Sabtu, 15 Januari 2011

Ketika Hutan Kalimantan Dijarah (1)

Hutan Kalimantan Barat dibabat. Para cukong membiayai pembalakan hutan dan mengangkut berton-ton kayu ke Malaysia.

Karim memarkir truk. Hari mulai gelap. Lampu penerang tak menyisakan cahaya sedikit pun. Semua terlihat pekat. Hitam dan gelap. Di sini dalam seminggu listrik hidup bisa dihitung dengan jari. Selebihnya warga menggunakan pelita kecil minyak tanah.
Saya bertemu Karim di Tematu, Lanjak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia punya truk sendiri. Saban hari dia mengangkut pekerja sawit. “Sebulan paling dapat 1,5 juta rupiah,” katanya dengan nada mengeluh.
Karim, kini 31 tahun, mantan pekerja kayu. Ketika bisnis kayu masih marak, dia bekerja sebagai teli atau pengukur kayu di Lanjak. Sebelumnya pelabuhan di Lanjak khusus menurunkan kayu dari sekitar Danau Sentarum.Sedangkan Pelabuhan di Tangit merupakan area pengumpulan kayu dari seluruh hulu Sungai Kapuas hingga hilir Muara Kerang. Bahkan, dari Nanga Silat di Sintang.Dari Tangit kayu dibawa langsung dengan truk menuju Lubuk Antu, Malaysia.
Karim tak hanya mengukur. Ia juga menangani penerimaan, pembelian, dan pengiriman kayu. 
Dalam sehari mendapat Rp 2 juta. Ia bekerja di “bisnis” kayu dari tahun 2000-2004. Kini ia sanggup membeli rumah, mobil, dan menyekolahkan anak.
Seperti pekerja kayu lainnya, Karim bekerja menggunakan modal cukong kayu dari Malaysia. Cukong adalah sebutan bagi bos dalam bahasa China. Karim bekerja untuk Wong Hing King, biasa dipanggil Hengking, cukong pekerja kayu manual yang memakai chain saw, sepeda, dan rel.
Hengking bekerja di hutan yang dekat jalan lintas utara. Jarak hutan sekitar 5 hingga  10 kilometer dari jalan. Wilayah operasinya dari Badau, Lanjak, Embalau Hulu, hingga Benua Martinus. Kayu yang sudah dikeluarkan dari hutan ditaruh di pinggir jalan lintas utara. Setelah itu dibawa dengan truk menuju Badau.
Menurut Karim, sistem manual tak terlalu besar dampaknya. Ketika pohon besar ditebang, pohon kecil jadi tumbuh. Hengking hanya menampung kayu dari warga. Ia tak buka sawmill di Kapuas Hulu.
Ada dua metode dalam pengerjaan pembalakan liar (illegal logging). Kerja mekanis dan manual. Kerja mekanis menggunakan berbagai alat berat, seperti buldoser dan eksavator. Kerja mekanis biasanya di dataran rendah, sedang, atau tinggi. Lokasi lahannya kering. Modalnya besar. Kerja manual hanya menggunakan chain saw, sepeda, dan rel. Lokasi kerjanya di daerah basah atau rawa. Modalnya tidak sebesar kerja mekanis. Namun, keuntungan kerja di sekitar rawa lebih besar. Sebab, biasanya terdapat kayu ramin yang harganya tinggi. Kedua metode kerja tersebut cukongnya lain.
Sistem mekanis harus membuat jalan sendiri atau jalur logging. Jalur logging terpanjang terdapat di hulu Labian. Warga menyebutnya jalur Apeng. Panjangnya sekitar 40 kilometer. Jalur itu dari hulu Labian masuk hingga Sungai Tamam Baloh, yang terdiri atas dua batang sungai. Jalur logging-nya langsung masuk ke sawmill di Guntul. Jalur logging juga terdapat di Sungai Luar, panjang sekitar 10 kilometer, di Kerangkang, dan di Sumpak.


Loggingsekali jalan ada delapan log kayu. Kayu diangkut dengan truk beroda 12. Kadang bagian belakang juga diberi gandengan. Panjang kayu sekitar 15 meter. Kayu diameter 1,5 meter dipotong 8 hingga 10 meter. Bila terlalu panjang, mesin penjepit atau loader tak akan sanggup mengangkatnya.

Pengolahan kayu lapis tak ada di sepanjang perbatasan. Pernah ada yang mencoba mendirikan di Badau. Namun tak jadi. Sebab, proses membuat kayu lapis terlalu panjang.
“Sistem kerjanya berdasarkan kepercayaan. Ibaratnya pakai air basin (ludah) saja sudah dapat duit,” kata Karim. Maksudnya, hanya dengan modal kepercayaan, para pekerja kayu seperti dirinya, sudah bisa bekerja.
Kali pertama bekerja pada Hengking, Karim membawa satu kayu truk, setara 2,7 tan (ukuran kayu Malaysia. 1 tan setara 1,6 kubik). Dia malah diberi uang lebih dari harga satu truk kayunya. Maksud Hengking, agar bisa bekerja dan mencari kayu lagi.
Karim mengakui cukong kayu dari Malaysia bersikap baik. Mereka berani memberikan uang sebagai modal terlebih dahulu.
Ketika pembalakan liar belum merebak di perbatasan, Karim membawa kayu ke Pontianak. Ia biasa membawa 2 hingga 3 rakit ke Pontianak. Pembayarannya, satu hingga dua bulan untuk mencairkan uangnya. Sedangkan di Malaysia, hari ini setor kayu, langsung dibayar kontan.
Pembayaran juga dilakukan dengan sistem borongan. Misalnya, membawa kayu 100 ribu batang. Selesai satu minggu, baru berhitung. Ongkos angkutan dan biaya tambahan selama perjalanan ditanggung kontraktor. Pengusaha dari Malaysia terima bersih kayu sampai di log pond atau lokasi penumpukan kayu di perbatasan. 
Hengking punya belasan tukang chain saw dan pekerja sepeda. Kalau ada karyawan kecelakaan atau meninggal, akan ditanggung biaya perawatan atau pemakamannya. “Namanya kerja di hutan, ada saja kecelakaan,” kata Karim.
Saat “bisnis” kayu marak, Lanjak penuh dengan pekerja kayu, sopir truk, kernet, dan lainnya. Sedari pagi suasana ramai. Orang-orang lalu-lalang mengejar setoran angkutan kayu. Banyak truk datang dari Putussibau, Sintang, Pontianak, Singkawang, bahkan dari Jawa.
Dari memberangkatkan satu truk, Karim mendapat untung Rp 1 juta. Meskipun afkir atau ada cacat, kayu tetap dibeli cukong. Sebab, kalau sudah masuk timber dan diolah, akan menjadi kayu baik semua.
Seperti juga Karim, Antonius Hermanto, 39 tahun, warga Ukit-Ukit, Lanjak, bekerja sebagai kontraktor kayu untuk Hengking. Saat bisnis kayu marak, ia merantau dan bekerja di Malaysia.  Para perantau biasanya bekerja di empat sektor. Sebagai pekerja bangunan atau jalan, buruh perkebunan sawit dan kilang kayu atau sawmill.
Pada tahun 2003 Anton mulai tertarik bekerja di perkayuan. Alasannya, sebagian besar pekerja kayu dari luar Lanjak, terutama Sambas. “Daripada kita nonton, lebih baik jadi pemain,” katanya. Anton hanya kebagian tiga kontrak. Sekali kontrak 3 bulan.
Anton mengenal Hengking dari temannya. Ia berkata kepada Hengking, sebagai warga lokal, banyak kenal orang dan punya lokasi garapan. Ia sanggup menyediakan lahan garapan kayu. Kedatangannya tak membawa kayu. Ia hanya bawa badan. Malah, sebelum membawa kayu, ia meminjam uang kepada Hengking Rp 50 juta. Uang itu sebagai bekal kerja mencari pekerja chain saw dan pekerja sepeda dari Sambas.
Anton datang ke Hengking dengan membawa daftar hadir rapat di kampung dan rumah betang. Ia juga membawa berita acara penyerahan lokasi, terutama dari kepala dusun. Ada kesepakatan fee, tentang pekerja, pembayaran fee, keterlibatan orang kampung mengontrol kubikasi kayu. “Dengan itu, bisa jadi modal pinjam uang ke Hengking,” katanya.
Menurut Anton, mendapatkan lokasi tebangan di hutan perlu pendekatan khusus kepada pemimpin di kampung. Orang itu mesti punya pengaruh dan dihormati, atau keturunan bangsawan. Dari pendekatan itu ia menyampaikan bahwa ada hutan di kampung yang bisa diusahakan. Juga mengenai cara dan pembagian hasilnya. Ia akan memprioritaskan orang setempat sebagai pekerja. Terutama sebagai pembuat jalan, pemotong kayu, dan pemegang chain saw
Anton punya lokasi garapan kayu di Sungai Tebelian, Embaloh Hulu. Jarak dari jalan lintas utara sekitar 2 kilometer. Bahkan, lokasi garapan itu, jarak 1 kilometer sudah bisa produksi. Kayu yang diambil jenis tertentu dan berkelas. Misalnya meranti, kapur, dan jelutung. Kayu yang tak diambil jenis sempeti, rengas, bintangor, dan resak. Kayu itu untuk membuat rumah bagi warga.



Para pekerja chain saw dibayar Rp 30 ribu untuk setiap satu tan. Ia punya 30 pekerja chain saw. Dalam sehari sanggup menghasilkan 30 tan hingga 40 tan. Kayu gelondongan dipotong menjadi kayu balok sesuai ukuran yang diinginkan, kemudian dibawa tukang sepeda. Kayu ditaruh di dekat jalur lintas utara. Jalur lintas utara merupakan jalan utama menuju Badau.

Sopir dan kernet truk datang dan menawarkan jasa angkutan. Truk bebas membawa kayu siapa saja. Sopir truk akan diberi kuitansi. Ada tiga lapis kuitansi sekali pengiriman kayu. Warna putih, kuning, dan merah. Kuitansi warna putih diberikan kepada sopir. Warna putih untuk cukong kayu Malaysia. Bon warna kuning disimpan kontraktor kayu. Hengking akan membayar ongkos truk. Setelah itu memotong ongkos dari kayu yang disetor.
Selama perjalanan, Anton membekali truk untuk membayar pungutan dari aparat pemerintah ataupun warga setempat. Setelah melewati pertigaan jalan Malindo atau biasa disebut Simpang Nyamai (dalam bahasa Dayak Iban, artinya Simpang Nyaman). Setiap truk harus bayar pos beacukai Rp 50 ribu. Di pos ini ada polisi, tentara, dan aparat pemda. Setelah itu melewati tanah warga. Di lokasi ini truk harus membayar Rp 25 ribu. Kayu berakhir di lapangan penumpukan cukong Malaysia. Ia harus bayar parkir penumpukan kayu 12 ringgit.
Sesampai di sana, kayu dipindah ke truk Malaysia. Ada juga truk yang langsung ke Malaysia. Setiap cukong mempunyai lapangan bongkar kayu. “Kayu hasilnya sedikit, karena banyak yang masuk ke pajak,” kata Anton.
Pada kontrak pertama, Anton mendapat Rp 25 juta. Kontrak kedua mendapat Rp 20 juta – Rp 30 juta. Hasil kedua lebih besar, karena tak perlu keluar uang untuk membuat jalan. Kontrak ketiga Rp 11 juta – Rp 15 juta. Hasilnya lebih kecil, karena hutan mulai habis. (bersambung)


Sumber: VHRmedia   I  Penulis:  Muhlis Suhaeri 

0 komentar: