Rabu, 09 Februari 2011

MANIS di MULUT PAHIT di PERUT Berbuah “Vandalisme” …… ?

Kejadian ‘vandalisme’ yang menelan korban jiwa di Pandeglang Banten belum sampai satu tarikan nafas, ternyata muncul peristiwa serupa di Temanggung Jawa Tengah.

Mendengar berita dan menyaksikan tayangan lewat televisi, sungguh sangat miris. Jika melihat kejadian semacam itu muncul berulang ulang dengan kadar yang berbeda, kita lantas berfikir, apakah para tokoh, ulama, cendekia, pemimpin dan mereka yang berwenang mengambil kebijakan sedang tidur? Sepertinya memang mereka tidak sedang ‘bobo’, namun tengah asyik berdebat menangkis segala tudingan yang bisa saja dialamatkan kepada mereka, tentu dengan dalih mencari jalan keluar terbaik.

Sebenarnya negeri ini tidak kekurangan orang pandai, cerdas dan berwawasan luas. Namun kehebatannya terasa masih terbatas hanya “manis di mulut pahit di perut”. Mereka tidak mampu memberi pencerahan tentang idealisme teori teori yang dipelajarinya dengan menggunakan bahasa awam atau bahasa orang kebanyakan terhadap kalangan bawah, rakyat jelata. Buktinya dalil-dalil indah yang dikemukakan mereka, yang notabenenya lebih melek secara intelektualitas justru malah direspon dangan hujan batu, hunusan parang dan sulutan api, saling bantai diantara kaum level bawah.

Kita mengenal lembaga yang disebut Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), tetapi filosophy dari kedua lembaga tersebut nampaknya terabaikan. Antar warga kampung atau kelompok masih sering saling serang hanya karena hal yang sepele. Para pemimpin bisanya cuman secara seporadis‘menyesalkan’ lantas rapat, seolah olah melakukan dialog guna mencari titik temu dan solusi, setelah agak mereda kemudian lupa apa yang harus dikerjakan lebih lanjut. Ketika muncul peristiwa lagi, mereka terkaget kaget lalu siap siap dengan argumentasi , kalau kalau ada yang mengkritiknya.

Ada seloroh yang mengatakan “lebih baik memiliki satu pemimpin bodoh, namun aman, rukun dan damai. Dari pada mempunyai seribu pemimpin yang pintar tapi kacau balau dalam mengelola berbagai permasalahan”.

Masyarakat kita, kini sangat rentan terhadap provokasi. Apalagi yang disentuh soal yang sangat sensitif yaitu agama, dikompori sedikit saja oleh pihak-pihak yang terkadang tidak jelas asal muasalnya lantas marah, ngamuk. Parahnya, seolah-olah nyawa manusia manjadi tidak berharga sama sekali, tertutupi oleh butanya pikiran dan hati. Seusai kejadian, yang tertinggal hanya tangis penyesalan dan umpatan.

Wahai para pemimpin, tokoh, ulama dan para cendikia lainnya jangan bosan untuk selalu terjun langsung mendidikmemotivasi serta memberi pemahaman yang benar tentang arti pentingnya hidup rukun dan damai kepada seluruh lapisan msyarakat, dalam bingkai kesatuan. Wahai warga masyarakat umumnya, janganlah mudah terprovokasi dan diadu domba antar sesama. Biarlah perbedaan mewarnai kita sehari-hari, karena perbedaan merupakan ‘ciri khas’ dari kehidupan manusia sepanjang masa. Perbedaan bisa saja menjadi cikal bakal keributan, sepanjang kita tidak mampu menghayati filosofi dari perbedaan itu sendiri. Saling menghargai dan menghormati perbedaan serta adanya pemimpin yang mumpuni, itulah kunci kerukunan atau kedamaian.


Sumber: kompasiana.com   I   Penulis: Nur Setiono   I   Admin: FA

0 komentar: