Jumat, 25 Februari 2011

Yang Muda, yang Mengubah Dunia

Orang-orang mudalah pembawa angin perubahan saat ini di Afrika Utara. Di Mesir, wajah perubahan tersebut mendapatkan sosoknya pada Wael Ghonim, eksekutif di Google yang membuka halaman Kita Semua Khaled Said di facebook.
Khaled Said, pengusaha muda di Alexandria, setahun lalu dipukuli hingga mati oleh polisi. Ghonim yang mengelola halaman itu diam-diam dan dalam pergolakan Januari-Februari lalu sempat ditahan beberapa hari.
Kekejaman polisi itu menggumpalkan kemarahan rakyat Mesir, terutama orang-orang mudanya. Kamel (20), mahasiswa di desa Zawiyat Ghazal di Delta Nil, juga mengalami kesewenang-wenangan polisi. Suatu ketika dia jatuh ke lantai peron stasiun dari kereta api. Bukannya menolong, polisi malah memukuli dia karena menurut aturan tidak boleh ada yang tidur di peron.
Bila generasi sebelumnya hanya menggerutu dan menyimpan kekesalan dalam hati, Kamel meluapkan melalui internet, memakai komputer tua di rumahnya yang sesak. Tak lama, Kamel bergabung dengan grup di Facebook yang dibangun Ghonim dan menjadi salah satu pemimpinnya.
Di Tunisia dan Mesir, orang muda menjadi agen perubahan. Mereka memanfaatkan internet dan telepon seluler untuk mengabarkan semangat perlawanan pada rezim otoriter dan korup. Seperti berulang kali diberitakan media, seperti televisi Al Jazeera dan berbagai media cetak, internet dan SMS yang diakrabi orang-orang muda menjadi pemersatu melampaui ruang dan waktu.
Bukan berupa jargon-jargon model pemimpin rezim yang tampak tua dan lelah, tetapi guyonan terhadap para pemimpin yang sudah berpuluh tahun berkuasa, atau melalui lagu-lagu rap dan balada yang ditampilkan lewat film dan gambar. Mereka juga menyuarakan semangat kepahlawanan, kehormatan, dan terutama kebebasan. Bedanya, bila rezim yang berkuasa mengobarkan semangat melawan kolonialisme, anak-anak muda menginginkan kebebasan dari rezim yang kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Pemerintah Mesir berusaha menutup akses internet, tetapi dampaknya segera terasa terhadap bisnis, terutama perbankan, karena semua komunikasi praktis menggunakan jaringan internet. Begitu juga usaha membatasi penggunaan telepon seluler. Di Suriah, perempuan blogger berumur 19 tahun ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara lima tahun dengan tuduhan mata-mata.
Noorhaidi Hasan PhD, pengajar di IAIN Sunan Kalijaga dan peneliti di Universitas Islam Negeri Jakarta, dalam percakapan dengan Kompas, Sabtu (19/2), mengatakan, globalisasi yang dicirikan oleh publikasi massal dan pendidikan massal melalui internet dan SMS telepon seluler telah membawa masyarakat di negara-negara Islam di Afrika Utara yang tengah bergolak ke dalam apa yang oleh para akademisi ditengarai sebagai gejala global era post-islamisme (baca juga halaman 46 dan 47).
Internet dan SMS telah mematahkan peran otoritas tunggal, baik rezim yang berkuasa maupun pemimpin keagamaan. ”Tidak ada lagi satu kekuatan yang bisa mengontrol simbol-simbol kekuasaan, baik simbol rezim yang berkuasa ataupun simbol keagamaan,” kata Noorhaidi merujuk pada wacana postmodernisme.
Yang menyatukan rakyat di Tunisia, Mesir, dan juga Libya, Bahrain, Yaman, dan Iran adalah kebutuhan yang tidak dapat ditahan lagi, yaitu kehidupan kewargaan yang lebih bebas serta perut lapar yang menuntut pangan murah dan pekerjaan pasti.
Setelah Hosni Mubarak mundur sebagai presiden, masa depan Mesir tidaklah menjadi mudah dan belum tentu segera terwujud gambaran ideal masyarakat sejahtera dan demokratis.
Orang-orang muda yang tidak teroganisir di Mesir tak punya wakil untuk berunding di dewan militer tinggi ataupun di badan penyusun perubahan konstitusi, sama seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Namun, bukan berarti mereka tak berdaya. Mundurnya presiden di Tunisia dan Mesir sudah membuktikan kekuatan massa tanpa wajah tersebut. Berhati-hatilah para pemimpin yang tak mau mendengar. 


(Sumber: Kompas Cetak   I   Penulis: Ninuk MP   I   Admin: FA

0 komentar: