Kamis, 20 Januari 2011

The Greater Jakarta dan Beban Ibukota

Macet Jakarta bisa dicegah jika di daerah penyangga kota Jakarta dibangun angkutan massal.

Jakarta sepertinya menjadi korban kesuksesannya sendiri. Beban yang ditanggung ibukota ini sudah telalu berat. Kemacetan, ledakan penduduk, dan masalah tata ruang yang makin sulit dikendalikan. Wacana The Greater Jakarta dianggap akan menyelesaikan semuanya.

Wacana perluasan ibu kota ke Sukabumi, Karawang, Purwakarta dan Cirebon melalui konsep ini dinilai akan menyegarkan tata ruang Jakarta yang saat ini sudah sangat tidak memadai. 

Sayangnya konsep ini tidak jauh berbeda dengan Jakarta Megapolitan atau pengembangan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). 

Dalam wacana tersebut akan dibahas mengenai perluasan ibukota dengan membagi fungsi dalam pemerintahan negara Indonesia di dalam ibu kota Jakarta. 

Dengan begitu, Provinsi DKI Jakarta akan makin berkembang dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Jakarta dan daerah lainnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, mengatakan konsep pengembangan ibu kota melalui Greater Jakarta yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, belum secara resmi dibicarakan dengan Pemprov DKI Jakarta. Kendati demikian, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, telah diajak membahas konsep tersebut.

Terkait adanya pandangan pengamat yang menilai perluasan ibu kota ke empat daerah tersebut sangat aneh, Prijanto menegaskan pandangan tersebut kurang tepat. Sebab kondisi Jakarta sekarang sudah melebihi daya dukung dalam menampung warga dan beban aktivitas pemerintahan.

Menurut Prijanto, kemacetan bisa dicegah jika di daerah penyangga kota Jakarta dibangun angkutan massal yang nyaman dan murah seperti kereta api dan busway. 

Atau paling tidak memperluas fungsi kota Jakarta, seperti fungsi pendidikan, fungsi pemerintahan negara, fungsi bisnis dan jasa, fungsi perekonomian dan fungsi lainnya. Dengan begitu mobilitas warga akan terpecah ke berbagai tempat.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan, pihaknya setuju dengan konsep Greater Jakarta. Menurutnya, konsep perluasan tersebut sebagai representasi dari konsep megapolitan. Sehingga akan terbentuk sebuah kota besar yang didukung dengan pertumbukan ekonomi yang besar. 

Ditambahkannya, penduduk DKI sudah sangat padat, dan kepadatannya sudah mencapai 14 ribu orang per kilometer pada 2011 ini. Sehingga pengaturan perluasan Jakarta ini harus segera direalisasikan. Karena itu harus ada integrasi dengan wilayah lain. 

Sementara menurut pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, wacana The Greater Jakarta merupakan wacana baru dengan model lama. Secara konteks realitas sudah terbentuk dalam program pengembangan Jabodetabekpunjur.

Program pengembangan penyanggah ibukota itu dikeluarkan dalam Perpres No 54 Tahun 2008 yang mengatur kerja sama antara Pemprov Jawa Barat dan DKI Jakarta, tentang Tata Ruang Kawasan Jakarta dan daerah penyanggahnya.

Pengembangan wilayah di luar Jabodetabekpunjur akan melenceng dari target pembangunan yang telah disusun Bappenas pada masa 20 tahun kedepan. Apalagi kawasan di luar itu tidak termasuk dalam kawasan strategi nasional.

Dampak yang sangat luas akan dihadapi untuk menyatukan daerah lain yang belum masuk dalam target pengembangan karena akan mengubah fungsi kewilayahan. 

Seperti penguasaan tanah secara besar-besaran oleh pemilik modal yang akhirnya menyengsarakan masyarakat. Seperti di Jonggol, hampir 50 persen petani sekarang ini telah kehilangan lahannya.  "Jadi harus hati-hati, kecuali ada kajian yang kuat," ujarnya.

Penambahan wilayah di luar kawasan Jabodetabekpunjur juga akan bersinggungan dengan ego otonom yang kuat. Jumlah warga Jabodetabek yang lebih dari 25 juta jiwa dan ditambah dengan jumlah penduduk Sukabumi dan Karawang bisa menjadi 30 juta jiwa. Butuh biaya besar untuk pengelolaannya. (umi)


Sumber: Vivanews.com   I   Admin: FA

0 komentar: