Sabtu, 15 Januari 2011

Ronggang Hukum Merampok Kayu (4)

Aturan memberantas pembalakan liar masih penuh celah. Para perampok kayu lihai memanfaatkan kondisi.

Cukong kayu Malaysia rajin menyuap para pengurus desa di Kecamatan Embaloh Hulu. Rumah dinas personel Polres Kapuas Hulu dan ruang kantor Polsek Embaloh Hulu, bahkan dibangun menggunakan ”uang kayu”.

Menurut Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian, “Illegal logging merupakan salah satu extra ordinary crime, karena sifat kejahatannya yang terorganisir.”
Sebagai kejahatan terorganisasi, pembalakan liar memiliki jaringan ke berbagai lapisan kelas mulai masyarakat biasa, pengusaha, birokrat bahkan politisi. Kejahatan pembalakan liar lihai memanfaatkan perubahan sistem pemerintahan dan aturan penegakan hukum.
Sejak akhir 1990-an, setidaknya terjadi lima modus operandi pembalakan liar. Pertama, pembalakan liar secara seporadis. Kedua, izin hak pemanfaatan hasil hutan (HPHH) 100 hektare. Ketiga, memanfaatkan proyek pembangunan, seperti pembukaan jalan dan transmigrasi.
Keempat, pembalakan liar yang terintegrasi dalam skema bisnis legal, seperti perkebunan dan tambang. Kelima, memanfaatkan celah penegakan hukum, seperti melalui lelang kayu. 
Dalam operasinya, cukong kayu asal Malaysia Apeng, merangkul masyarakat biasa, pejabat pemerintah, elit politik, dan aparat keamanan. Dia juga membangun berbagai tempat pertemuan, fasilitas pemerintah, dan rumah aparat keamanan. Semua pihak dapat jatah.
UU Otonomi Daerah berlaku pertengahan 1999 dan diperbaharui tahun 2003. Kondisi ini didukung beberapa aturan kehutanan yang oportunis, seperti kebijakan HPHH 100 hektare.
Tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, mengeluarkan 600 izin HPHH dari 1.300 kelompok yang mengajukan. Pada periode yang sama, Kabupaten Kapuas Hulu mengeluarkan 400 izin.
Selain megeluarkan SK mengenai HPHH, Departemen Kehutanan memberi keleluasaan kepada provinsi dan kabupaten untuk menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).
Aturan Dephut ditindaklanjuti lima kabupaten di Kalbar. Kabupaten Kapuas Hulu melalui SK Bupati No 2/2000. Sintang melalui SK Bupati No 19/1999. Sanggau dengan SK Bupati No 15/2000. Bengkayang melalui Perda No 1/2000. Dan Ketapang dengan Perda No 29/2001.
“Praktis pada era transisi dari sentralisasi ke otonomi, praktek illegal logging berada pada puncak kejayaannya,” kata Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian.
Meski praktik pembalakan liar lebih populer setelah masa otonomi daerah, praktik kejahatan tersebut diyakini sudah terjadi sejak masa Orde Baru. Indikasinya, penurunan kualitas dan kuantitas hutan.
Ada beberapa faktor penyebab pembalakan liar tidak muncul ke permukaan pada era sentralisasi pemerintahan. Belum adanya kebebasan menyampaikan pendapat, menghambat upaya membogkar praktik pembalakan liar.
Indonesia saat itu, berada dalam cengkraman rezim yang kuat dan dipengaruhi para pengusaha yang sebagian besar terlibat pembalakan liar.
Para pelaku pembalakan liar adalah pemegang izin usaha kehutanan. Seperti pemegang izin HPH atau hutan tanaman industri yang dekat dengan penguasa. Sehingga praktik pembalakan liar tidak muncul ke permukaan.
Bukti pembalakan liar sudah terjadi pada masa pemerintahan sentralisme, terlihat dari besarnya jumlah degradasi dan deforestasi hutan Indonesia sejak 1970-an hingga akhir 1990-an.

Pada era otonomi daerah, pembalakan liar jadi isu penting sektor kehutanan. Desakan pihak internasional, memaksa pemerintah lebih serius melakukan terobosan menghentikan pembalakan liar. Pada masa transisi sentralisasi pemerintahan ke otonomi daerah tahun 2005, praktik pembalakan liar mulai turun.

Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 4 Tahun 2005, tentang Penertiban Praktek Illegal Logging dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di seluruh Indonesia.
UU Tindak Pidana Korupsi juga memberi peran menciptakan ketakukan bagi aktor pembalakan liar, seperti cukong kayu dan pejabat daerah.
Di Kalimantan Barat, beberapa pejabat pemerintahan harus menghadapi proses hukum terkait pembalakan liar. ”Meskipun secara keseluruhan, prosentase pejabat publik yang diproses secara hukum jauh lebih kecil dibandingkan pelaku pembalakan liar lainnya,” kata Yuyun.
Menurut Yuyun, ada beberapa faktor penyebab pembalakan liar di Kalimantan Barat. Yaitu, lemahnya penegakan hukum serta tidak adanya ketegasan aturan terkait pemenuhan kebutuhan kayu lokal (domestic timber procurement). 
Lemahnya manajemen pengelolaan sumber daya hutan, terutama terkait data dan informasi persediaan dan permintaan kayu, terutama untuk kebutuhan lokal. Rendahnya kepedulian para pihak terhadap penggunaan kayu legal. Dan banyaknya kawasan hutan yang tidak terkelola dengan baik atau dikonsesikan kepada unit usaha yang tidak mendapat beban tanggung jawab pengelolaan.
“Sehingga kawasan ini menjadi open access bagi para pelaku illegal logging,” ujar Yuyun.
Disisi lain, pemerintah tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengelola kawasan hutan yang terbuka tersebut. Dari 4 juta hektare kawasan hutan produksi di Kalbar, hanya 1,7 hektare yang merupakan konsesi HPH sehingga tanggung jawab pengamanannya berada di pemegang izin.
Selebihnya, ada sekitar 2,3 juta hektare hutan menjadi kawasan terbuka untuk dimasuki, sehingga rentan terjadi praktik pembalakan liar.
Selain itu, masih ada perbedaan tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, terkait wewenang pengelolaan hutan. Terutama yang berpotensi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Dibandingkan jumlah HPH dan industri kehutanan pada era 1970 hingga 1980-an, jumlah usaha sektor kehutanan di Kalbar saat ini menyusut lebih dari 75 persen. Pada tahun 2004, Departemen Kehutanan mencabut sekitar 60 izin HPH di Kalbar, terkait kebijakan soft-landing policy.
Soal penyebab pembalakan liar, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura (Untan), Adi Suryadi mengatakan, ”Illegal logging merupakan dampak ikutan dari HPH.”
Menurut Suryadi, kontrol pemerintah terhadap HPH sangat lemah. Tahun 1970-an, pemerintah membangun sistem eksploitasi hutan. Paradigmanya berorientasi pada produksi.
Ketika HPH digalakkan, banyak perusahaan tidak mematuhi aturan pengelolaan hutan. Kontrol terhadap HPH lemah. Jika terjadipelanggaran, sanksinya juga lemah. Sehingga pembalakan liar berkembang pesat.
Orientasi pembangunan pada masa itu adalah produksi dan ekonomi. Menciptakan ekonomi yang kondusif. Sehingga eksploitasi hutan boleh dilakukan. “Tingginya permintaan kayu di Eropa, turut memperparah illegal logging,” kata Suryadi.
Yuyun dari Yayasan Titian mengatakan, praktik pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal, pasang surut tergantung beberapa faktor. Faktor yang paling mempengaruhi adalah keamanan. Terutama terkait tindakan penegakan hukum atau operasi penertiban.
Operasi pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal, tidak digerakkan dengan baik. Operasi pemberantasan pembalakan liar dilakukan jika ada tekanan dari kelompok di dalam maupun luar negeri.

Tensi operasi pemberantasan pembalakan liar akan diperketat jika terjadi pergantian kepemimpinan pemerintahan. Ajang unjuk kekuatan dan memperbaiki citra sebagai pemimpin yang peduli lingkungan.

Operasi pemberantasan pembalakan liar juga kerap dijadikan senjata posisi tawar kelompok tertentu, dengan menggunakan alat kekuasaan atau penegak hukum.  
 “Sehingga kebijakan yang muncul cenderung bersifat oportunis. Yang pada akhirnya, justru meningkatkan eskalasi praktik illegal logging di lapangan,” kata Yuyun.
Pada awal tahun 2000, pemerintah menggelar beberapa operasi pemberantasan pembalakan liar. Operasi Wana Bahari, Wanalaga, dan Hutan Lestari. Operasi ini melibatkan penegak hukum lintas sektoral. Dari Departemen Kehutanan, TNI, dan Polisi.
Namun, aturan pemerintah pada tingkat perdagangan kayu masih sama. Pemerintah hanya terpaku pada tingkat perdagangan kayu yang mengarah pasar internasional. Kondisi ini mengikuti tuntutan aturan perdagangan kayu legal yang diberlakukan sejumlah negara sasaran ekspor kayu.
Negara-negara Eropa memberlakukan Voluntary Partnership Agreement (VPA). Lacey Act yang berlaku bagi pasar Amerika. Dan Green Konyuho untuk pasar Jepang.
Pemerintah lebih menaruh perhatian pemberantasan pembalakan liar yang berhubungan dengan negara tujuan pasar tersebut. Padahal, perdagangan kayu domestik, sampai saat ini masih didominasi kayu illegal hasil tebangan masyarakat. Praktik pembalakan liar masih lestari.
“Terutama, bila pemerintah tidak menaruh perhatian pada sisi perdagangan kayu, dan pemenuhan kayu bagi kebutuhan lokal,” ujar Yuyun.
Yosep Unja, kontarktor kayu yang bekerja pada cukong asal Malayisa berpendapat, penanganan pembalakan liar tidak akan selesai jika cukong masih ada. Sebab, kerja kayu muncul karena ada pembeli. Tidak akan bermanfaat jika aparat keamanan hanya menangkap para pembalak skala kecil. “Illegal logging masih tetap berjalan. Tapi kalau yang diambil bosnya, illegal logging tak ada lagi,” kata Unja.
Alasan lain pembalakan liar makin subur, karena masyarakat tidak ikut menikmati sistem legal HPH. Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura (Untan), Adi Suryadi, warga terlibat hampir di semua tahap eksploitasi hutan.
Mulai hilir hingga hulu. Mulai dari penebangan hingga pengangkutan. “Peran serta warga sangat besar,” kata Suryadi.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan, hingga 2007, jumlah HPH di Kalbar tinggal 22 unit manajemen HPH. Setengah dari jumlah tersebut, tidak menunjukkan aktifitas produksi. Pertengahan 2010, Dephut juga mencabut enam izin konsesi dari 22 konsesi di Kalbar.
Menurut Yuyun, jumlah pembalakan liar di Kalbar turun dibanding 10 tahun lalu. Namun, pembalakan liar masih terjadi untuk memenuhi kebutuhan kayu tingkat lokal.
Pembalakan liar dapat dihentikan jika pemerintah daerah memiliki data dan informasi yang cukup, mengenai ketersediaan dan kebutuhan kayu. “Data dasar itu penting. Pengelolaan sumber daya hutan,” kata Yuyun.
Negara konsumen kayu Indonesia juga harus memiliki kebijakan mengurangi impor kayu ilegal. ”Inisiatif dari negara konsumen tersebut harus diimbangi dengan upaya kita meningkatkan diplomasi dan menaikkan posisi tawar.”
Tahapan meningkatkan posisi tawar dan diplomasi, bukan lagi domain sektor kehutanan. Sektor terkait, seperti Kementrian Luar Negeri harus bekerja sinergis agar mendukung upaya ini. “Agar diplomasi perdagangan di level internasional dapat diperjuangkan maksimal,” ujar Yuyun. (bersambung)


Sumber: VHRmedia   I   Penulis: Muhlis Suhaeri

0 komentar: