Rabu, 19 Januari 2011

Gay Bandung Melawan Homophobia

Tengah malam, di suatu akhir pekan di Lapangan Gasibu, Bandung. Ini tempat berkumpulnya Penjaja Seksual Khusus Laki-laki, atau disebut ‘kucing’. Ada dua laki-laki sedang duduk di samping kios rokok. Letaknya persis di pinggir jalan, di bawah sorot kuning lampu jalan.
Didit, sudah 10 tahun jadi “kucing”. Usia Didit sekarang 28 tahun. Sesekali ia melirik layar telepon-pintar di tangannya. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih.
”Ya awalnya sih waktu kuliah semester satu, pas nginjak kaki di Bandung. Saya berasal dari Sumatera, Palembang. Waktu itu saya sempet kecanduan narkoba. Mungkin dari situ awal mulanya. Untuk memenuhi ketagihan, ada link dari teman yang ajak untuk itu, ya udah saya dapat duit dengan instan. Apapun saya lakukan untuk dapat uang itu,” kata Didit.
Pria satunya lagi adalah Eri, 29 tahun, asal Kalimantan; lahir dan besar di Bandung.
“Sebenarnya sebelum SMA juga sudah ada rasa gimana, tapi gak tau komunitasnya di mana. Sejak lulus kan lebih banyak main jadi tau tempat-tempat. Pertama-tama main ke tempat dugem, terus ketemu teman, ngobrol-ngobrol, jadi tau tempat-tempat nongkrongnya di mana,” tambah Eri.
Memilih jadi gay artinya harus bersiap menghadapi resiko dimusuhi keluarga. Apalagi mereka adalah gay yang juga kucing. Didit masih merahasiakan identitasnya dari keluarga, tapi terbuka kepada teman-temannya.
Homophobia adalah rasa takut terhadap kelompok homoseksual, penyuka sesama jenis.
Didit pernah diusir dari kostnya karena ketahuan gay. Eri lebih beruntung. Keluarga menerima ia apa adanya.
Sampai 2008, Lapangan Gasibu jadi salah satu lokasi tongkrongan kelompok gay dan kucing di Bandung. Juga Taman Lansia, masih di jantung Paris van Java. Namun mereka sekarang sudah jarang sekali ada di sana, menghindari aksi premanisme. Sebelumnya, hampir tiap hari ada yang melepas malam di tempat ini. Paling tidak 3-5 orang, sekedar ngobrol.
Menurut Babe Slamet, pedagang rokok di Lapangan Gasibu, gay dan kucing yang nongkrong di sana tak pernah bertransaksi seksual.
“Gak, gak ada pernah gitu. Hanya nongkrong saja. Soalnya apa ya... walaupun mereka begitu tapi masih punya harga diri. Walaupun iya, tapi saya tidak akan mencolok begitu,” papar Babe Slamet.
Babe berdagang di Lapangan Gasibu sejak 2003. Ia mengaku dekat dengan komunitas ini.
Karena transaksi seksual tak lagi dilakukan di Lapangan Gasibu, Didit dan Eri lebih banyak bertransaksi lewat telepon. Menunggu panggilan.
Pekerja media gaya hidup dan fashion di Bandung, Majalah Suave, Widaryoko mengatakan, gay Bandung semakin berani tampil. Dulu mereka hanya terlihat di Bandung Indah Plasa BIP. Sekarang mereka banyak terlihat di plasa dan klub-klub malam, umumnya di diskotik. Kata Widaryoko, dunia hiburan yang melejit membuat kelompok gay Bandung lebih berani tampil.
”Yang jadi masalah tuh sekarang mereka cukup eksis dan di tempat-tempat tertentu kayak mereka merasa keren. Dengan menunjukan kalau gue gay itu gue keren. Di beberapa tempat kayak di klub di Bandung, banyak liat cowo-cowo ciuman. Dan itu mengganggu buat gue. Males banget ngeliat cowo-cowo ciuman tempat umum. Jadi sebelnya, kalau udah begitu sih udah mengganggu. Kalau yang gue liat di Dago Plasa, mereka kayaknya nyaman ya, karena di situ banyak jadi mereka merasa nyaman. Justru orang-orang yang gak biasa, pasti gak nyaman,” tukas Widaryoko.
Semakin eksis, membuat peluang intimdasi semakin besar. Di tempat-tempat umum di mana kaum gay berkumpul, biasanya orang-orang lain menjauhi mereka.
Tapi masih ada harapan buat Didit dan Eri sejak mereka aktif di Himpunan Abiasa. Ini satu-satunya lembaga di Bandung yang mewadahi kaum gay dan LSL atau lelaki suka lelaki. Di tengah rasa malu dan takut yang besar, Didit dan Eri membangun kepercayaan diri untuk melawan homophobia.
Ronnie Adie jadi orang paling sibuk di Himpunan Abiasa. Ia adalah manajer program yang banyak memberi pendampingan bagi kaum gay dan LSL di Bandung. Adie juga gay.
Dari pergaulannya di komunitas gay, Adie diajak bergabung ke Yayasan Priangan. Inilah cikal bakal Himpunan Abiasa. Berdiri sejak 2005, Abiasa memfokuskan diri ke pencegahan HIV/AIDS pada kaum gay lewat perubahan perilaku seksual. Tapi ada juga pelatihan demi mendongkrak rasa percaya diri.
Rasa percaya diri dibangkitkan dengan terlibat berbagai kegiatan, tanpa perlu menutupi identitas diri sebagai seorang gay.
Kini Himpunan Abiasa mewadahi sekitar 28 ribu kaum gay se-Jawa Barat, jadi satu-satunya kelompok yang mewadahi kepentingan kaum gay. Abiasa berhasil membangun kelompok-kelompok kerja yang mencakup 16 kabupaten/kota. Kata Adie, lewat perjuangan, hampir tidak ada lagi keluhan komunitas gay yang merasa didiskriminasi ketika mengurus masalah kesehatan.
“Kalau temen-temen itu saat ke klinik beda dengan lainnya. Harus ada periksa depan, belakang, mulut juga. Kalau depannya aja, belakangnya gak, otomatis gak nyembuhin. IMS Infeksi Menular Seksual. Nah untuk beberapa layanan, kita rujuk temen-temen untuk pergi ke layanan yang sudah berjejaring dan bekerja sama dengan kita karena di situ sudah dapat pelatihan sebelumnya. Jadi tahu apa yang harus diperiksa.”
Tapi ini bukan puncak sukses buat Himpunan Abiasa. Masih ada tugas besar, membangun solidaritas melawan intimidasi. Ketakutan semakin besar ketika kasus pembunuhan Ryan Jombang muncul. Eskploitasi media soal orientasi seksual Ryan menambah negatif pandangan masyarakat terhadap kaum gay. Ronnie Adie mengatakan, teman-teman sempat takut datang ke kantor Abiasa. Untuk beberapa bulan, mereka tidak nongkrong di BIP, Dago Plasa dan tempat-tempat umum lainnya.
Pertengahan Mei, dunia memperingati hari melawan homophobia alias ketakutan terhadap kelompok homoseksual. Himpunan Abiasa belum berani berkampanye di kotanya sendiri, Bandung, kata Adie.
“Sejujurnya pengen adain di Bandung, tapi kalau melihat karakteristik baik komunitas dan penduduk, masih terlalu ini ya... Sehingga kita hanya... Ya saya juga salut ya. Kalau lihat di sana, Aceh memang lebih ketat, tapi teman-teman salut mereka bisa adakan peringati hari itu. Itu untuk ajang membuka mata masyarakat yang selalu memandang negatif... bukan hanya gay, tapi waria, lesbian, dipandang negatif.”
Didit dan Eri paham, jalan masih panjang untuk melawan homophobia.
“Ya jangan takutlah. Di mata Tuhan kan semua sama. Yang membedakan hanya iman dan taqwa. Di satu sisi bagus ya kalau kita tunjukan ke masyarakat untuk melawan homophobia, tapi di sisi lain, kalau liat kultur kita beda dengan di Barat sana. Stigma dan diskriminasi masih tinggi di sini,” kata mereka berdua.

Sumber: KBR68H   I  Admin: FA

0 komentar: