Rabu, 19 Januari 2011

Membangun Persma Dalam Bentuk LPM

Dipandang secara ideal, persma lahir dengan berbagai alasan untuk sebuah arah perjuangan menuju perubahan besar di masyarakat.

Persma, layaknya pers umum, sebenarnya mampu menjadi pembentuk opini pada suatu komunitas, media transformasi sebuah nilai dan sarana komunikasi. Namun permasalahan mulai muncul di saat persma tidak dapat memancing perhatian masyarakat pembacanya sendiri karena persma tidak populer dikalangan mahasiswa. Pertanyaannya adalah persma sudah tidak dapat memenuhi tugas yang seharusnya dikerjakan.

Pilihan yang kemudian muncul adalah apakah tetap mempertahankan persma untuk tetap ada dan ikut mewarnai kehidupan demokratisasi kampus dengan konsekuensi mengubah dan membenahi infrastruktur yang ada. Pilihan kedua yaitu membubarkan persma dengan dalih sudah tak ada lagi pilihan karena persma komunitas pembaca tidak terlalu menghiraukan kehadirannya.

Pragmatisme yang kini muncul di setiap corak hasil terbitan dan kegiatan persma sebagai lembaga semakin tinggi. Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya prosentase mahasiswa yang berpikiran pragmatis pula. Kalau dilihat dari definisi yang ada pers mahasiswa
dapat dikatakan sebagai hasil hubungan mesra antara tradisi ilmiah kampus dengan tradisi jurnalisme[1]Dari definisi ini kiranya dapat dikatakan bahwa pers mahasiswa dalam melakukan
kehidupan sehari-harinya menggunakan metodologi ilmiah untuk mencari dan menganalisis data yang didapat dan menampilkannya dengan kemasan jurnalistik dengan berbagai gaya.

Pers Mahasiswa dalam Sebuah Organisasi
Proses pembatasan gerak pers mahasiswa oleh penguasa melaui NKK/BKK yang diberlakukan
seiring pembekuan dewan mahasiswa menempatkan persma dalam sebuah lembaga UKM (unit kegiatan mahasiswa) di golongkan sebagai sebuah perkumpulan sesama penghobi kegiatan jurnalistik dikampus. Misi dan bentuk persma yang ideal memang sejak itu sudah sengaja dimatikan.

Dengan bentuk seperti sebuah organisasi minat dan bakat, maka persma yang ada dibentuknya dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang mekanisme dan pola hubungan kerjanya sangat dibatasi hanya sebatas terbitan yang dijalankan oleh mahasiswa. Melalui UU Pokok pers, UU no. 21 tahun 1982[2] disebutkan bahwa pers mahsiswa bukan lagi sebuah wadah untuk proses ideologisasi mahasiswa yang ada dikampus tapi lebih hanya pada proses untuk menghasilkan sebuah terbitan.

Dari hirarki tanggung jawab, persma (menurut definisi UU Pokok tersebut) bertanggungjawab secara hukum kepada birokrat kampus dalam hal hasil terbitan, keuangan dan sebagainya. Dengan segala aturan yang dipandang mengekang tersebut, gerak laju pertumbuhan pers mahasiswa dikampus juga sangat terasa dibatasi.

Dipandang sebagai sebuah organisasi, persma juga terdiri oleh infrastruktur yang membentuknya. Infrastruktur yang dimiliki oleh pers mahasiswa adalah infrastruktur redaksional dan organisasi. Untuk dapat membangun persma secara keseluruhan, maka kita dituntut untuk membangun sebuah infrastruktur yang kuat yang menyusunnya.

Infrastruktur redaksional terkait dengan pemahaman mengenai Nilai Dasar Perjuangan Persma
yang kemudian diturunkan dalam program kerja redaksional dan yang lebih penting terkait dengan pola politik redaksional yang dijalankan.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, pilihan-pilihan selalu dihadapkan pada kita disaat harus mengambil langkah perbaikan infrastruktur yang ada. Mengenai infrastruktur mana yang harus didahulukan untuk dibangun masih menjadi pertanyaan semua pihak. 


Membangun Infrastruktur LPM
LPM sebagai lembaga formal dikampus berada diantara beberapa lembaga formal kemahasiswaan yang lain. Karena dalam berhubungan dengan lembaga formal lainnya, maka LPM dituntut untuk sedapat mungkin berhubungan sesuai dengan aturan main yang ada. LPM juga dituntut jeli saat dihadapkan pada suatu permasalahan yang memaksa diberlakukannnya politik organisasi secara spesifik.

Secara umum LPM terdiri dari dua infrastruktur utama yaitu infrastruktur redaksional dan organisasi. Infrastruktur redaksional terkait dengan kerjap-kerja yang menghasilkan suatu hasil terbitan. Untuk dapat menghasilkan sebuah hasil sesuai dengan politik redaksional dibutuhkan aturan mekanisme yang jelas dan SDM yang mempuyai kapabilitas.

Jika LPM hanya memperhatikan infrastruktur redaksionalnya saja, maka dapat berakibat pada lemahnya mekanisme organisasi yang menaungi kerja-kerja redaksional. Implikasi yang muncul kemudian akan sedikit banyak mengganggu kerja-kerja redaksional karena masalah keorganisasian yang muncul akan menyita banyak waktu para pegiatnya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun menjadi sangat tidak lucu ketika LPM lebih mementingkan membangun infrastruktur organisasi dengan mengesampingkan infrastruktur redaksional. Bisa jadi kerja redaksional yang dilakukan hanyalah sebuah aktivisme untuk sebuah hobi kewartawanan belaka.

Jadi untuk dapat membangun persma yang sudah kadung dimanifestasikan oleh NKK/BKK telah menjadi LPM, jawaban yang paling mungkin adalah membangun kedua infrastruktur tersebut secara stabil dan simultan. Stabil dalam artian tidak berat sebelah dan simultan berarti tetap menjaga konsistensi konsentrasi membangun kedua infrastruktur terssebut. 

Pilihan dari membangun kedua-duanya adalah bagaimana membuat sebuah sistem kaderisasi yang dapat memberikan gambaran mengenai kerja-kerja yang akan dan harus dilakukan. Dalam membangun kader dibutuhkan silabus kaderisasi yang jelas sehingga dapat dilakukan uji materi dan evaluasi dari setiap metode kaderisasi yang dipakai.

Lakukan Pembacaan Diri
Untuk memulai suatu kerja pembangunan organisasi, dibutuhkan perencanaan menyeluruh termasuk juga mengenai pendataan terhadap segala segala aset yang dimiliki oleh organisasi tersebut, termasuk didalamnya kemampuan SDM didalamnya.

Dari sekian banyak sumber daya yang dimiliki organisasi, SDM merupakan satu-satu sumber daya yang paling berharga. Dilihat dari sifat sebuah organisasi yang hanya sebuah benda mati, SDM adalah jawaban pokok mengenai keberlangsungan sebuah organisasi. Maka dengan sendirinya, pembacaan terhadap kemampuan SDM sangat penting mengenai seberapa besar sumber daya yang dimiliki tiap penggiat yang ada.

Levelisasi merupakan langkah awal untuk melihat seberapa jauh sumber daya yang dimiliki oleh setiap penggiat yang dimiliki. Levelisasi dapat berjalan dengan baik jika kita sudah mempunyai standarisasi yang jelas terhadap tiap level yang dibuat. Secara mudah, level person di sebuah organisasi dapat diberikan sebagai berikut: simpatisan, anggota, calon kader dan kader.

Dalam membuat levelisasi, standarisasi diberlakukan pada setiap person dengan pertimbangan beban kerja dan tanggung jawab. Parameter levelisasi tidak dapat menggunakan patokan berkait lamanya seseorang ada dalam organisasi tersebut juga bukan pada tingginya tingkat wacana dan pengetahuan yang dimilikinya. Pembuatan standarisasi dan parameter harus ketat, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses kaderisasi organisasi itu sendiri. 

Silabus Sebagai Gambaran Umum Kaderisasi
Setelah pembacaan awal terhadap potensi yang dimiliki oleh tiap anggota dilakukan, maka untuk menjalankan proses kaderisasi harus dibuat sebuah acuan kerja yang nantinya dipakai dasar melangkah.

Penyusunan silabus hendaknya berpijak pada kerangka awal pembangunan organisasi LPM secara menyeluruh. Kalau di LPM dikenal dengan dua infrastruktur organisasi, maka silabus juga diarahkan pada pembangunan kedua infrastruktur tersebut. Sedangkan untuk membangun infrastruktur organisasi dan redaksional dibutuhkan beberapa parameter yang jelas mengenai keduanya.

Gambaran umum silabus yang dibutuhkan nantinya akan diaktualisasikan kedalam beberapa proses kaderisasi pada setiap jenjang/level yang ada. Perlu diingat bahwa sebuah teori akan menjadi sampah jika tidak diikuti oleh beberapa proses penyertanya seperti pengendapan, pendalaman dan yang terpenting adalah penerapannya pada tiap kerjap-kerja yang dilakukan. Pengalaman empirik adalah guru terbaik dari sebuah pelajaran hidup termasuk juga organisasi.

Dalam kerangka organisasi kemahasiswaan, teori dan praktek menjadi sebuah kesatuan utuh yang tidak dapat terpisah atau saling mendahului satu sama lain. Maka untuk sebuah proses kaderisasi yang ada, silabus pelatihan juga harus diikuti oleh serangkaian kegiatan praksis.

Selanjutnya gambaran mengenai silabus kaderisasi tiap level dapat secara umum terlihat seperti di bawah ini :

A. Simpatisan
Simpatisan dapat didefinisikan sebagai person baik didalam maupun diluar sistem yang mempunyai rasa simpati terhadap keberadaan organisasi yang ada. Simpatisan dapat berupa simpatisan niat, yaitu hanya bersimpati sebatas dihati. Juga ada simpatisan yang ikut larut dalam beberapa dinamika organisasi namun tidak mempunyai keterikatan struktural organisasi (keanggotaan).

Karena simpatisan hanya bersifat kerja bakti dan berada di luar sistem, maka untuk setiap kerja organisasi, keberadaan simpatisan tidak dapat dan tidak perlu diperhitungkan sebagai target tim kerja. Namun perlu diingat, dengan adanya simpatisan maka secara tidak langsung eksistensi sebuah organisasi dapat diaktakan mendapat pengakuan dari luar sistem orgnisasi. Simpatisan hanya memiliki keterikatan emosional yang mungkin karena hubungan perkawanan atau perasaan senasib. Agar simpatisan dapat ‘digunakan’ untuk kerja organisasi, dapat digunakan cara pendekatan personal dan ajakan bergabung/ikut menyukseskan kerja-kerja organisasi. 

Untuk menarik simpatisan masuk kedalam sistem adalah dengan menarik mereka kedalam organisasi dengan menjadi anggota. Karena dasar simpatisan adalah simpati terhadap organisasi, maka secara otomatis simpatisan akan dapat diproyeksikan lebih lanjut.

B. Anggota
Orang yang dipandang telah memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan organisasi dapat dikatakan sebagai anggota. Sistem penyaringan anggota dapat dilakukan dengan beberapa mekanisme prasyarat yang jelas dan parameter yang berbeda tiap organisasi/LPM. Penentuan parameter untuk dapat menjadi anggota tergantung dari kondisi obyektif yang ada di sekitar LPM.

Modal dasar yang harus dimiliki oleh anggota LPM adalah kemampuan dasar jurnalistik dan ideologi persma. Skill dasar jurnalistik nantinya akan dipakai modal awal bagi anggota untuk berpartisiasi dalam kerja tahap produk buat anggota. Namun untuk wawasan ideologi hendaknya diberikan setelah skill dipunyai dan diterapkan dalam kerja konkrit, karena paham ideologi persma sendiri akan tidak banyak berarti pada anggota baru tanpa adanya pengalaman empirik dalam kerja-kerja di persma.

Sedangkan mengenai acuan dasar pembentukan anggota dapat digambarkan dengan beberapa silabus di bawah ini :

1. Wawasan 
  • Mengenal macam bentuk dan sifat dari tiap terbitan/pers.
  • Tugas dan tanggungjawab pers

2. Manajemen
  • Manajemen redaksional

3. Kemampuan dasar jurnalistik 
  • Teknik wawancara
  • Teknik menulis berita
  • Teknik menulis opini
  • Teknik polling
  • Lay out dan desain
  • Resensi

Setelah menjalani pelatihan dengan materi seperti di atas, maka hendaknya anggota baru diberikan ruang untuk sedikit banyak mengaktualisasikan kemampuan dasarnya dalam hal skil jurnalistik. Untuk itu dapat dibuat media tersendiri untuk mereka dan diberikan otoritas dalam hal manajemen redaksionalnya.

Hal di atas perlu dilakukan mengingat bahwa anggota baru hendaknya tidak diajak berpikir terlalu banyak dulu, api lebih pada penguatan pengalaman empirik dari kerja yang sudah dilakukan. Bentuknya dapat berupa buletin dwi mingguan atau bulanan yag sifatnya rangkuman berita seputar kampus. 

Sumber: lentera-rakyat.sos4um.com   I   Penulis: Agus Budiono   I   Editor & Admin: FA
[1] Lih. “Evaluasi 
dan Eksistensi Penerbitan Mahasiswa Indonesia” Eddy Rifai, 1997.
[2] Ibid

0 komentar: