Sabtu, 15 Januari 2011

Pelayanan Publik Masih Buruk Meski Sudah Ada UU

UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menegaskan, bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Namun setelah  lebih dari satu tahun, kehadiran UU tersebut belum banyak mendorong  terjadinya perubahan yang signifikan pada kinerja birokrasi dan kualitas pelayanan publik. Bahkan PP yang diamandatkan UU tidak kunjung di sah kan, setelah melewati enam bulan dari batas waktu yang ditetapkan.
Soal buruknya pelayanan publik itulah, khususnya sepanjang tahun 2010, yang menjadi topik perbincangan Pilar Demokrasi, Senin (10/1) lalu, yang merupakan kerjasama YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia) dan KBR68H. Dengan mengundang empat narasumber, masing-masing adalah Fransisca Fitri (Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Pelayanan Publik, MP3), Lody Paat  (Koalisi Pendidikan, juga aktif di ICW), Ganjar Pranowo  (Wakil Ketua Komisi II  DPR RI), dan Kushardo (Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi)
Menurut Fransisca, sebenarnya UU ini  cukup  untuk menjadi titik masuk memperkuat reformasi birokrasi, terlebih selain ada UU No 25, sudah ada UU No 14 Tentang Keterbukaan Informsi Publik dan  UU No 37 Tentang Ombudsman. Bila pemerintah memiliki komitmen menjalankan ketiga UU itu, kualitas pelayanan publik akan meningkat. “Tapi saya miris melihat realitasnya yang buruk, misalnya pelayanan di bidang kesehatan saja, realitanya hanya setengah warga Indonesia yang sudah memiliki jaminan kesehatan,” tambah Fransisca.
Kemudian Lody menambahkan, pelayanan publik untuk pendidikan memang memprihatinkan, banyak laporan media massa tentang fasilitas sekolah, salah satunya soal buruknya fasilitas toilet. Kemudian persoalan kualitas guru. Harus diakui kualitas guru kita, kalau dilihat dari kualifikasinya,  masih banyak yang belum cukup kompeten untuk mengajar di SD, SMP, ataupun SMA. “Saya melihat pelayanan publik sektor pendidikan, baik itu dari pihak guru maupun di tingkat birokrasi (Kemendiknas), sikap melayani memang sangat kurang,” tegas Lody.
Kushardo sendiri beralasan, bahwa pihak  Kementerian PAN sendiri masih menyiapkan aturan-aturan sebagai pelaksana UU. Seperti PP yang seharusnya sudah sebulan  lalu  ditetapkan, sekarang masih diproses  Kementerian KUMHAM untuk harmonisasi. Soal pelayanan pendidikan, menanggapi pernyataan Lody, diakui memang  masih meraba-raba apa yang mau diprioritaskan.
Sementara Ganjar Pranowo menceritakan pengalamannya saat berkomunikasi dengan Menpan, yang menurut Menpan sendiri, merubah budaya di lingkungan Kementrian PAN, luar biasa sulitnya, lalu bagaimana mungkin akan menularkan semangat pelayanan pada aparat birokrasi yang lain. Mungkin soal kultur ini kurang mendapatkan perhatian dari pemimpin tertinggi, bahwa yang dibutuhkan adalah kultur melayani, bukan dilayani sebagai birokrat.


Sumber: KBR68H   I   Admin: F.A.

0 komentar: