Jumat, 25 Februari 2011

Revitalisasi Komitmen Bernegara

Para penguasa yang lama bertahan di kursinya cenderung tak mau mendengar dan terisolasi dari realitas masyarakat. Ketika rakyat mulai berunjuk rasa di Libya, pemerintah menuduh kelompok yang berhubungan dengan tangan asing dan kelompok agama berada di balik gerakan tersebut.
Amerika memang sering ikut campur dalam banyak penumbangan pemerintahan karena mengangkat sendiri dirinya sebagai polisi dunia. Tetapi, pemimpin yang ditolak rakyat di Tunisia dan Mesir adalah sekutu Amerika dalam menjaga kepentingan negara itu di dunia Arab.
Salah satu sebab mengapa perubahan besar di Tunisia menyebar di Afrika Utara hingga ke Iran seperti virus, menurut dosen FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta, Ali Munhanif PhD, adalah karena negara-negara tersebut berangkat dari sejarah yang sama, yaitu warisan politik pasca-kolonialisme Inggris, Perancis, dan Ottoman.
Kesepakatan yang tertuang di dalam konstitusi hampir sama: menjaga solidaritas nasional, militer menjadi institusi negara, dan sosialisme menjadi ideologi ekonomi. Kesamaan lain, penyelesaian masalah negara berdasarkan kesukuan, seperti di negara-negara monarki Teluk. Kepemimpinan satu suku berakibat suku (dan juga ulama) yang tidak berkuasa termarjinalkan. Bahrain, misalnya, dikuasai monarki beraliran Sunni, sementara mayoritas rakyat adalah Syiah.
Meski begitu, Munhanif yang disertasinya di Universitas McGill, Kanada, mengenai perbandingan mobilisasi politik islamis di Mesir dan Indonesia berpendapat, revolusi Mesir, terutama dari sudut gerakan politik islamis, tidak akan memengaruhi Indonesia. Penyebabnya, antara lain, karena perbedaan semangat konstitusi antara Mesir dan Indonesia.
Bila konstitusi dipandang sebagai wadah di mana konflik berbagai ide tentang bernegara terjadi, maka pandangan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Masyumi sudah terakomodasi di dalam konstitusi Indonesia.
”Wujudnya konkret, ada partai politik berbasis Islam, ada UU Perkawinan (yang mengadopsi hukum Islam), UU Pendidikan yang mewajibkan pelajaran agama kepada siswa, dan ada Majelis Ulama Indonesia,” kata Munhanif.
Sementara di Mesir dan negara dunia Arab lainnya, konstitusi tidak merangkul semua kelompok. Al Azhar di Mesir, misalnya, menjadi benteng masuknya Ikhwanul Muslimin yang dianggap radikal; di Arab Saudi gerakan islamis yang politis dilarang.
Pengajar di IAIN Sunan Kalijaga dan peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta, Noorhaidi Hasan PhD, mengatakan, gerakan-gerakan radikalisme islamis bertujuan menentang rezim berkuasa untuk mengganti dengan negara Islam. Gerakan ini akan subur apabila rezim berkuasa tidak mampu menciptakan janji kesejahteraan dan keadilan serta terlihat lemah.
Noorhaidi yang meneliti militansi dan pencarian jati diri Islam di Indonesia pasca-Orde Baru mengajak membedakan antara gerakan karena kepentingan tertentu bermantelkan agama seperti kelompok yang menekan kelompok minoritas dari gerakan radikalisme Islam yang menentang rezim otoriter, tak adil, dan gagal mewujudkan kesejahteraan, meskipun keduanya bisa saling tumpang tindih. ”Sebetulnya, dari sisi positif bagus, ada protes pada ketidakadilan dan ketidakmampuan rezim,” kata Noorhaidi. Hanya saja, gerakan radikalisme tersebut, seperti terbukti selama ini, belum tentu menawarkan solusi seperti retorika yang dijanjikan karena bertendensi untuk juga bertindak otoriter.
Di sisi lain, tindakan meredam kelompok radikal dengan tindakan represif seperti di Mesir juga menimbulkan konsekuensi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Simbol agama mudah dimainkan, tergantung dari dinamika kekuatan politik domestik saat itu. ”Saat ada konflik di kalangan elite negara atau negara terlihat rapuh, muncul struktur kesempatan politik untuk gerakan radikal,” kata Noorhaidi.
Pijakan bersama
Belajar dari pengalaman Mesir, Noorhaidi dan Munhanif mengajak kembali merevitalisasi pijakan bersama (common platform) yang telah menjadi kesepakatan lahirnya Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila, demikian Noorhaidi, harus didiskusikan terbuka dan diterjemahkan ke dalam tindakan sehari-hari melalui pendidikan dan undang- undang yang tidak meminggirkan kelompok minoritas. ”Begitu rupa sehingga sikap toleran itu menjadi napas sehari-hari,” kata dia.
Untuk menjaga pijakan bersama tersebut, keduanya sependapat, negara harus bertindak tegas. Dalam konflik antaragama saat ini, misalnya, pemerintah harus menindak tegas perbuatan melawan hukumnya. Di sisi lain, kelompok tersebut harus diajak masuk ke politik arus utama, ikut dalam pertarungan pemikiran mengenai konstitusi, seperti di dalam negara demokrasi.
Bila negara membiarkan otoritasnya, yaitu menarik pajak dan memiliki polisi dan tentara, dikuasai pihak di luar negara, situasi ini menurut Munhanif akan menjadi inkubator bagi gerakan radikal. Karena itu, dia mengusulkan agar yang mengeluarkan label halal adalah badan negara, seperti Kementerian Kesehatan atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan, serta melarang organisasi atau kelompok apa pun memiliki laskar.

Sumber: Kompas Cetak   I   Penulis: Ninuk MP   I   Admin: FA

0 komentar: