Rabu, 19 Januari 2011

Pers Mahasiswa: Tak Mau Mati, Hidup Saja

Persma atau lembaga pers mahasiswa, bagaimana nasibmu kini? Pertanyaan inilah yang harus kita jawab bersama sebagai punggawa atau pegiat persma. Tetapkah dirimu dalam kubangan permasalahan penerbitan yang berkala. Kala-kala terbit dan kala-kala tidak terbit. Sumberdaya manusia yang punah dimakan seleksi alam. Dan, dana yang tak kunjung cukup memenuhi kebutuhan operasional liputan sampai pencetakan berita. 


Hidup segan mati tak mau. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi lembaga pers mahasiswa kekinian. Hidup segan karena semua serba kesulitan dan repot. Sulit dana, repot ngurus awak redaksi yang ogah-ogahan, repot tugas kuliah atau apa pun lah yang membawa rasa segan untuk hidup. Memang sak repotan sendiri jadi persma. Mati tak mau. Jelaslah bagaimana kalau persma mati, siapa yang akan membuat berita yang ’benar’. Siapa yang akan menyatakan kebenaran. Siapa lagi kalau bukan persma di tengah derasnya arus modal kapitalisme yang melilit perusahaan media. Meski dengan seambrek ’repotan’ persma tetap harus hidup. Tak mau mati.

Namun rasanya sekarang kita tak harus gundah dengan gambaran tersebut. Apalagi bingung dengan ungkapan hidup segan mati tak mau. Ungkapan itu harus segera didekonstruksi. Sudah saatnya beralih pada gambaran atau ungkapan yang lain. Persma yang tak segan hidup dan tak akan mati selamanya.

Manajemen Persma harus berubah
Tentunya konstruksi di atas tidak muncul begitu saja. Ada satu hal yang dapat dijadikan preskripsi bersama. Resep itu adalah manajemen. Jika ingin lepas dari belitan realitas pelik permasalahan di atas, harus dilakukan perubahan manajemen persma. Persma harus dikelola dengan manajemen yang baik dan tertata. Tidak ada lagi istilah bebas deadline, sdm yang sedikit, kurang dana, atau pun pledoi klasik nan klise lainnya.

Manajemen yang dimaksud terbagi menjadi tiga hal. Manajemen redaksi, manajemen sdm, dan manajemen organisasi. Memang nampaknya dalam keseharian mengelola lpm, kita sudah menerapkan tiga manajemen tersebut. Tapi coba kita pahami lagi, benarkah yang kita terapkan adalah manajemen yang baik. Sebuah manajemen yang lengkap dengan kekuatan controling di dalamnya. Rasanya tidak, selama ini yang kita lakukan hanya sebatas perencanaan dan pelaksanaan. Kalau pun ada kontrol seringkali tidak maksimal. 

Nah, mari kita kupas satu per satu. Pertama, manajemen redaksi. Kita bersama mafhum, sebagaimana mestinya persma telah menerapkan manajemen redaksi dalam kinerjanya. Dan kita semua paham benar, bahkan nglotok manajemen redaksi. Mungkin karena terlalu seringnya kita mendengarkannya dan mendendangkannya dalam setiap materi pelatihan jurnalistik tingkat dasar dan lanjut. Akan tetapi sudahkan kita menerapkannya dengan maksimal dan benar. Mengapa masih terjadi los deadline? Apa yang salah dari itu semua?

Saya akan coba menjawabnya, yang salah atau yang menyebabkan terjadi lepas deadline adalah manajemen redaksi yang amburadul. Pemahaman yang ada manajemen redaksi persma adalah sama dengan penjelasan urutan kerja redaksi beserta tupoksi masing-masing redaksinya. Padahal manajemen yang sebenarnya haruslah detail dan tentunya fleksibel sesuai dengan kondisi obyektif masing-masing lpm. 

Meski demikian, parahnya lagi manajemen redaksi yang didapat dan ada hanyalah teori. Ketidakpercayaan muncul, mungkin karena tidak pernah ditemukannya kondisi realitas yang sama dengan materi manajemen redaksi yang dijelaskan. Apalagi ditambah dengan pola pemahaman manajemen redaksi yang turun-temurun. Sama sejak bahula sampai sekarang. Tidak pernah ada inovasi di dalamnya.

Dampaknya adalah pegiat persma akan berjalan seadanya, sesuai pakem yang telah didapat, biasa-biasa saja. Tidak pernah ada inovasi dalam pengelolaan redaksi. Kalaupun ada terhitung minim, karena senantiasa dibayangi pakem yang rasanya tidak lagi boleh berubah. Semua itu salah dan selanjutnya menjadi penyebab manajemen redaksi amburadul.

Sebagai pegiat persma kita harus berani beda, selalu berinovasi. Mengikuti perkembangan jaman tapi tidak larut bersama arusnya. Artinya, manajemen redaksi harus berubah demikian adanya. Tidak ada pakem yang mewajibkan persma harus menerbitkan majalah ataupun buletin. Pola fleksibilitas harus kita ciptakan dalam diri persma. Kalau tidak bisa menerbitkan majalah, ya jangan menerbitkan majalah kalau tidak mau keteteran. Mengapa tidak terbitkan buletin, yang relatif lebih mudah, murah, dan terjangkau. Senyampang maksud dan isi berita sampai pada pembaca. Itu pun juga bukan alternatif tunggal, banyak alternatif lain yang justru memiliki outcome besar ke pembaca.

Ketika pemahaman di atas dapat kita pahami bersama, harapan redaksi untuk menerbitkan media persma yang kontinyu sesuai deadline tidak lagi menjadi mimpi. Persoalan selanjutnya, cukupkah dengan manajemen redaksi yang berhasil membuat media terbit kotinyu. Bagaimana dan sudahkah media kita dibaca oleh pembaca? Tentunya hal ini juga menjadi persoalan yang menuntut penyelesaian manajemen redaksi. 

Pernah dengar jurnalisme komik, pemberitaan dengan medium utama gambar, atau jurnalisme pesawat kertas, medium pemberitaan yang simple hanya dengan selembar kertas yang dilipat seperti membuat pesawat dari kertas. Semua itu media alternatif, yang kiranya lebih dapat dan ’dapet’ di hati pembaca. Bukankah maksud pemberitaan kita adalah sampainya maksud tulisan ke pembaca. 

Artinya, ditengah deras arus penerbitan media umum yang tampil dengan wajah beragam daya tarik, media persma harus juga berbenah. Image persma dengan media yang kurang menarik, jadul, atau konvensional mungkin, harus segera kita patahkan. Kuncinya adalah bagaimana manajemen redaksi kita maknai sebagai pola yang harus kita terapkan dengan beragam pertimbangan faktor yang melingkupinya. Singkirkan manajemen yang jumud bergantilah ke manajemen redaksi yang lebih up to date.

Kedua, manajemen sdm. Sebatas pengamatan saya, makin hari peminat jurnalistik, sebagai core activity dari persma, semakin bertambah. Kegiatan yang ada sangkut-pautnya dengan ritus kewartawanaan semakin diminati muda-mudi. Coba kita amati, berbagai media massa nasional atau pun lokal, mulai menambah rubrik muda, yang semua itu digawangi oleh wartawan muda juga. Artinya, kaitannya dengan sdm persma hari ini, aktivitas pers semakin diminati dan dapat dipastikan mahasiswa yang tertarik di dunia ini juga semakin banyak. Lebih lanjut tidak ada alasan untuk minim sdm atau terlambatnya proses regenerasi bagi lembaga persma.

Akan tetapi mengapa persma kekinian minim sdm? Mungkinkah ini dampak dari seleksi alam? Saya rasa tidak. Seleksi alam tidak akan pernah terjadi jika kita punya manajemen sdm persma yang baik. Selama ini kita selalu menyalahkan pegiat baru persma yang tidak at home dengan model persma. Mungkin ada benarnya. Tapi boleh jadi mereka terdepak seleksi karena manajemen sdm kita yang ala kadarnya. 

Ketiga, manajemen organisasi. Selama ini kita disibukkan dengan urusan redaksi dan sumberdaya manusia. Sehingga keduanya menyilaukan pandangan kita dari urusan yang satu ini, organisasi. Bukan maksud untuk membedakan urusan redaksi dengan organisasi. Karena memang ada yang beranggapan urusan organisasi secara implisit sudah ada dalam redaksi. I don’t give a shit-lah dengan itu, yang jelas urusan organisasi harus kita pentingkan. 

Organisasi boleh jadi yang akan menyeimbangkan kedua manajemen di atas, redaksi dan sdm. Dengan manajemen organisasi kita dapat mengemas keduanya menjadi kekuatan yang menopang laju persma. Saya punya anggapan, dengan manajemen organisasi yang baik, sebuah lembaga persma tidak lagi monoton dengan aktivitas ’persma’. Mungkin kita harus berani beda untuk mencipta sebuah kemasan. Karena tujuan mulia persma untuk menyatakan kebenaran dan membenarkan kenyataan, tidaklah an sich melalui pemberitaan media. Banyak aktivitas lain yang sebenarnya dapat meyokong tujuan mulia tersebut. Dan posisi ini menjadi fokus organisasi dengan manajemennya.

Saatnya Persma bangkit
Masih banyak sebenarnya yang dapat kita kupas dalam persma. Tulisan ini hanya mencoba mengantar dan sedikit ’membuka’ kalaupun selama ini nampak ’tertutup’ pemikiran kita bersama. Telah banyak perbedaan era sekarang dan era lama, era dimana media persma menjadi kekuatan yang tiada tandingannya. Dimana kala itu memang semua takut dan menutup ketakutan akan otoritarian pemerintah. 

Nah, bagaimana sekarang. Jaman telah berubah, semua serba terbuka semenjak kran reformasi dibuka. Tidak ada lagi perusahaan media yang takut dalam pemberitaan. Ekstrimnya, positioning persma dahulu memang belum diambil pihak lain, tapi telah dimiliki semua. Akankah kita berdiri dan bergerak dengan pola lama. Tentunya tidak. Saatnya persma bangkit, berpikir cerdas dalam mengelola lembaga pers mahasiswa dengan keliaran dan ke dalaman ide yang saya yakin dimiliki para pegiat persma.

Selanjutnya, tiga manajemen di atas merupakan satu kesatuan. Tidak ada yang harus lebih unggul dan terabai. Semuanya harus berjalan selaras dan seimbang menuju tujuan persma. Sehingga, persma ke-kini-an dan ke-akan-an tak lagi hidup segan dan mati tak mau. Pers mahasiswa Indonesia tak mau mati, hidup saja. Viva persma!!!


Sumber: batutulis.blogspot.com   I   Penulis: Alvin N M   I   Admin: FA

0 komentar: