas, penyanyi kondang, dan penari yang menggoyangkan tarian modern.
Perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas semakin menegaskan keterpurukan kita sebagai masyarakat yang miskin imajinasi. Masyarakat yang cenderung menisbikan keselarasan nalar rasa dan nalar pikir.
Hati nurani kita nyaris tertutup awan hitam yang bersifat artifisial. Sehingga semangat untuk saling menghormati dan senantiasa menyebarkan aura kebaikan menjadi tenggelam akibat disibukkan oleh pemikiran-pemikiran pragmatis, egoistis, dan individualistis.
Ketika lahir di dunia, seorang manusia akan menjadi bagian dari etnik tertentu. Ini bukan suatu pilihan tetapi kenyataan yang harus diterima. Apapun panggilannya? Seseorang berasal dari satu etnik atau suku tertentu tidak bisa ditolak dan sesungguhnya tidak perlu ditolak. Kita tidak boleh malu atau mengingkari etnisitas kita. Bahkan sebaliknya, kita harus bangga bahwa kita merupakan bagian dari satu etnik. Etnik itu merupakan identitas atau jati diri kita yang merupakan bagian dari satu kelompok masyarakat yang ditandai oleh kesamaan keturunan, budaya, adat, dan bahasa.
Kenyataan kehidupan ini menunjukkan bahwa kita berhubungan tidak hanya dengan orang yang satu etnik dengan kita tetapi juga dengan orang yang berasal dari etnik lain. Dalam kondisi masyarakat modern sekarang kita pasti selalu berhadapan dengan orang yang berbeda etnis dengan kita. Perbedaan ini tentu saja tak bisa ditolak, Tuhan sendiri telah dengan sengaja menciptakan manusia dalam kondisi yang berbeda-beda. Penolakan terhadap realitas perbedaan sama saja dengan mengingkari keputusan Tuhan.
Hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengelola keberagaman etnik secara baik agar keberagaman etnik benar-benar menjadi rahmat bagi semua umat manusia. Sebaliknya, keberagaman etnik tidak boleh mendatangkan bencana. Tuhan menciptakan manusia dalam keberagaman pasti mempunyai tujuan tertentu, yaitu agar manusia saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Bila demikian, konflik yang melibatkan etnik yang berbeda merupakan suatu kesalahan besar sebab itu tidak disesuai dengan kehendak Tuhan. Konflik etnik hanya akan menghasilkan bencana dan permusuhan di antara umat manusia.
Keberagaman perbedaan etnik harus dikelola secara benar agar menghasilkan kekuatan besar dalam membangun bangsa ini. Bila itu dilakukan, perbedaan akan menjadi kekuatan dasar untuk membangun Indonesia. Sebaliknya bila salah, pastilah akan menjadi kelemahan sehingga itu akan mendorong terjadinya pertikaian bahkan disintegrasi. Bila benih-benih permusuhan antaretnik telah berkembang dalam diri bangsa Indonesia, sulit bagi bangsa ini untuk maju sebab benih-benih permusuhan akan mendorong terjadinya konflik.
Selanjutnya, bila konflik it uterus menerus terjadi, tentu akan menghambat proses kebangkitan bangsa Indonesia. Mungkin, hal yang perlu dilakukan untuk mendukung pengelolaan keberagaman etnik, yaitu melaksanakan pendidikan multikultural dan membangun komunikasi antarbudaya dalam lingkungan sosial yang beragam di Indonesia.

Penulis: Imron.red

Earth Hour

Earth Hour merupakan kampanye perubahan iklim global WWF. Individu, pemerintah, pelaku bisnis akan mematikan lampu selama satu jam. Dalam rangka menunjukan dukungan terhadap penanggulangan perubahan iklim.

Kampanye Earth Hour ini dimulai di Sydney, Australia pada 1 Maret 2007. Dimana lebih dari dua juta orang dan dua ribu pelaku bisnis di seluruh kota mematikan lampu dan peralatan elektronik mereka selama satu jam.

Sejak dimulainya kampanye ini, pesan Earth Hour telah mendunia. Di Maret 2009, ratusan juta orang di lebih dari 4000 kota di 88 negara secara resmi mematikan lampu untuk “ Vote For Earth ”.

Kampanye Earth Hour ini juga mendapat respon positif dari pemerintah Indonesia. Sebab konsumsi listrik di Indonesia berkembang sangat pesat. Di Jakarta sendiri konsumsi listrik berkembang 7% pertahun dalam  15 tahun terakhir.

Gusti Muhammad selaku Menteri Lingkungan Hidup mengatakan “jika 10% warga Jakarta mematikan dua lampu maka akan menghemat 300.000 watt.” namun keraguan masyarakat atas keefektifan program kampanye ini bagi lingkungan Jakarta terus bermunculan. Salah satunya Lia, dia berpendapat bahwa dengan hanya satu jam mematikan lampu selama setahun dirasa kurang cukup untuk dapat mengurangi dampak pemanasan global. karena   menurut  Mahasiwa Fakultas Theknik Informasi ini prosentase penggunaan listrik selama satu tahun tidak berimbang jika di bandingkan dengan hanya 60 menit mematikan lampu.

Berbeda dengan Lia, K.S. Zai Mahasiswa Fakultas Biologi salah satu kampus swasta tertua di Jakarta berpendapat bahwa diberlakukannya kampanye Earth Hour ini bisa dibilang sebagai langkah yang positif. Selain bisa menumbuhkan rasa peduli terhadap lingkungan kampanye ini juga dapat berkembang menjadi gaya hidup hemat energi bagi masyarakat kota. Zai menambahkan, mungkin tahun ini hanya  satu jam, tahun depan bisa ditambah menjadi dua jam atau tiga jam, itu artinya energi yang di hemat akan semakin banyak.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai kampanye Earth Hour ini, tidak dapat di pungkiri jika dampak dari pemanasan global  sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia dan program – program mengenai pelestarian lingkungan hidup dirasa sangat perlu, jika manusia ingin hidup lebih lama di bumi.

Semestinya  pemerintah   menjadikan kampanye  lingkungan hidup  seperti ini sebagai suatu langkah awal yang kongkrit untuk menjamin kelangsungan hidup rakyatnya dan mewarisi Indonesia yang asri bagi generasi yang akan datang.

Penulis: Hari Mursa

Keberagaman di Komunitas Arus Pelangi

Ada kalanya kita bepergian ke tampat-tempat yang kita sukai seperti kampus, mall, tempat rekreasi, atau bahkan pasar sekalipun kerap kali kita bertemu dengan orang-orang baru. Orang-orang yang berbeda. Bukan hanya berbeda dalam hal-hal normatif seperti suku, agama, ras, bahasa, budaya saja namun juga berbeda dari sisi yang lain.

Jikalau perbedaan yang kita temui itu masih dalam taraf normatif atau normal mungkin kita masih mampu beradaptasi. Tapi jika yang kita temui itu adalah orang-orang yang berbeda dalam hal orientasi seksual seperti gay, lesbian, atau waria, pernahkah kita bersikap sama seperti kita berhadapan dengan orang-orang yang berbeda secara normatif lainnya?

Sepertinya hal itu masih amat jarang kita temui. Bahkan bisa dikatakan kita akan langsung berpandangan miring, dan menganggap mereka tidak lebih baik derajatnya dari diri kita sendiri. Menilai mereka layak untuk didiskriminasi, layak untuk dikucilkan, pantas untuk dilecehkan dan bahkan dijadikan objek kekerasan. Lalu apakah kita masih dapat dikatakan punya nurani jika kita tak mampu merasakan beban hidup yang mereka tanggung dengan beragam stigma dari masyarakat akan keberadaan diri mereka tersebut.
Kini ditengah makin terbukanya arus informasi dan teknologi yang membuat sebagian kalangan dapat dengan mudah mengakses beragam informasi sehingga tidak ada  lagi yang mampu ditutup-tutupi, termasuk penyimpangan orientasi seksual yang selama ini diangap tabu oleh masyarakat, kita sebagai masyarakat middle class justru masih tetap saja memicingkan mata tatkala melihat mereka.

Mereka yang memiliki penyimpangan orientasi seksual itu masuk dalam kalangan minoritas, yang saat ini mulai berani memunculkan diri di permukaan. Namun bagaimana dengan kita, bagaimana dengan masyarakat yang secara mayoritas masih menolak keberadaan mereka sebagai manusia dan bagian dari warga negara.

Lalu apakah kita tahu atau paling tidak pernah mendengar tentang sebuah komunitas dimana para anggotanya adalah orang-orang yang memiliki penyimpangan orientasi seksual, seperti Arus Pelangi...?

Disini Arus Pelangi itu merupakan sebuah komunitas tempat berkumpulnya para lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseksual atau saat ini yang lebih dikenal dengan LGBTI. Arus Pelangi itu sendiri dibentuk pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta. Salah satu pelopornya adalah (alm.) Rido Triawan yang kemudian menjadi ketua pertama dari Arus Pelangi.

Berbagai tindakan diskriminasi serta kekerasan terhadap kalangan LGBTI yang marak terjadi, ditambah lagi dengan ketimpangan dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara inilah yang menjadi latar belakang berdirinya Arus Pelangi.

Pada awalnya salah satu pendiri LGBTI tersebut adalah aktivis pembela HAM di Indonesia. Dan dengan sebuah ide yang brillian ia kemudian berinisiatif untuk membentuk organisasi Arus Pelangi. Dan sampai sekarang ini jumlah anggota Arus Pelangi mencapai 500 orang yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.

Komunitas Arus Pelangi ini tidak menutup diri bagi siapa saja, artinya setiap kalangan umum dapat dengan mudah memperoleh informasi yang berkaitan dengan komunitas Arus Pelangi itu sendiri. Salah satunya melalui media internet di www.aruspelangi.or.id.

Penulis: Rizky.red