Rabu, 19 Januari 2011

Tantangan Manajemen Pers Mahasiswa

Hampir satu dekade pascagerakan reformasi bergulir, Mei 1998, wajah kehidupan pers di Indonesia menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Jumlah penerbitan pers umum atau komersial yang semula cuma berkisar 270 penerbit pada masa pra reformasi, kini –menurut catatan SPS Pusat— sudah berkecambah menjadi 830-an penerbit dari seluruh tanah air. Dari jumlah tersebut 409 diantaranya merupakan anggota SPS.
Paradigma kehidupan pers nasional pun juga mengalami pergeseran sangat signifikan. Sejak awal era tahun 2000, pers mulai menonjolkan wajah bisnisnya yang sangat kental. Kompetisi menjadi raut muka keseharian pers Indonesia. Penetrasi grup-grup besar –Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dan Jawa Pos Grup (JPG)— semakin tajam ke pelosok-pelosok wilayah kota/kabupaten di negeri ini. Nyaris tak ada lagi jengkal daerah berpotensi untuk pengembangan pers lokal yang belum tersentuh kedua kelompok penerbit besar itu.
Itulah konsekuensi industrialisasi pers. Di mana-mana, hukum kapital akan selalu mencari ruang untuk mengembangkan dirinya. Tak terkecuali bisnis di bidang pers. Hampir tak ada batasan soal kecukupan yang dimiliki. Sepanjang masih ada potensi dan celah-celah yang bisa menghasilkan profit, ke situ pula arus modal akan mengalir. Tentu dengan varian yang beragam, bergantung kebijakan dan kemampuan si-pengalir kapital.
Dalam situasi wajah yang sangat sarat nilai industrial tersebut, khasanah pers di Indonesia juga mengenal ranah tentang Pers Mahasiswa. Pertanyaan besarnya kemudian adalah, di mana posisioning Pers Mahasiswa dewasa ini di tengah persilatan kehidupan pers di negeri ini? Apakah ia sekadar sebuah laboratorium bagi mahasiswa untuk melakukan exercise jurnalisme dan aktivasi ”sosial-politik” lainnya? Atau ia juga merupakan ”anak kandung” pers nasional?
Perubahan Orientasi
Saya tak hendak menguak terlalu jauh kait-mengait posisi pers mahasiswa terhadap iklim kebebasan pers yang sedang berkembang sekarang ini. Namun, sedikit perlu saya ingatkan, sejatinya eksistensi pers mahasiswa tidak secara eksplisit disebutkan di dalam UU No. 40/1999 tentang Pers. Dan bahkan boleh dibilang UU Pers tidak memayungi pers mahasiswa, karena sifatnya yang bukan berbentuk badan hukum perusahaan pers, meskipun secara fungsional pers mahasiswa menjalankan aktivitas jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers.
Pasal 1 ayat (1) UU Pers menyebutkan tentang definisi pers: ”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Sementara pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan: ”Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.”
Menilik kedua ketentuan dalam UU Pers tersebut maka posisi pers mahasiswa memang tak bisa sepenuhnya disebut sebagai badan usaha pers. Karena itu, payung eksistensial pers mahasiswa menurut saya tak bisa keluar dari badan hukum di kampus yang dianut.
Lepas dari persoalan eksistensial pers mahasiswa, saya melihat saat ini semestinya sudah harus tercipta hasil transformasi sosial dan politik kehidupan pers mahasiswa. Dari semula hanya berorientasi sekadar kekuatan pengontrol kebijakan kampus dan non-kampus yang otoritarian, menjadi kekuatan pembangkit kesadaran dan kebutuhan publik pembacanya (baca: mahasiswa) terhadap aneka kepentingan publik itu sendiri.
Saya bahkan merasa kekuatan kritik terhadap fenomena sosial – politik yang dulu –sebelum orde reformasi— menjadi amunisi terbesar pers mahasiswa, sudah tidak terlalu menggigit dan bahkan terkadang kalah dibanding pers umum. Tak ada lagi falsafah ”Persma lebih berani, lebih radikal ketimbang pers umum”. Anak-anak ABG menyebut istilah ”jadul = jaman dulu”, hal seperti itu.
Itulah sebabnya, saya melihat pers mahasiswa sekarang perlu menata dirinya untuk mereorientasikan ke mana dirinya hendak melangkah lebih jauh.
Penuhi Kebutuhan Pembaca
Langkah awal yang perlu dan harus dilakukan pengelola pers mahasiswa generasi sekarang adalah dengan melakukan review atau audit atas kebutuhan, keinginan, dan kepentingan para pembacanya terhadap kehadiran pers mahasiswa di masing-masing kampus. Pers mahasiswa karenanya tidak boleh berjarak dengan pembacanya.
Nah, cara yang bisa dipertanggungjawabkan adalah dengan membuat semacam riset apa saja keinginan dan kebutuhan pembaca tersebut. Setelah ini, lalu dilakukan reformat atas produk pers mahasiswa. Dari mulai metode rekruitmen anggota anyar, reposisioning konten dan format penerbitan, hingga reformasi di bidang manajemen administrasi dan pemasaran.
Bukan maksud saya hendak menggiring pers mahasiswa menjadi sepenuhnya berorientasi kepada pers umum komersial. Tapi, reformasi manajemen pers mahasiswa menjadi sangat urgen dewasa ini untuk menempatkan posisioning pers mahasiswa secara tepat.
Marilah kita coba bahas satu persatu. Dari mulai rekruitmen, manajemen redaksi, hingga manajemen organisasi pers mahasiswa.
Kegagalan Mengkader
Salah satu persoalan manajerial yang menonjol pada tubuh pers mahasiswa dari dulu yang saya amati adalah sulitnya memperoleh kader-kader yang berkualitas. Pada awalnya, ketika melakukan rekruitmen, tersedia cukup banyak –bahkan kadangkala terlalu banyak—calon-calon pengurus pers mahasiswa. Namun seiring perkembangan waktu, jumlah mereka pun semakin menyusut. Acapkali tinggal beberapa orang saja dari generasi baru ini yang bertahan hingga puncak karier di kepengurusan pers mahasiswa. Apa sejatinya yang terjadi? Apakah pers mahasiswa sebenarnya telah kehilangan daya tariknya bagi sebagian mahasiswa?
Ini seperti persoalan sederhana. Tapi memiliki efek yang besar bagi pengembangan artikulasi kehidupan pers mahasiswa di masa depan. Yang saya amati, dari dulu sepertinya pengurus pers mahasiswa –termasuk saya ketika itu—terjebak hanya berpikir dan mencurahkan energi ”Melawan”. Melawan penguasa rezim maupun kampus (rektor dan dekan) yang otoriter. Melawan ”musuh-musuh politik” di kampus. Melawan ketidakmampuan mencapai kinerja akademik yang mumpuni. Serta masih banyak melawan yang lain.
Baru sekarang saya berpendapat bahwa alangkah tidak masuk akal jika pers mahasiswa dijadikan sebagai excuse bagi ketidakmampuan memperoleh predikat akademik yang menonjol. Ini sebuah kesalahan besar yang harus diubah. Syukur jika kenyataan seperti itu kini sudah tidak terjadi.
Sudah bukan rahasia lagi, pers mahasiswa menjadi arena rebutan pengaruh kekuatan-kekuatan ekstra di luar kampus. Pendek kata, perhatian pengelola pers mahasiswa akhirnya menjadi terpecah. Di satu sisi mesti memberikan energi untuk membangun produk pers mahasiswa menjadi lebih baik, sementara di sisi lain energi tercurah guna meladeni aneka aktivitas politik melawan.
Orang-orang baru yang menjadi baterei pengisi regenerasi tubuh pengelolaan pers mahasiswa ikut tercabik dalam arus politik melawan ini. Sehingga manajemen pelatihan, penguatan ketrampilan dan penguasaan analisis persoalan, menjadi terabaikan. Atau sekurangnya tidak berjalan maksimal.
Semestinya, regenerasi para pengelola pers mahasiswa kini mulai dijadikan perhatian serius oleh pengelola sekarang, jika tak ingin pers mahasiswa bakal menjadi ”Dinosaurus” dalam jangka waktu tak terlalu lama lagi. Pengelola pers mahasiswa juga mesti bekerja keras menemukan minat setiap generasi baru pers mahasiswa itu, agar tidak semua kader diarahkan pada bidang redaksi, tapi masih cukup banyak yang tersisa untuk mengisi bidang-bidang lain yang tak kalah prestisius. Seperti bidang administrasi, bidang pelatihan dan pengembangan, serta bidang usaha.
Reorientasi Manajemen Redaksi
Dewasa ini adalah eranya perubahan format media. Di industri koran, Anda bisa melihat proses reformat dan re-sizing sejumlah koran harian ternama berlangsung sejak Juni 2005. Diawali oleh Kompas, lalu diikuti Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Waspada, Kedaulatan Rakyat, hingga Suara Merdeka. Dua hal mereka lakukan: perubahan politik editorial dan perubahan ukuran format. Tujuannya jelas: guna efisiensi dan pengembangan pembaca muda (generasi pembaca baru).
Dalam hemat saya, transformasi penting yang berkembang di industri media cetak seperti itu perlu menjadi perhatian pula para pengurus pers mahasiswa. Jangan salah, bahwa para pengelola suratkabar harian sekarang semakin menaruh fokus lebih dalam untuk merebut pembaca-pembaca baru (muda), yang salah satunya dibidikkan kepada mahasiswa.
Karena itu, momentum perubahan format pada koran-koran komersial itu harus disikapi pula oleh para pengelola pers mahasiswa untuk juga melakukan audit terharap politik editorial dan format produk pers mahasiswa. Sekadar contoh, berapa persen pasar (baca: mahasiswa di kampus) yang gemar disuguhi isu-isu di luar kampus? Berapa besar pula yang menggemari dan bahkan fanatik terhadap isu-isu kampus? Lalu seberapa banyak yang menyukai genre tulisan ilmu pengetahuan selaras dengan bidang studi pembaca?
Saya masih ingat ketika pada medio dekade 90-an ada beberapa pers mahasiswa yang menguak isu tentang ”Ayam-ayam Kampus”. Isu itu diangkat guna memberikan efek magnetik mahasiswa terhadap koran atau pers kampusnya. Hasilnya memang lumayan, meski tidak semua berhasil menuangkan laporannya dengan cukup memuaskan.
Transformasi editorial dan produk menjadi penting kini dilakukan. Di era komodifikasi citra seperti sekarang ini, kemasan adalah pintu depan bagi publik konsumen (pembaca) untuk menentukan apakah media yang hendak dibeli atau baca sudah sesuai dengan ekspektasinya. Jangankan membaca isinya, melihat tampilannya yang sudah tidak eye catching saja, pembaca (pers mahasiswa) mungkin akan merasa malas menyentuk produk pers mahasiswa.
Memformulasi konten dan kemasan yang menjanjikan dan menarik, memang bukan hal mudah. Saya mengakui itu, dan inilah dilema sekaligus keterbatasan pers mahasiswa. Oleh sebab itu, pengelola pers mahasiswa perlu melakukan penguatan pada aspek litbang dan mencari orang-orang baru yang berbakat dan berminat memperkuat sisi estetika produk. Dan saya yakin, apabila pengelola pers mahasiswa mau melakukan audit terhadap kebijkan konten dan produk, niscaya pers mahasiswa akan menemukan kembali pembaca-pembacanya yang sempat menghilang, serta dapat menarik perhatian pembaca baru.
Manajemen Paguyuban
Dalam konstelasi pergerakan, pers mahasiswa seringkali menjadi satu kesatuan dari pergerakan mahasiswa. Nyaris setiap muncul momentum gerakan mahasiswa, elemen-elemen pers mahasiswa memberikan support yang penting. Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya, ia turut menggelorakan momentum pergerakan tersebut untuk turut bersama meraih satu tujuan tertentu.
Bagaimana seandainya momentum gerakan sedang tidak berkembang? Apa yang harus dilakukan pengurus pers mahasiswa untuk menjaga ritme dinamika organisasinya?
Postur dan potret organisasi pers mahasiswa dalam hemat saya tidak memiliki standar yang baku. Setiap organisasi pers mahasiswa bisa mendesain struktur organisasinya sesuai kebutuhan di setiap kampus. Karakter setiap kampus akan menentukan corak dan struktur organisasi tersebut. Di kampus yang cenderung konservatif pemimpinnya, tentu akan memberikan ruang tumbuh yang berbeda dengan di kampus yang pemimpinnya lebih bergaya progresif.
Satu hal yang menarik, model organisasi pers mahasiswa memungkinkan dikembangkannya sikap-sikap egalitarian dan menyuburkan sifat demokrasi diantara para pengelolanya. Sikap-sikap otoritarian tidak bisa menemukan ruang untuk hidup di dalam organisasi pers mahasiswa.
Hanya saja, salah satu titik lemah organisasi pers mahasiswa adalah cara pengelolaannya yang acapkali terlalu bersifat paguyuban. Egalitarianisme tidak dengan serta merta mesti melarutkan gaya pengelolaan organisasi yang serius (untuk tidak menyebutnya dengan ”profesional”). Hubungan yang terlalu cair diantara pengelola pers mahasiswa membuat hampir semua urusan bisa ditoleransi. Akibatnya, sejumlah program yang awalnya biasa dirancang, ternyata hanya berhenti di atas lembaran-lembaran kertas.
Menilik pengalaman semacam ini, di masa datang organisasi pers mahasiswa harus mampu menjadi miniatur organisasi pers komersial. Mengapa demikian? Pasalnya, fakta membuktikan bahwa sampai hari ini pers mahasiswa masih menjadi sumber terbesar pemasok SDM industri pers (cetak dan penyiaran).
Menggapai Masa Depan
Menurut saya, saat ini situasi sungguh sudah sangat berubah. Teknologi informasi berkembang sedemikian pesat dan telah memberikan dampak perubahan gaya hidup yang luar biasa. Transparansi menjadi alat ukur di mana-mana. Perubahan adalah keniscayaan dan menjadi tuntutan untuk sulit untuk dielakkan.
Pers mahasiswa mau tak mau harus segera bersikap. Hendak ke mana mereka melangkah? Jika pers mahasiswa hanya terjebak dikelola sebagai alat pergerakan, saya mencemaskan pers mahasiswa tidak mampu menangkap tanda-tanda zaman. Namun, tak serta merta kekuatan dan nilai pergerakan yang dimiliki pers mahasiswa harus dihapus sama-sekali. Saya tidak menyarankan itu terjadi karena merupakan penyikapan yang ahistoris.
Yang lebih pas, barangkali, adalah dengan mengelola aset-aset yang dimiliki dan mengadaptasikannya dengan perubahan lingkungan (baca: pasar, teknologi, produksi, dll) agar eksistensi pers mahasiswa masih tetap berkibar, sekaligus memperoleh posisioning yang tepat di mata konstituennya. Sekali terlambat dilakukan, seperti saya katakan di awal, Pers Mahasiswa akan menjelma sebagai fosil Dinosaurus. Tinggal kenangan. Inikah yang dikehendaki….????!!!!

Sumber: asmono28.wordpress.com   I   Admin: FA
Catatan: tulisan ini pernah saya sampaikan pada seminar nasional dalam rangka Dies Natalis XIII Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Semarang, 6 April 2007.  

0 komentar: