Rabu, 19 Januari 2011

Melarang ‘Bau’ Kiri

Baru beberapa belas hari menjejak tahun 2011, sudah ada yang dilarang. Bukan hal baru. Lagi-lagi sesuatu yang dianggap berbau kiri, berbahaya laten. Komunis.
Senin lalu, aparat keamanan Malang dan Kediri melarang tayangan opera Tan Malaka di stasiun televisi lokal, Batu TV dan KSTV Kediri. Polisi mendatangi Batu TV, sementara intel Polisi, Kodim dan Korem mendatangi KSTV Kediri.  Alasannya karena berbau kiri. Dianggap bakal menimbulkan gejolak.
Tayangan opera Tan Malaka yang dilarang adalah rekaman pagelaran opera Tan Malaka di Teater Salihara, pada Oktober tahun lalu. Tan Malaka diangkat ke pagelaran sebagai salah satu tokoh besar pendiri Indonesia. Salah satu tokoh pemuda pergerakan pada saat itu, Muhammad Yamin, bahkan menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Pendiri Republik Indonesia. Bukunya ‘Menuju Republik Indonesia’ ditulis 20 tahun sebelum Proklamasi 1945.
Ketika pentas digelar, apakah ada larangan? Tidak. Apakah tiket pertunjukan hasil kerja bareng komponis Tony Prabowo dan sastrawan Goenawan Mohamad tidak laku? Tidak, malah ludes. Adakah gejolak yang terjadi? Selain riuh tepuk tangan, rasanya tak ada.
Tan Malaka adalah sosok populer, juga misterius. Saking misteriusnya, nama ini seolah identik dengan pelarangan. Buku Harry Poeze berjudul “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik” dilarang pemerintah Orde Baru, pada 1989. Padahal sejak 1963, Presiden Soekarno sudah menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional. Lantas apa yang ditakuti? Apa yang diduga bakal membuat gejolak? Bau apa yang tercium dari rekaman pertunjukan Opera Tan Malaka?
Justru Tan Malaka adalah inspirasi. Selama bersekolah di Eropa, Tan Malaka mengagumi Lenin. Dan sepulang dari sekolah di Eropa, ia mengajar anak buruh perkebunan, jadi aktivis buruh, lantas memimpin gerakan antikolonial. Ia didapuk juga menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia. Ia bahkan pernah dianggap sebagai salah satu pemimpin komunis terbesar di Asia. Namun perbedaan sikap di internal partai membuat Tan Malaka jadi musuh. Musuh bagi PKI, juga musuh negara.
Inilah yang melekat di kepala, terutama aparat, yang masih merekam jelas jejak-jejak Orde Baru. Di masa itu, semua yang tak sesuai Soeharto, dilarang, dilawan, dibungkam, kalau perlu dimatikan. Rasanya terlampau usang kalau masih memelihara ketakutan pada komunisme. Dulu semua dipandang dengan kacamata kuda. Tapi bukankah pengalaman adalah guru yang paling baik? Dengan pengalaman buruk di masa lalu, kita harus bisa melangkah lebih baik lagi. Dewasa memandang sejarah, tanpa perlu melulu ketakutan setiap kali namanya disebut. Termasuk soal komunisme. Juga ketika nama Tan Malaka disebut, dipentaskan, dan disiarkan.

Sumber: KBR68H   I   Admin: FA

0 komentar: