Sabtu, 15 Januari 2011

Menebus Utang Pembalakan (5)

Ekonomi masyarakat ambruk akibat pembalakan liar hutan Kalimantan. Masyarakat membayar utang keserakahan para perampok kayu.



Ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, pembalakan liar mulai dipantau dan ditertibkan. Pada tahun 2005 genderang perang terhadap pembalakan liar ditabuh.

“Tidak ada yang mau main-main dengan illegal logging,” kata Lutfi Achmad, Kepala Taman Nasional Betung Kerihun. “Risikonya terlalu berat.”
Pemerintah pusat mencabut kewenangan pemerintah daerah memberikan izin pembukaan lahan 100 hektare. Izin di atas 5 ribu hektare dievalausi. Evaluasi mencakup siapa yang memberikan izin. Ada rancangan dan kegiatan atau tidak. Juga izin memperhatikan kelestarian hutan atau tidak.
“Penyetopan kayu membuat warga menderita dan tidak ada yang dikerjakan selama satu tahun,” kata Karim. Banyak warga bangkrut karena tak ada kerja. Apalagi pemilik kayu yang belum sempat mengirim ke Malaysia. Mereka telanjur menggunakan uang sendiri.
Menurut laporan WWF Kalimantan Barat, kesulitan memberantas pembalakan liar karena didukung aparat keamanan. “Hampir semua aparat keamanan terlibat dalam penyelundupan kayu,” kata Edmundus, salah seorang cukong kayu.
Pernyataan itu diperkuat Yusuf Baja, salah satu penampung kayu dari Lanjak. “Kami dicukai 55 ribu rupiah per tan kayu. Ini kewajiban yang harus disetor kepada kapolsek. Katanya untuk uang keamanan,” kata Baja. “Di sini  nyaris tanpa hukum. Yang terjadi adalah hukum  rimba. Siapa yang paling kuat, dialah yang berkuasa. Sebagian  masyarakat tidak berdaya menghadapi mereka.” 
“Pembalakan itu begitu demontratif. Tak ada upaya penegakan hukum. Seolah tak ada negara,” kata Anas Nasrullah dari WWF.
Atas dasar itu dibuat kesepakatan dengan warga. Intinya, warga diminta membantu upaya penanganan pembalakan liar.
Dimulailah pengumpulan berbagai bukti lapangan mengenai pembalakan liar. Foto dan film pembalakan liar dikumpulkan sebagai bukti. Dilakukan operasi penyamaran dan menyusup ke pusat-pusat lokasi pembalakan liar. Penyusupan tidak mudah. Para pembalak liar selalu mencurigai orang asing yang masuk ke wilayah tersebut.
Pengumpulan bukti juga merespons keluhan yang disampaikan Suhartono, Kepala Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) waktu itu. Tak ada laporan mengenai pembalakan liar di TNBK.
Selain itu, media massa lokal, nasional, dan internasional juga mulai memberikan sorotan. Ada testimoni warga. Setiap minggu diupayakan muncul berita mengenai pembalakan liar di media.
“Kegiatan juga dilakukan dengan memberikan tekanan pada pemerintah,” kata Syahir Syah dari WWF. Misalnya membuat para pembeli kayu di Eropa memboikot kayu hasil pembalakan liar.
Kegiatan dilakukan dengan memberikan berbagai data mengenai pembalakan liar kepada pemerintah. Setelah bukti lengkap, pemerintah mulai melakukan operasi penangkapan yang dilakukan secara gabungan. 
Aparat keamanan melakukan operasi gabungan untuk menangkap cukong kayu. Ada tentara, polisi, dan petugas taman nasional. Namun, operasi sering bocor. Tim Wanalaga 1 dan 2 misalnya, tidak menemukan pekerja sawmill di lapangan.
Pada 23 November - 7 Desember 2004 digelar operasi gabungan TNI dari 621 kelompok pasukan lintas batas Banjarmasin, Kalimantan Selatan, TNBK, dan kepolisian. Operasi berlangsung di kawasan barat Taman Nasional Betung Kerihun, Desa Sebabai, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, 845 kilometer arah timur Kota Pontianak dan 1 kilometer dari perbatasan Malaysia.
Operasi ini berhasil menangkap 3 cukong kayu dari Malaysia, Chien Lok Ung alias Alok, Ling Lik Ung alias Ling, dan Ngu Sie Kiong alias Kiong. Ketiganya anak buah Apeng. Ketika tertangkap, mereka langsung dibawa ke tahanan Direktorat Reserse Kriminal Polda Kalimantan Barat.
Ada beberapa barang bukti disita. Lima buldozer, 1 loader (kepiting), 1 mobil tangki minyak bernomor Malaysia, 1 unit injection pump eksavator, 2dinamo starter bulldozer, dan 6 mobil Toyota Land Cruiser bernomor Malaysia. Saat kejadian Agus Sutito menjabat Kepala Taman Nasional Betung Kerihun.
Ketika olah tempat kejadian perkara, 17 Januari 2005, sekitar 25 warga bersenjata merebut dan membawa lari 3 Land Cruiser sitaan. Padahal, tim olah TKP 27 orang, terdiri atas 9 polisi hutan TNBK, 2 polisi hutan Dinas Kehutanan Kapuas Hulu, 3 staf Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu, 4 anggota Kodim 1206 Putussibau, 4 anggota Polres Kapuas Hulu, 4 anggota Perintis Polres Kapuas Hulu, dan 1 jurnalis.
“Mereka disandera warga bersenjata pimpinan Stefanus Kuya,” kata Yan Andrea, jurnalis TV 7.
Polisi tidak mengejar para pelaku. Saat polisi diminta mengawal 5 alat berat sitaan ke Putussibau, Polres Kapuas Hulu malah minta imbalan Rp 24 juta kepada Taman Nasional Betung Kerihun. “Tapi, hanya Rp 10 juta yang disanggupi TNBK,” kata Yan Andrea.
Setelah kejadian, Kapolres Kapuas Hulu AKBP Didi Haryono menolak memberikan konfirmasi. Dia malah menjadikan dirinya juru bicara aparat hukum lainnya menyangkut kasus tersebut. “Sebab, hal itu sudah menyangkut tim,” katanya kepada Yan Andrea.
Sebelum wawancara, Didi bertemu Komandan Kodim 1206 Kapuas Hulu Letkol Media Purnama, Kepala Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu Santoso, dan Ketua Pengadilan Negeri Kapuas Hulu Nelson Samosir. Kemudian Didi menunjuk dirinya mewakili para aparat tersebut. Didi akhirnya diganti dan “masuk kotak” Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri.
Kepala Taman Nasional Betung Kerihun Lutfi Achmad mengatakan, kayu-kayu gelondongan sitaan mencapai 7 ribu hingga 8 ribu atau setara 35 ribu meter kubik. Diameter kayu besar-besar. Ada yang mencapai 60cm hingga 80 cm. “Kesulitan utama menjaga TNBK dari segi luas wilayah.”
Luas Taman Nasional Betung Kerihun mencapai 800 ribu hektare. Sama dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta. Namun, TNBK hanya dijaga 120 petugas dan personel lokal. Akses masuk dapat ditempuh melalui empat jalur Sungai Embaloh, Mendalam, Kapuas, dan Sibau. Pada setiap akses sungai didirikan pos pengamanan.
Di Sungai Embaloh, pos pengamanan berdiri di Sadap. Nanga Opat di Sungai Mendalam. Di Sungai Kapuas pos pengamanan di Tanjung Lokang, Bungan. Dan di Sungai Sibau berdiri pos pengamanan di Nanga Potan. Pos pengamanan didirikan di desa terdekat dengan TNBK. Jaraknya sekitar satu hari jalan kaki.
“Ketika ada kayu yang masuk, kami punya pos di dalam, sehingga hal itu bisa termonitor,” kata Achmad. Namun, cukong menggunakan jalur logging hutan lindung di TNBK.
Kesulitan Taman Nasional Betung Kerihun menjaga hutan pada keterbatasan akses. Terutama yang berbatasan langsung dengan Malaysia. TNBK sebelah utara berbatasan dengan Malaysia, sepanjang 148 kilometer. Mulai dari Batang Aik dan Lanjak Entimo. Sisanya berbatasan langsung dengan konsesi kebun dan HPH Malaysia. Tahun 2007 ditemukan helipad di pos perbatasan. Tahun 2009 ditemukan jalan syarat atau jalan traktor, masuk ke wilayah TNBK hingga 1,5 kilometer.
Selain meggelar operasi pemberantasan pembalakan liar, aparat keamanan juga menutup sawmill. Salah satunya di Sungai Luar. Pasukan Brimob datang dan menutup lokasi tersebut. Warga pernah melakukan demo membawa senjata tajam dan senapan lantak. Setelah itu sawmill dibuka selama satu bulan, kemudian ditutup lagi.
“Wah, nanti kalau demo terus akan melawan pemerintah. Sebab, bila ada Dayak mati satu, kita akan perang,” kata Henri Iding, Kepala Dusun Sungai Luar.
Ketika sawmill ditutup, berbagai peralatan dijual orang kampung. Warga memotong mesin sawmill dan menjadikannya besi bekas. Besi dijual kiloan. Satu kilogram dihargai Rp 1.000. Satu mesin beratnya sekitar 30 kilogram. Traktor beratnya mencapai 5 tan. “Polisi datang untuk memotong peralatan bersama orang kampung setiap hari,” ujar Iding.
Menurut Iding, warga Dayak ibarat babi dan ayam yang ditaruh di kandang. Tak bisa ke mana-mana. Kalau pemiliknya ingat, mereka akan memberi makan. “Tapi, kalau tidak ingat, binatang itu akan kelaparan.”
Setelah terbit Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah RI, ada 18 instansi mendapat kewenangan menindak dan menertibkan pembalakan liar. Antara lain TNI, Polri, dan beberapa instansi teknis terkait di tingkat nasional sampai kabupaten. Dalam praktiknya, Inpres 4/2005 tidak dapat diterapkan secara maksimal. Alasannya, konflik kepentingan antarsektor cukup tinggi. Terutama di tingkat penegak hukum.
“Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa insiden, yang mengarah perseteruan antar-instansi,” kata Yuyun dari Yayasan Titian. Seperti yang terjadi di Kalbar baru-baru ini, antara SPORC Kalbar dengan Dishut Kabupaten Kubu Raya.
Dampak Sosial Pembalakan Liar


Nanga Badau merupakan wilayah paling timur di Kabupaten Kapuas Hulu yang berbatasan langsung dengan Lubuk Antu, Malaysia. Pada tahun 1970-an ada beberapa perusahaan pemegang HPH berlokasi di Badau. Antara lain PT Rimba Ramin, Tawang Maju, dan Benoa Indah.

Warga tak tahu ada pengusahaan HPH di wilayah mereka. Perusahaan tidak melibatkan warga. “HPH menebang hutan seenaknya. Sekalian saja kami ambil kayunya. Tapi kalau warga yang ambil kayu dibilang illegal logging,” kata Luther Iding, Dewan Adat Dayak (DAD) Badau. Iding keturunan Dayak Iban. Subsuku Dayak yang sebagian besar hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kapuas Hulu. 
Ketika warga berusaha sendiri, ekonomi mulai terasa bergerak. Masyarakat bisa menjual kayu secara langsung. Warga bisa membangun rumah dan membeli kendaraan. Dulu rumah dan kantor tak ada yang terbuat dari tembok. Setelah pembalakan liar, sebagian besar rumah berdinding tembok. Wilayah itu juga mulai terbuka. Banyak pendatang dari daerah lain. Mereka berdagang dengan membuka toko atau warung. “Kalau tak ada illegal logging, tak akan ada orang Padang dan Jawa jualan nasi di sini,” kata Iding.
Hal itu berimbas pada sektor ekonomi lainnya. Iding berjualan onderdil kendaraan. Ketika pembalakan liar jaya di Kalimantan Barat, penjualan di tokonya bisa mencapai Rp 3 juta sehari. Sekarang mendapat Rp 500 ribu saja sulit sekali.
Iding punya 4 truk. Sewa truk Rp 350 ribu tiap rit atau sekali jalan. Satu truk bisa membawa kayu 3 hingga 4 kali.  “Dulu, bocor sedikit ban akan dibuang dan ganti baru. Sebab, kerja rit. Kalau nunggu tambal ban akan ketinggalan rit,” kata Iding. Sekarang meski sudah bocor dua kali, ban akan tetap digunakan.
Sebagai pengurus Dewan Adat Dayak, Iding kerap menangani masalah kehidupan warga Dayak. Adat mengajar yang tak baik menjadi baik. Ketika pembalakan liar masih ramai, hal yang kerap terjadi pada warga adalah konflik batas desa. Warga sama-sama mengklaim lokasi itu wilayahnya. Bila ada perkara, penyelesaian secara adat. Misalnya, antara Desa Empiam dan Empaik. “Soal batas sampai sekarang yang paling mengetahui adalah orang adat,” ujar Iding.
Di Badau, perubahan kehidupan ekonomi dan sosial sangat terasa. Sebab, Badau menjadi muara dan siklus akhir dari pembalakan liar. Bertemunya para pekerja pembalak liar, kontraktor, dan cukong kayu Malaysia membuat peredaran uang sangat besar di Badau. “Orang kita tidak bisa kelola duit. Uang illegal logging macam uang judi. Senang dapat, senang juga keluar,” kata Iding.
Ada yang sabung ayam, judi, mabuk-mabukan, prostitusi, hingga punya istri lagi.
Praktik prostitusi berlangsung terbuka. Losmen dan penginapan penuh dengan perempuan. Mereka siap melayani tamu. “Biasanya ada germo yang mengkoordinasi,” kata Andre, sopir mobil sewaan. Andre juga perantara tamu dengan para pekerja seks komersial.
Setiap tiga bulan germo mengganti pekerja seks dari daerah lain. Ada rotasi silang. Pekerja seks juga berasal dari perempuan pekerja yang diusir dari Malaysia. Pemerintah Malaysia mengusir pekerja perempuan yang dianggap bermasalah. Mereka yang datang dari Badau akan dipulangkan melalui jalur di Entikong, Sanggau. Yang masuk dari Entikong akan dipulangkan lewat Badau.
Para pekerja perempuan ini, karena tak memiliki uang, akhirnya bekerja sebagai pelayan rumah makan atau pekerja seks. “Uang tak ada. Apalagi yang mau dikerjakan?” kata Andre.
Pusat ekonomi lainnya yang bergerak sangat cepat adalah Lanjak. Ketika pembalakan liar masih berlangsung, pasar Lanjak sangat ramai. Kegiatan ekonomi sangat terasa. Lanjak jadi kekuatan ekonomi yang tiba-tiba bergerak cepat. Masalah sosial segera muncul. “Orang di sini punya budaya minum. Apalagi zaman illegal logging,” kata Matius.
Tak mengherankan bila di sekitar Pasar Lanjak mudah menemukan orang minum alkohol. Mabuk-mabukan berlangsung dari pagi sampai malam. “Tak hanya per botol, tapi sudah pakai krat,” kata Lorens dari WWF.
Hampir setiap hari ada orang minum. Setelah minum, biasanya main perempuan. Perempuan ini mangkal di losmen-losmen yang bertebaran di sekitar Lanjak. Prostitusi di Lanjak berlangsung secara tersembunyi, berbeda dari di Badau yang berlangsung secara terbuka.
Hermansyah, 45 tahun, pengemudi speed boat di Lanjak pernah merasakan nikmatnya masa pembalakan liar. Ketika pembalakan liar masih marak, ada 32 speed boat bermesin 40 PK tergabung di koperasi. “Setiap hari mereka antar penumpang ke Semitau,” kata Hermansyah. Setelah itu balik lagi ke Lanjak.
Perjalanan Lanjak-Semitau butuh waktu satu setengah jam. Ongkosnya sekitar Rp 950 ribu. Dalam sehari mereka dapat mengantongi Rp 1,8 juta, belum termasuk ongkos bensin. Sekarang  hanya tersisa 5 speed boat yang beroparsi. Speed boat harus antre dan bergilir. Dalam satu bulan, pengemudi speed boat hanya mengantar penumpang sekali.
Nasib serupa dialami Pujiwati, 40 tahun, pemilik warung makan di Lanjak. Dia punya 5 anak. Ketika pembalakan liar masih marak, dia bisa mendapatkan Rp 2 juta sehari. “Sekarang dapat 500 ribu rupiah saja susah,” kata Pujiwati, yang juga mantan transmigran di Nanga Silat, Sintang.
Dulu pelanggan warungnya sopir dan kernet truk. Juga para pekerja kayu. Dari pukul 5 pagi orang sudah datang untuk sarapan. Warung buka dari pagi hingga malam. Malam hari truk masih berderet mengangkut kayu. “Banyak orang berjudi, minum, dan main perempuan,” kata Pujiwati. Termasuk suaminya yang bekerja di kantor kecamatan. Setiap mendapat uang selalu berjudi. Mereka biasanya main judi di samping Markas Koramil. Mereka leluasa berjudi di sana.
Dari berjualan, Pujiwati bisa membuat rumah dan membeli motor. “Sekarang, orang yang tak bisa simpan uang, ya tak punya apa-apa,” ujarnya.
Dampak sosial pembalakan liar, banyak konflik wilayah dan kecemburuan sosial. Konflik identitas juga muncul terkait penguasaan sumber daya alam.
Seperti terjadi di daerah aliran Sungai Labian. Ada sekitar 22 kampung di daerah aliran sungai ini. Jumlah penduduknya sekitar Rp 6 ribu orang. Pembalakan liar sebagian besar terjadi di hulu sungai.  Di Ukit-Ukit, Tebelu, Kelawir, Jejawe dan Bakul 1, 2, dan 3. Ukit-Ukit dan Jejawe daerah paling parah terkena pembalakan liar. Erosinya sampai ke Danau Sentarum di Nanga Leboyan.
Tepian sungai Labian awalnya ditempati orang Dayak Tamam Baloh. Dalam perkembangannya, orang Dayak Iban mulai menempati daerah itu. Terutama di bagian hulu Sungai Labian. “Yang punya lokasi orang Labian. Tapi malah tidak diperhatikan. Orang Guntul saja yang sebagian besar dapat,” kata Anton. Guntul sebagian besar ditempati orang Dayak Iban.
Kontraktor kayu seperti Apeng dianggap tidak menepati janji dalam pembagian hasil. Hal itu menimbulkan kecemburuan sosial. “Kalau illegal logging tak dihentikan akan terjadi konflik etnis. Karena banyak konflik batas wilayah,” kata Unja.
Warga di Embaloh Hulu merasa rugi atas pembalakan liar. Sebab, mereka tak bisa menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari. Cara berladang warga juga terganggu, karena ladang kerap longsor.
Sungai Labian tak bisa digunakan. Bagian hulu sungai dibabat habis untuk sawmill milik Apeng di Guntul. Pada tahun 2002 warga mulai menunjukkan sikap tidak setuju. Apeng pernah menjanjikan bantuan air minum dalam bentuk pemberian pipa-pipa paralon dan semen. Namun, pembangunan saluran air bersih tidak pernah terwujud. Warga menyegel dan menahan alat berat serta mobil milik Apeng. Warga berdemo sambil membawa senjata tajam dan senapan lantak. Warga bergeming tak mau melepaskan alat berat. Negosiasi alot. Tuntutan warga hanya satu, air untuk minum.
Apeng meminta aparat keamanan, Kodim, dan pemerintah setempat membantu membebaskan alat berat. Aparat keamanan datang ke tempat warga. “Kalau alat berat tak dikembalikan, saya tinggal hitung mayat kalian,” kata aparat kepolisian, seperti ditirukan Unja.
Unja dan beberapa warga sempat dipanggil ke Lanjak dan ditanya petinggi tentara dari Mabes TNI yang sedang mengamati pembalakan liar di wilayah itu. Dia juga sempat menemui Kapolda Kalbar (saat itu) Nanan Sukarna untuk mengadukan masalah tersebut.     
Pembalakan liar tak hanya berakibat pada rusaknya alam dan tata kelola sumber daya alam. Ini juga berimbas pada satwa di dalamnya. “Orang yang kerja di hutan tidak peduli dengan binatang apa. Ketemu akan dimakan,” kata Anton.
Pekerja pembalakan liar di hutan bakal bertemu banyak binatang liar. Bila wilayah kerjanya dekat dengan jalan raya jarang ada binatang.
Berdasarkan studi Yayasan Titian tahun 2004, ditemukan hubungan sangat kuat antara pembalakan liar dan perburuan dan perdagangan satwa. Contohnya, untuk menghemat pengeluaran logistik para penebang biasanya mendapat sumber makanan dari binatang buruan. Binatang eksotis dan memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti burung dan beberapa satwa lainnya, bisa jadi pendapatan lain bagi pekerja kayu.
Karena itu, tidak heran bila dalam area penebangan para pekerja kayu memiliki kandang sementara. Kandang berfungsi memelihara binatang buruan. “Sebelum mereka membawa keluar hutan dan menjualnya,” kata Yuyun.
Pembalakan liar juga berdampak pada bangunan fisik rumah betang. Sepanjang jalur lintas utara, perubahan mencolok terlihat dari struktur bangunan rumah betang. Meski masih berbentuk rumah panjang, bangunan rumah tak lagi didominasi bahan dari kayu. Sebagian besar menggunakan batu dan semen.
Rumah betang tak lagi berbentuk panggung dan tinggi. Namun, rata dengan tanah. Identitas rumah betang dengan segala nilai filosofinya hilang. Seiring dengan hilangnya cara penghuni memaknai hutan dan segala yang ada di dalamnya. “Orang yang tinggal di rumah betang mulai meninggalkan pertanian,” kata Henri Jali, Kepala Dusun Sungai Luar.
Warga meninggalkan pekerjaan menoreh pohon. Orang mulai berfoya-foya. Mulai timbul kesenjangan. Banyak yang membeli motor, mobil, dan barang elektronik. Untuk membeli mobil Toyota Hilux dobel gardan lewat Malaysia, warga mengeluarkan 15 ribu ringgit. Dan 30 ribu ringgit untuk membeli truk Elta. Mobil dapat diperoleh dengan cara kredit.


Kendaraan itu hanya bisa dipakai dari Badau hingga Mungguk, Embalau Hulu. Tak boleh lewat dari Kecamatan Sibau Utara. Tapi, bila ada surat izin darurat, diperbolehkan hingga ke Putussibau. Misalnya membawa orang sakit dan butuh berobat.

Ada juga warga yang membeli mobil atau motor, namun tak bisa memakainya. “Sekarang banyak alat elektonik yang dijual. Tidak ada listrik lagi,” kata Jali.
Meski pembalakan liar membawa dampak meningkatnya perekonomian keluarga, banyak kerusakan dan masalah sosial muncul. “Illegal logging ibarat nikmat membawa sengsara,” kata Matius.
Salah satu keuntungan pembalakan liar, banyak dibangun jalan. Meski jalan untuk kegiatan pembalakan liar, warga bisa menggunakan jalan tersebut. Namun, ada juga pembangunan jalan untuk mendukung pembalakan liar yang menggunakan dana APBD.
Namun, pembangunan jalan tak sepadan dengan keuntungan hasil pembalakan liar. Ketika pembalakan liar marak, Pemda Kapuas Hulu pernah menyatakan jalan tidak dibangun supaya pembalakan liar semakin marak. “Sekarang illegal logging tidak ada, jalan tetap saja hancur,” kata Matius.
Uang hasil pembalakan liar tak sepadan dengan kerusakan lingkungan. Namun, pemikiran tersebut, tak bisa muncul begitu saja pada warga. “Mana kita tahu itu sepadan atau tidak? Yang penting ada uang datang,” kata Antonius Leo, 52 tahun.
Dampak nyata pembalakan liar juga terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Pada 10 Oktober 2010 banjir melanda 20 kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir mengakibatkan kerusakan parah. Tujuh wilayah kecamatan tenggelam, yaitu Nanga Bunut Hilir, Jongkong, Selimbau, Nanga Suhaid, Semitau, Silat Hilir, dan Embaloh Hilir.
Kepala Badan Penanggulan Bencana Daerah Kalbar Tri Budiarto mengatakan, penyebab banjir curah hujan tinggi. Daerah aliran sungai di Kapuas Hulu mengalami peningkatan volume air. “Saat volume air meningkat, kondisi hutan sudah hancur. Sehingga daya serap terhadap air rendah,” katanya.
Dari data yang terhimpun hingga akhir Oktober 2010, banjir menyebabkan 18.061 rumah terendam. Empat rumah hanyut dan 10 jembatan putus. Sebanyak 2.562 hektar sawah dan ladang terendam dan 95 ton karet hanyut. “Kami belum bisa pastikan angka kerugian akibat banjir. Tapi, diperkirakan mencapai miliaran rupiah,” kata Budiarto.
BPPD Kalbar bersama LSM menyiapkan program rehabilitasi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya, di daerah yang terkena banjir. Rehabilitasi dilakukan agar kehidupan masyarakat setelah bencana kembali normal. Untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu terjadi, BPPD membangun kelembagaan masyarakat peduli bencana di setiap desa. Kelompok-kelompok masyarakat siaga bencana tersebut akan menjadi ujung tombak pemerintah mendorong kesadaran masyarakat terhadap bencana. Selain itu, agar warga tidak merusak lingkungan. “Kelompok-kelompok masyarakat siaga bencana tersebut, akan dibina NGO peduli lingkungan hidup,” kata Budiarto.  
Selain bencana alam, pembalakan liar menyebabkan perubahan kehidupan masyarakat. Dalam kondisi itu biasanya terjadi perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih konsumtif. Aturan sosial jadi sangat longgar, bahkan cenderung hilang. Dalam jangka pendek terlihat ada peningkatan kesejahteraan. Terlebih lagi jika hal itu dilihat dari sisi materi. Namun, jika pembalakan liar berakhir, kondisi kesejahteraan jauh lebih rendah dari sebelumnya.
Gaya hidup konsumtif tidak lagi didukung tingkat pendapatan. Dalam kondisi tersebut, tingkat kriminalitas cenderung meningkat. “Terlebih aturan sosial sudah mulai hilang pada masa illegal logging berlangsung,” kata Yuyun.
Sekarang ini, ketika ajakan menjaga hutan terus disuarakan, ada juga rasa tak nyaman pada warga. Sebab, negara-negara yang melarang perambahan hutan tidak memberikan pengaruh langsung pada kehidupan warga. Matius contohnya. Dia mengkritisi negara-negara Eropa yang menyuarakan penghentian pembalakan liar tapi tidak ikut menjaga hutan. “Kalau alasan paru-paru dunia, mengapa menjaga hutan hanya diwajibkan bagi bangsa Indonesia?” katanya. Padahal, dulu orang Eropa juga ikut menebang kayu habis-habisan. “Sekarang setelah hutan mereka habis, datang ke kita untuk melarang orang tebang kayu.”
Adi Suryadi, dosen Universitas Tanjungpura, mengatakan pembangunan paradigma ekonomi tidak memberdayakan warga. Akibatnya, ketika pembalakan liar terjadi dengan massif, dampak sosial sangat terasa. “Terjadi perubahan persepsi dan pola pikir di masyarakat.”
Secara umum, sistem moral terpinggirkan. Nilai moral tidak berlaku. Sebagai gantinya, nilai konsumtif yang berlaku. Juga terbentuk komunitas baru saat HPH dan pembalakan liar marak. Perubahan perilaku muncul karena pendapatan warga meningkat dan tak terkontrol. “Saat pembalakan liar marak, peran pemerintah tidak berfungsi dan berdaya,” kata Suryadi.
Hukum adat disalahgunakan. Instrumen hukum negara maupun adat menjadi terpinggirkan. Secara konsepsional, pelaku usaha dan pemilik modal menguasai stratifikasi. Arti stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestis. “Stratifikasinya sangat timpang. Berlakunya hukum negara atau adat ditentukan para pemilik modal. Penguasa adalah pemilik modal,” kata Suryadi.
Fenomena menjadi lebih rumit ketika aparat yang seharusnya menegakkan hukum malah berkolaborasi dengan pemilik usaha, dalam hal penguasaan hutan. Bisa dibayangkan, pemerintah dan pemodal akan membuat warga terpinggirkan dan termarjinalisasi. Hal itu yang muncul saat pembalakan liar berlangsung. “Yang dipikirkan warga bukan legal atau ilegal. Tapi, apa yang membuat manfaat bagi warga,” kata Suryadi.


Harapan Setelah Pembalakan Liar

“Sekarang mau membuat rumah susah. Kalaupun ada kayu, jaraknya jauh. Manalah kita mampu mikulnya,” kata Antonius Leo, Temenggung di tepian Sungai Labian. Kayu yang jaraknya 5 - 10 kilometer dari desa sudah habis. Bahkan, sekarang kalaupun kerja kayu dibolehkan, orang tak akan mau bekerja. Sebab, kayu mereka tak ada lagi.
Warga harus memanfaatkan lahan untuk berkebun, supaya ada pendapatan. “Warga inginkan karet. Kalau ada gaharu lebih baik. Namun, warga harus dibina,” kata Antonius.
Sejak pembalakan liar berakhir, warga dan Pemda menjadi lebih dekat. Aparat Pemda bekerja sama dengan berbagai LSM mulai mendekati dan mengadakan pembinaan kepada warga. Kesadaran warga menjadi lebih baik.
Matius mengatakan, dengan tutupnya pembalakan liar, warga harus punya alternatif pekerjaan. “Kalau sawit dijadikan alternatif, tentu harus yang berkeadilan. Masyarakat jangan hanya jadi kuli.” Dia masih ragu perkebunan sawit dapat menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Sebab, sawit belum menunjukkan hasil. Selain itu, pembagian hasil 80% untuk perusahaan dan 20% untuk pemilik lahan dianggap tidak adil.
Alternatif lainnya, warga ingin menanam karet. Warga menoreh karet 5-10 kg per hari. Dulu harga 1 kg karet Rp 2.500 - Rp 5.000. Sekarang harga karet Rp 10 ribu per kg. “Karena itu, warga ingin tanam getah,” kata Iding. Warga di pedalaman sering menyebut karet dengan nama getah. Namun, mesti ada pendampingan dari pemerintah dan LSM terkait. 
Menurut Yuyun Kurniawan, sejauh ini upaya pemberantasan pembalakan liar masih dalam tahap pendekatan penegakan hukum. “Pendekatan melalui penyediaan alternatif pendapatan lain untuk menggantikan pembalakan liar, tidak dibangun secara bersamaan dengan upaya penegakan hukum.”
Akibatnya, ketika terjadi pemberantasan pembalakan liar, terjadi kejutan ekonomi. Tidak hanya bagi pelaku pembalakan liar, tapi juga berdampak terhadap masyarakat secara luas. Hal itu terjadi karena praktik pembalakan liar menciptakan dampak ikutan secara ekonomi terhadap berbagai sektor usaha, seperti transportasi dan perdagangan.
Kepala Taman Nasional Betung Keriun Lutfi Achmad mengatakan, 6 tahun setelah "kerja" kayu, masyarakat terbelah dua. Kelompok pertama berharap usaha kerja kayu dibolehkan lagi. “Mereka beralih ke pengusahaan IPK perkebunan,” kata Achmad.
Pengusahaan IPK perkebunan mengolah kayu berukuran kecil yang tidak bisa dibawa ke Malaysia. Kayu diameter 40-50 cm digunakan untuk keperluan lokal saja. IPK biasanya di Lanjak. Luas IPK setahun 3.000 hektare.
Kelompok kedua, sudah sadar dan beralih ke usaha tani. Warga yang sudah sadar karena pernah bekerja di Malaysia. Di sana mereka hanya menjadi buruh. Kalau di Indonesia, mereka menjadi pemilik. Masyarakat seperti ini yang sedang digandeng untuk membuat stimulan bagi warga sekitarnya.
TNBK mengorganisasi warga yang mau menanam karet. Saat ini terkumpul 40 keluarga yang akan bekerja menderes karet. Warga diberi bibit pohon karet unggul yang hasilnya empat kali lipat dari pohon karet biasa. Sambil menunggu empat tahun panen, warga menanam gaharu.
Menurut Achmad, saat ini orang bisa memproduksi kayu tapi tidak bisa menjualnya. Industri plywood tidak mampu berproduksi lagi. “Biayanya tak sebanding.”
Antonius Hermanto dan Yosep Unja pernah merasakan bekerja di Malaysia dan menjadi pelaku pembalakan liar. WWF Kalbar kemudian mengajak mereka beralih ke usaha pertanian. Mereka punya lembaga bernama Belekam. Bele dalam bahasa Dayak Embalau berarti melihat. “Lihatlah kami! Dari segi kekurangan maupun kelebihannya,” kata Unja.
Belekam lahir tahun 2005, pascapembalakan liar. Belekam merupakan Pusat Pembelajaran Pertanian Terpadu (P3T). Tujuan kegiatan tersebut meningkatkan alternatif peningkatan pendapatan masyarakat. Ada program jangka pendek, sedang, dan panjang. Jangka pendek melalui beras. Jangka menengah dengan karet. Jangka panjang dengan hasil hutan bukan kayu (HPK), seperti gaharu dan buah-buahan. Tujuannya, menggali berbagai macam pendapatan. “Kalau hanya mengandalkan satu pendapatan alternatif saja, gampang diguncang,” kata Anas dari WWF.
Selain kelompok LSM, pemerintah juga mulai merangkul warga. Begitu juga dengan pihak perusahaan. Namun, upaya yang dilakukan belum signifikan. Begitu juga dengan janji perusahaan kepada warga.
Sampai saat ini UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 67 tentang Perseroan Terbatas, mengenai CSR (Corporate Social Responsibility), belum menampakkan hasil. Harusnya CSR tak sekadar memberikan bantuan kepada warga, tapi memberdayakan warga. Warga harus dipersiapkan menjadi pengelola atau pemangku kepentingan di sekitar hutan. Dan, warga harus disiapkan sebagai pengusaha hutan. Dalam konteks ini, warga masih lemah.
Program pemerintah dan perusahaan masih jalan sendiri-sendiri. Hal itu membuat program tidak terintegrasi. Harusnya pemerintah menjadi leading sector. Substansinya, warga tidak boleh dibiarkan sendiri. Ini terkait dengan perspektif dan paralel dengan perspektif pembangunan hutan berkelanjutan dan lingkungan. “Kadang mereka bicara tentang itu. Tapi, tidak sinkron dengan pembangunan warga,” kata Suryadi.
Menurut Suryadi, sistem HPH terbaru dan munculnya sawit jadi semacam jalan masuk atau kantung pengaman. Sebab, kalau alternatifnya tak diberikan akan muncul konflik baru. Namun, dia juga mengkritisi sawit yang dianggap belum menyejahterakan warga di Kalbar. Parameternya bisa dilihat dari sisi pendapatan yang tak signifikan. Banyak warga kehilangan lahan dan kebun karena dialihkan untuk perkebunan sawit. “Janji kemitraan sampai saat ini belum terbukti,” katanya.
Namun, pendapatan tidak satu-satunya indikator. Yang lebih penting, bagaimana menjadi pengelola dan mandiri. Sebab, falsafah pemberdayaan adalah keberpihakan. Repotnya, keberpihakan ke warga tidak ada.
Warga di sepanjang perbatasan memandang perkebunan sebagai salah satu solusi mengatasi beban hidup. Bagi Matius, tak punya alternatif pilihan selain perkebunan sawit. Namun, pembagian 80% untuk perusahaan dan 20% untuk warga sangat tak sesuai dan tak bisa membuat warga hidup layak. “Ini tentu merugikan warga,” katanya.
Di Malaysia, warga punya deviden di perusahaan sawit, sehingga mereka mendukung sawit. Pemerintah yang kerja, warga dapat deviden dari tanah yang mereka serahkan.
Luther Iding menyatakan, sekarang ini pengeluaran tak seimbang dengan pendapatan. Kerja di perkebunan sawit Rp 30 ribu sehari. Ironisnya, pohon karet yang sudah tumbuh malah dibakar, karena dianggap tak ada harganya.
Menurut Iding, ke depan sektor perkebunan jadi dominan. Dengan berkebun karet, sebenarnya warga sudah bisa mandiri. Sebab, mereka bisa bekerja kapan pun, tanpa terikat waktu. Kerja menderes karet dari pukul 8 hingga 11 siang. Kerja tiga jam warga bisa mendapatkan rata-rata 10 kg karet mentah. Bila harga karet Rp 8 ribu ribu per kilogram, berarti warga bisa dapatkan Rp 80 ribu. “Jumlah itu jauh lebih besar, bila mereka bekerja di kebun sawit selama delapan jam penuh,” kata Iding.
Karet pemasarannya sangat fleksibel. Kalau harga karet di Malaysia mahal, warga akan menjual karet ke Malaysia. Kalau di Indonesia lebih mahal, akan dijual di Indonesia. Warga jarang berkebun lada. Prosesnya lama dan banyak kerja yang harus dilakukan. “Sawit belum kita katakan 100 persen, karena belum tahu hasilnya,” kata Iding.
Sekarang hutan Kalimantan tak lagi rimbun. Sebagai gantinya, sawit  menghampar di berbagai tempat. Lokasi-lokasi bekas sawmill berdiri tinggal rongsokan besi dan kayu berserakan. Ilalang dan semak menutupi. Membuat lokasi itu semakin terbengkalai dan tak terawat. Sepi.
Kejayaan kayu tak meninggakan bekas pada kehidupan warga. Yang tersisa hanya kerusakan alam dan kemiskinan struktural. Warga jadi pekerja saja. Ketika era kayu habis, mereka tidak bisa bekerja apapun. (Selesai)


Sumber: VHRmedia   I   Penulis: Muhlis Suhaeri

0 komentar: