Jumat, 25 Februari 2011

Jalan Panjang Kaum Revolusioner


Melukiskan situasi dunia Arab saat ini ibarat wilayah yang sedang dihantam gempa dahsyat. Gempa itu bukan karena amarah alam, tetapi amarah kaum mudanya. Maka, bukan bumi yang retak akibat gempa itu, melainkan sistem politik dan ekonominya yang kini mulai runtuh berjatuhan.
Gelombang kemarahan kaum muda itu secara mencengangkan berhasil mengempas barisan rezim diktator di kawasan itu. Mulai dari tumbangnya rezim Ben Ali di Tunisia, lalu jatuhnya rezim Mubarak di Mesir, dan kini rezim Khadafy di Libya di ambang keruntuhan pula. Kemarahan kaum muda itu kini juga mengancam rezim diktator di Yaman, Aljazair, dan bahkan sistem monarki mutlak di Maroko, Jordania, dan Bahrain. Para pengunjuk rasa di Maroko, Jordania, dan Bahrain menuntut penerapan sistem monarki konstitusional seperti di Inggris, di mana kekuasaan berada di tangan parlemen.
Semua itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat, yakni dalam kurun waktu sekitar dua bulan.
Mengapa amarah kaum muda Arab itu bergulir sangat cepat? Persoalan di dunia Arab sudah sangat akumulatif yang terkait satu sama lain, mulai dari isu politik, sosial, budaya, ekonomi, hingga keamanan.
Persoalan yang menumpuk itu sesungguhnya bukan tercipta pada era rezim diktator yang lahir pada tahun 1950-an dan 1960-an, melainkan merupakan warisan dari era kolonial.
Ketika dunia Arab meraih kemerdekaan dari kolonial Barat, tidak serta-merta rakyat dunia Arab mengenyam kemerdekaan hakiki karena para pemimpin dunia Arab yang membawa rakyatnya bebas dari kolonial justru mempraktikkan pemerintahan diktator. Rakyat dunia Arab pun ibarat keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.
Rakyat merasa tetap hidup terjajah. Bahkan, mereka merasa pula lebih terhina ketika hidup di bawah rezim diktator bangsa sendiri karena merasa ditipu dan diperlakukan tidak adil.
Betapa tidak, pemilu di sejumlah negara Arab yang lazimnya menjadi pintu perubahan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain dimanipulasi sedemikian rupa. Pula tidak ada tanda pemimpin yang sudah berkuasa puluhan tahun ingin meninggalkan kekuasaannya.
Program ekonomi yang dijalani pemerintah di banyak negara Arab gagal pula menyejahterakan rakyat dan malah mempertajan ketimpangan sosial serta menyuburkan praktik korupsi.
Ketertutupan akses ekonomi dan politik di dalam negeri memaksa banyak pemuda Arab dalam beberapa tahun terakhir berspekulasi dengan mempertaruhkan nyawanya menjadi manusia perahu yang berlayar dari pantai Mesir, Tunisia, Aljazair, dan Maroko untuk mencapai pantai Perancis, Italia, dan Spanyol dengan harapan bisa memperbaiki masa depan hidupnya di negara- negara Eropa itu.
Mereka yang beruntung bisa mencapai pantai Eropa, tetapi bagi yang buntung harus menerima nasib tenggelam ditelan gelombang Laut Tengah. Padahal, jasa orangtua atau kakek para pemuda yang bernasib buntung itu dalam mengusir kolonial tidak kalah besar dibandingkan dengan jasa para pemimpin rezim Arab diktator yang bergelimang dengan kekuasaan dan kekayaan.
Dampak dari buntunya akses politik dan ekonomi itu pula adalah suburnya gerakan militan di dunia Arab yang kemudian menjalar ke belahan dunia lainnya hingga ke Amerika Serikat, Eropa, Asia, termasuk Indonesia. Barangkali tidak terjadi peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di AS yang terkenal itu atau bom Bali dan Jakarta bila tidak ada kehidupan politik yang otoriter di muka bumi ini.
Kesadaran kolektif 
Ratapan nasib buruk generasi muda Arab lantaran tertutupnya horizon politik dan ekonomi ke depan itu membangkitkan kesadaran kolektif mereka berkat jasa jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang cukup berkembang di dunia Arab saat ini.
Mereka pun akhirnya bergerak melawan rezim-rezim diktator itu dengan berbekal suatu keyakinan bahwa perubahan nasib mereka yang sesungguhnya berada di tangan mereka sendiri dan bertolak dari negeri mereka masing-masing, bukan di Eropa atau negara perantauan lainnya.
Mereka mulai berhasil mengobarkan revolusi dengan menumbangkan rezim diktator. Namun, titik lemah mereka adalah menggalang revolusi tanpa pemimpin. Risiko revolusi tanpa pemimpin itu pun mulai disadari, yaitu jatuhnya negara pascarevolusi ke tangan pemimpin yang tidak dikehendaki oleh para pemuda revolusioner itu sehingga impian mereka tidak langsung terwujud.
Itulah yang kini terjadi di Tunisia dan Mesir. Tunisia pasca-tumbangnya Presiden Ben Ali jatuh ke pemerintah loyalis Ben Ali yang sekaligus anggota partai Perkumpulan Konstitusional Demokrasi (RCD) yang berkuasa pada era Ben Ali. Mesir pasca-tumbangnya Presiden Mubarak jatuh ke tangan militer. Dewan Agung Militer yang berkuasa di Mesir saat ini menunjuk pula pemerintah Perdana Menteri Ahmed Shafik yang dibentuk Mubarak pada akhir kekuasaannya sebagai pemerintah ad interim.
Unjuk rasa pun tetap marak di Tunisia dan Mesir pasca-tumbangnya Ben Ali dan Mubarak. Unjuk rasa di Tunisia mulai reda setelah PM pemerintah transisi Mohamed Gannouchi pada 27 Januari lalu mengumumkan susunan kabinet baru sesuai dengan tuntutan utama rakyat Tunisia. Posisi kunci kabinet, seperti menteri luar negeri, menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan menteri keuangan, yang semula diduduki figur-figur mantan anggota RCD dipercayakan kepada figur profesional independen.
Di Mesir pun, pemerintah ad interim pimpinan PM Ahmed Shafik menjadi ajang kritik berbagai kekuatan politik karena dianggap bagian dari rezim Mubarak.
Koalisi pemuda revolusi 25 Januari yang berhasil menumbangkan rezim Mubarak menuntut pembentukan pemerintah baru yang terdiri dari teknokrat, menggantikan pemerintah ad interim pimpinan PM Ahmed Shafik saat ini.
Koalisi pemuda dalam pernyataannya yang disebarkan lewat Facebook menegaskan, revolusi belum selesai.
Pemuda Mesir dan Tunisia kini menunggu janji otoritas militer di Mesir dan pemerintahan PM Mohamed Gannouchi di Tunisia untuk menggelar pemilu bebas dan transparan di dua negara tersebut dalam kurun waktu enam bulan mendatang. Ternyata jalan kaum revolusioner menggapai impian mereka sepenuhnya masih panjang dan bahkan terjal.

Sumber: Kompas Cetak   I   Penulis: Musthafa Abd Rahman   I   Admin: FA

0 komentar: