Selasa, 03 Mei 2011

Gus Dur dan Pluralisme

Secara genetis KH Abdurrahman Wahid merupakan keturunan darah biru. Bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah SWT berupa kecerdasan luar biasa. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri NU       organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri. Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia.

Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren. Dia diajar mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Hasyim Asy'ari, di Pesantren Tebuireng Jombang, Jatim.

Panggilan "Gus'' merupakan  tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak kiai. Al-Zastrouw dalam buku Gus Dur Siapa Sih Sampeyan menulis, pada tahun 1949, ketika clash dengan Pemerintah Kolonial Belanda berakhir, dan ayahnya diangkat sebagai menteri agama, keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Gus Dur menyelesaikan sekolahnya di Jakarta. Untuk menambah pengetahuan dan melengkapi pendidikan formal, ia dikirim ayahnya mengikuti les privat bahasa Belanda.

Sebagai anak kiai, tentu saja ia sangat menekuni ilmu agama. Hal ini sangat cocok dengan cita-cita ibunya yang menginginkan sang anak mewarisi kakek dan ayahnya untuk mengembangkan pesantren dan ilmu agama secara luas.

Setelah meninggalnya Gus dur, orang-orang ramai membicakannya jauh melebihi ketika beliau masih hidup. Namun apalah  kata, manusia mati meninggalkan suatu kenangan bagi manusia hidup. Ialah tentang Pluralisme Gus dur, yang seolah-olah bangun kembali setelah mati suri. Jauh ketika beliau masih hidup, gagasan Pluralisme nya seolah-olah tertutup oleh sikap nyeleneh beliau yang lebih menonjol. Orang lebih melihat sisi negatif dari orang lain ketimbang apa yang orang tersebut telah dibuat. walaupun sikap nyeleneh gusdur tidaklah seluruhnya bersifat negatif, adakalanya semua tidak memerlukan suatu bungkus yang rapih, akan tetapi isinya tetap terjaga keasliannya.

Makna Pluralisme adalah menganut paham saling memahami atas dasar keberagaman yang ada, dan bentuk perluasannya adalah adanya rasa toleran dan saling menghargai baik terhadap bentuk pemikiran, keyakinan ataupun adat tradisi yang berbeda. Dalam sisi lain, Pluralisme bukan berarti dapat mengakui kebenaran dari perbedaan yang ada termasuk dengan menjadi salah satu bagiannya. Atau bahkan menjadi semacam dualisme, dimana ketika melaksanakan peribadatan agama A, ia mengikuti kegiatannya sekaligus ia juga mengikuti kegiatan agama B.

Oleh karena itu Pluralisme dibangun bukan atas dasar benar atau salah, akan tetapi pluralisme dibangun atas dasar kemengertian akan kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Dari semua kepentingan tersebut dapat menjadi sebuah landasan demi kepentingan bersama yakni sebuah negara yang aman dan tentram, sehingga dapat tercapailah cita-cita suatu negara. Perbedaan-perbedaan baik itu banyak ataupun sedikit itu semua adalah sebuah rahmat.

Penulis: Wahyu & Vhenti.red





0 komentar: