Jumat, 14 Januari 2011

Petani Sulteng Belum Nikmati Kenaikkan Harga Cabai

Palu (ANTARA News) - Lelaki separuh baya itu tampak sedang membersihkan rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman cabai di Desa Watumaeta, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulteng.


Setiap hari, Supaijan (60), seorang petani asal Jawa Tengah itu selain merawat tanaman cabai, juga tomat dan sayur kubis yang selama ini menjadi sumber utama keuangan rumah tangganya.

Meski hanya bermodalkan satu setengah hektare lahan yang dibelinya dari penduduk setempat pada tahun 2006, namun selama lima tahun terakhir dikelola menjadi kebun cabai, tomat dan sayur kubis telah banyak menopang keuangan rumah tangganya.

Dari hasil kebun, ia bersama istrinya Sumiati bisa membeli satu unit traktor tangan untuk mengolah lahan. Selain itu, mereka juga bisa menyekolahkan tiga anaknya sampai ke perguruan tinggi.

"Dua dari tiga anak kami sudah menjadi PNS di Kabupaten Poso," kata Supaijan.

Ia mengaku menjadi petani sudah merupakan pilihan hidupnya sejak tumbuh menjadi remaja, karena latar belakang kedua orang tuanya juga petani.

Karena itu, masalah untung dan rugi dalam setiap kali panen sudah merupakan hal yang biasa dialaminya sebagai seorang petani. "Ya terkadang jika hasil panen dan harganya bagus, otomatis keuangan rumah tangga juga meningkat. Begitu pula sebaliknya," katanya.

Namun, di tengah-tengah membaiknya harga cabai di pasaran, termasuk di Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, justru banyak petani yang tidak menikmati kenaikan harga tersebut.

Kebanyakan petani cabai di dataran tinggi Napu saat harga cabai dalam kurun dua pekan terakhir ini melambung, tapi mereka tidak bisa menikmatinya, karena stok cabai di tangan petani sangat kurang.

Selain stok kurang, juga kenaikan harga terjadi pada saat belum berlangsung panen raya. Masa panen cabai di dataran tinggi Napu pada November-Desember 2010. Tapi pada saat itu juga banyak petani yang merugi, sebab hasil panen tidak menggembirakan.

Hasil panen petani menurun drastis akibat dampak dari perubahan cuaca dan juga serangan hama. "Saya sendiri hanya bisa panen 60 persen saja," katanya. 

Selain hasil panen menurun, juga saat ini harga cabai di tingkat petani masih sekitar Rp5.000/kg dan di pasaran mencapai Rp10 ribu sampai Rp15.000 ribu/kg.

Ia mengatakan panen cabai pada musim tanam kali ini diperkirakan baru berlangsung Meret-April 2011. "Jadi bagi petani di sini, kenaikan harga cabai di pasaran saat ini hanya dinikmati sebagian kecil petani," katanya.

Menurut dia, sebenarnya yang paling diuntungkan dalam membaiknya harga cabai di pasaran saat ini adalah pedagang. Bayangkan saja pedagang membeli cabai langsung ke petani Rp10 ribu/kg.

Tapi mereka menjualnya kembali ke pasar-pasar di Palu mencapai Rp40 ribu sampai Rp60.000/kg. Naik-turunnya harga cabai di tingkat petani tergantung musim panen.

Pengalaman selama ini, saat musim panen biasanya harga komoditi pertanian, termasuk cabai, tomat, dan sayur-sayuran kubis, kentang, wortel, bunga kubis pasti turun.

Sebaliknya, pada saat-saat musim panen belum tiba, seperti yang terjadi saat ini justru harga melonjak tajam, sebab stok berkurang, dan di satu sisi permintaan masyarakat meningkat. 

"Maka yang berlaku ada hukum ekonomi. Stok barang kurang harga dipastikan naik, begitu juga sebaliknya," ujar Pak Le, panggilan akrab Supaijan.

Basori, seorang petani di Desa Jonoge, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, juga mengatakan kenaikan harga cabai di pasaran yang terjadi hampir semua daerah di tanah air, dan kini mendapat perhatian pemerintah hanya dinikmati sebagian kecil petani.


Belum panen

Ia mengatakan rata-rata petani cabai di Kecamatan Biromaru dan Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi belum panen.

Musim panen cabai di wilayah itu sudah berlangsung pada bulan November 2010.

Sementara panen tahun 2011 ini baru akan berlangsung sekitar akhir Maret dan awal April mendatang. "Jadi meski harga cabai di pasaran saat ini membaik, tapi tidak dinikmati petani," kata pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 25 Mei 1974 itu.

Ia menjelaskan tanaman cabai membutuhkan waktu perawatan sampai panen selama 115-120 hari.

Menurut dia, perawatan tanaman cabai, termasuk tomat cukup rumit dibandingkan tanaman padi sawah atau ladang.

Lagi pula tanaman cabai sangat mudah terserang hama dibandingkan tanaman pertanian lainnya. Karena itu, untuk memeliharanya pun membutuhkan perhatian serius.

Ditemani istri tercintanya Lilis, Basori dengan pakain khas petani tampak juga sedang mencabut rumput yang ada di sekitar tanaman cabainya. "Saya belum setahun di sini," katanya.

Lahan garapannya yang tidak mencapai satu hektare yang ditanami cabai, dan mentimun bukan milik sendiri, tapi orang lain (penduduk setempat) yang disewanya selama setahun.

Satu tahun lahan dipersewakan kepadanya sebesar Rp600 ribu. "Ya cukup murah sekali, jika dibandingkan lahan yang ada di Jawa," katanya.

Karena itu, meski dengan lahan yang tidak luas tersebut, ia ingin memanfaatkannya dengan baik agar bisa menghasilkan secara maksimal pula.

Ia juga menambahkan, harga benih cabai cukup mahal. Harga benih cabai Rp95 per bungkus.

Dalam satu bungkus itu bisa menghasilkan 1.000an pohon cabai. Jadi dalam satu hektare lahan bisa ditanami 24.000 pohon cabai. Ia berharap harga cabai tetap bertahan sampai tiba musim panen.

Sementara Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Dinas Pertanian Sulteng Retno Erningtyas MP mengatakan, kenaikan harga cabai khusus di Palu, erat kaitannya dengan berkurangnya stok cabai di tingkat petani dan pedagang.

"Kenaikan harga cabai di Palu bukan karena dampak dari naiknya harga cabai di daerah lain, terutama di Pulau Jawa, tapi lebih disebabkan karena stok kurang," katanya.

Otomatis, jika stok kurang, harga cabai di pasaran maupun di sentra-sentra produksi dipastikan naik, dan sebaliknya. 


 Gangguan hama

Ia juga mengaku hasil panen petani kali ini menurun drastis, akibat pengaruh cuaca, dan juga adanya serangan hama. Memang dalam kondisi cuaca seperti sekarang ini di mana curah hujan tinggi, sangat memungkinkan adanya serangan hama bagi tanaman-tanaman pertanian seperti cabai, tomat dan lainnya.

Hama yang menyerang tanaman cabai dan tomat di sejumlah sentra produksi cabai di dataran tinggi Napu, Kabupaten Poso, Kecamatan Palolo, Biromaru, dan Dolo di Kabupaten Sigi adalah antraxnose.

Hama ini paling ditakuti petani, sebab bila menyerang tanaman cabai bisa terjadi gagal panen. Bila hama itu menyerang tanaman cabai, maka buah menjadi hitam dan busuk.

Jadi naiknya harga cabai di pasaran saat ini selain karena pasokan dari petani berkurang akibat hasil panen turun karena serangan hama, juga musim panen belum tiba.

Nanti kalau panen sudah tiba, harga cabai di pasaran dipastikan kembali normal seperti biasanya. Meski harga cabai di pasaran naik, tapi kenaikannya tidak separah di beberapa daerah.

Di Pulau Jawa, harga cabai mencapai di atas Rp100 ribu/kg, harga cabai tertinggi dan termahal di Kalimantan Tengah (Kalsel) mencapai hingga Rp250 ribu/kg.

Sementara harga cabai keriting di pasaran Kota Palu saat ini berkisar Rp30 ribu sampai Rp40 ribu/kg, dan cabai rawit mencapai Rp60.000/kg. Meski harga naik, tapi tidak terlalu meresahkan masyarakat dan pemerintah daerah.

Apalagi, konsumsi terbesar cabai di Sulteng untuk bumbu dapur, sedangkan industri makanan yang menggunakan bahan baku cabai di Sulteng tidak ada. Di Sulteng belum ada industri pengolahan cabai.

"Jadi cabai hanya untuk kebutuhan masyarakat," kata Erningtyas.

Ia juga menambahkan, meski luas areal dan produksi cabai petani Sulteng belum begitu besar, tapi sebagian diantarpulaukan ke Kaltim, Manado, dan Gorontalo.

Luas areal tanaman cabai rawit di Sulteng saat ini mencapai 1.933 hektare dengan produksi 57.898 ton. Sementara luas areal tanaman cabai keriting 532 hektare dengan jumlah produksi baru sekitar 19.669 ton.

Luas tersebut masih relatif kecil dibandingkan potensi areal yang tersedia di semua Kabupaten dan Kota di Sulteng. Karena itu, ke depan ini, Dinas Pertanian akan mencoba untuk menggencarkan pengembangan tanaman cabai. (BK03/KWR/K004)


Sumber: AntaraNews   I   Penulis: Anas Massa   I   Admin: F.A.

0 komentar: