Sabtu, 15 Januari 2011

Bola Kempes di Tangan Penyamun

Desakan reformasi PSSI semakin kuat. Masyarakat rindu sepak bola nasional berprestasi.



Terlalu banyak digocek. Sepi prestasi.

“Setujukah Anda, Nurdin Halid keluar dari kepengurusan PSSI?”
Pertanyaan itu muncul di situs www.nurdinturun.co.cc/, tak lama berselang setelah tim nasional Indonesia gagal merebut Piala ASEAN Football Federation 2010. Petisi online itu menggelinding dan menimba dukungan publik.
Hingga 10 Januari lalu, 5 ribu orang menyatakan mendukung petisi ini. Terus “dikipasi”, kursi Ketua PSSI yang diduduki Nurdin Halid kian panas.
Indonesia menang 2-1 dari Malaysia dalam pertandingan final leg kedua di Istora Senayan, 29 Desember 2010. Namun, kekalahan 0-3 pada laga pertama di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, membuat timnas Indonesia batal mengangkat piala regional ASEAN itu.
Telunjuk mengarah ke pengurus PSSI. Sang Ketua Nurdin Halid mendapat kecaman paling keras. Teriakan agar Nurdin turun, makin santer ketika pertandingan final di Istora Senayan.
Namun, Sang Puang, seperti biasa, cuek saja. “Tidak untuk mundur, karena tidak ada hubungannya. Mundur atau tidaknya itu tergantung hasil pemilihan saat kongres nanti. Berapa persen sih rakyat Indonesia yang ingin saya mundur?” kata Nurdin di kantor PSSI, Jumat (8/1).
Aksi menggalang dukungan mendongkel Nurdin juga muncul di situs jejaring sosial Facebook. Facebooker pendukung sepakbola Indonesia resah melihat kekuasaan yang terus mempolitisasi dan memanipulasi PSSI sehingga minim prestasi.
“Kami menggunakan Facebook untuk menggalang solidaritas. PSSI organisasi yang bertanggung jawab atas majunya sepak bola nasional, tapi tidak melakukan hal yang memuaskan,” kata Fendry Ponomban, admin grup “Gulingkan Nurdin Halid” di Facebook.
Desakan reformasi PSSI bukan bentuk kekecewaan atas kekalahan timnas pada Piala AFF 2010. Momentum kekalahan menggugah publik bahwa PSSI harus keluar dari kebuntuan. Perlu mereformasi PSSI sekarang juga.
“Kita tidak bisa berharap dari politik. Kalau sepak bola kemudian diobok-obok, potensi sosialnya dan kohesi sosial dihancurkan oleh politikus dan pemodal yang hanya berpikir laba dari industri sepakbola. Ini persoalan penting,” kata Fendry.
Selain Nurdin Halid yang juga politikus Partai Golkar, PSSI “ditongkrongi” Andi Darussalam Tabusala, bos PT Minarak Lapindo Jaya. Nirwan Bakrie, adik pengusaha Aburizal Bakrie, duduk sebagai Ketua Badan Tim Nasional Indonesia.
“Ini PR dan harus dipikirkan. Tidak harus tunduk pada kepentingan modal. Apalagi hanya sebatas mendokrak citra salah satu figur. Harus ada rambu-rambu yang jelas,” kata Fendry.
Jamaah Facebook juga mendesak pemerintah membentuk dewan nasional sepak bola. Dewan beranggotakan unsur masyarakat ini akan mengawasi PSSI. Masyarakat dapat mengawasi federasi sepak bola secara utuh dan terbuka. “Tidak peduli Nurdin akan habis masa jabatannya, ini momentum ketidakpercayaan publik terhadap PSSI,” kata Fendry.


Minim Pembinaan

PSSI didirikan Soeratin Sosrosoegondo, seorang insinyur sipil. Pada awal berdiri, 19 April 1930, PSSI bernama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Nama ini diubah menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dalam kongres di Solo tahun 1950.
Nama Nurdin Halid sudah dipandang miring ketika terpilih menjadi Ketua PSSI tahun 2003. Pada 16 Juli 2004 Nurdin ditahan sebagai tersangka kasus penyelundupan 73 ribu ton gula. Bekas Ketua Dewan Koperasi Indonesia ini juga pernah ditahan karena diduga terlibat korupsi distribusi minyak goreng. Sempat divonis bebas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akhirnya Nurdin dihukum 2 tahun oleh Mahkamah Agung.
Meski dibui, posisi Nurdin sebagai Ketua PSSI aman. Politikus kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, ini bahkan tetap dapat memimpin federasi dari dalam penjara.
“Tidak heran. Nurdin itu kan kepanjangan dari ‘nurunin derajat Indonesia’. Kita bisa lihat, Indonesia terbesar di Asia Tenggara. Selama (Nurdin) memimpin, apa pernah memberikan juara? Sepak bola tidak lagi jadi kebanggaan,” kata Saleh Mukadar, mantan manajer Persebaya.
Menurut Saleh, PSSI sekarang menjadi sarang mafia. Manajemen berantakan, pembinaan gagal, dan prestasi tak pernah diraih.
Ketika Nurdin Halid memimpin PSSI, Indonesia berada di urutan 81 dunia. Setelah 7 tahun Nurdin menjabat, peringkat Indonesia anjlok ke 141. Seusai Piala AFF 2010, posisi Indonesia terdongkrak ke peringkat 130.
Menurut Saleh Mukadar, PSSI tidak serius mengurus pembinaan pemain. Dulu, seluruh klub sepak bola di bawah naungan PSSI memiliki klub binaan. Persija Jakarta memiliki klub internal yang akhirnya mati. Tak tanggung-tanggung, 40 klub di Medan juga “meninggalkan lapangan”.
“Karena yang dikedepankan juara. Tidak peduli dengan pembinaan. Akhirnya nyogok wasit, nyogok pemain. Yang penting bisa juara. Pembinaan rusak. Pembinaan itu fondasi klub. Klub mana pun seharusnya punya pembinaan umur. Ini kan tidak. Dan PSSI tidak mengurus,” ujar Saleh.
PSSI terkesan hanya mengurusi Divisi Utama dan Indonesia Super League (ISL). Banyak uang APBD digelontorkan untuk membiayai klub peserta Divisi Utama dan ISL.
“Kalau dihitung seluruh APBD yang dipakai oleh ISL dan Divisi Utama, Divisi I dan II, lebih dari 1 triliun rupiah untuk 1 tahun. Hasilnya apa? Baru kemarin kita dapat euforia yang luar biasa, tapi jago kandang,” kata Saleh.
Saleh Mukadar dikenal tak takut menentang kepemimpinan Nurdin Halid. Saleh pernah mengajukan bukti adanya praktik “jual-beli” pertandingan yang kemudian diakui PSSI.
Belakangan Persebaya pecah kongsi. Ketua DPRD Surabaya membentuk Persebaya tandingan. Menurut Saleh Mukadar, kondisi ini bertolak belakang dengan seruan Agum Gumelar ketika menjabat Ketua PSSI. “Pak Agum Gumelar dulu meminta kita untuk santun. Nah, yang kita hadapi sekarang ini preman. Mana bisa?” ujar Saleh.
Memperbaiki PSSI ibarat membersihkan kolam kotor. Segala yang mengotori kolam harus dibersihkan, termasuk mengurasnya. “Kalau mau memperbaiki PSSI, ya harus mengganti seluruhnya. PSSI itu seperti kolam kotor. Yang masuk ke sana pasti kotor. Organisasi olahraga butuh orang yang jujur, butuh orang yang fair play. Itu prinsip dasar olahraga.”

Saleh Mukadar
Saleh Mukadar

Transparansi Anggaran

Kekalahan Indonesia di Piala AFF 2010 menjadi momentum titik balik sepak bola nasional. Kisruh penjualan tiket membuat publik geram. PSSI dituntut transparan melaporkan keuntungan dan distribusi tiket.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyurati PSSI memastikan dugaan gratifikasi kepada pejabat negara melalui pemberian tiket gratis. Sekretaris Jenderal PSSI Nugroho Besoes mempertanyakan dugaan tersebut. “Mengundang pejabat kok dinyatakan gratifikasi,” kata Nugroho Besoes yang menjabat Sekjen PSSI sejak tahun 1983.
LSM anggota koalisi Save Our Soccer menuntut keuangan PSSI diaudit. Anggota koalisi, Indonesia Corruption Watch menyatakan desakan itu wajar karena PSSI selama ini belum pernah diaudit. “Kalau bersih, kenapa risih? Mereka harus buka ini,” kata Wakil Ketua ICW Emerson Juntho.
Desakan ini bukan untuk menggulingkan Nurdin Halid. Namun, mendorong akuntabilitas dan transparansi PSSI. Jika PSSI menolak mengumumkan kondisi keuangan, ICW akan memaksa melalui Komisi Informasi Pusat.
Koalisi sudah menyiapkan surat yang akan dikirim ke FIFA, jika PSSI ngotot menolak mengumumkan hasil audit. “Kami berharap FIFA tegas untuk membuat PSSI jadi tegas,” ujar Emerson.
Desakan tersebut didukung Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng. Menurut Andi, tahun lalu pemerintah menggelontorkan Rp 20 miliar untuk tim nasional. “Kalau menggunakan anggaran negara memang wajib dikaji lembaga penegak hukum,” katanya.
PSSI Harus Berubah
Lapangan C Gelanggang Olahraga Bung Karno kembali dipadati masyarakat. Sekarang bukan anggota timnas senior yang diburu. Alfred Riedl sedang menggelar seleksi timnas U-23. Tiga pemain naturalisasi, Andrea Bitar, James Zaidan Saragih, dan Arthur Irawan ada di antara 19 pemain yang diseleksi.
“Formula ini (naturalisasi) kami butuhkan untuk solusi jangka pendek. Bukan solusi jangka panjang. Solusi jangka panjang adalah pembinaan usia muda,” kata Iman Arif, Ketua Badan Teknis Badan Tim Nasional, seusai seleksi timnas U-23.

Iman Arif
Iman Arif
Iman Arif mengakui PSSI belum maksimal membina pemain muda. Naturalisasi hanya program “pancingan” menguber prestasi. “Selama ini belum tertata baik. Sekarang harus mulai penataan. Kita ini baru start,” ujarnya.

Seleksi timnas U-23 digelar tidak lama sebelum Liga Primer Indonesia dibuka. LPI yang digagas bos Medco, Arifin Panigoro, dianggap sebagai liga tandingan Indonesia Super League. PSSI menolak Liga Primer Indonesia digelar. LPI dianggap ilegal. Liga Primer tetap jalan karena Badan Olahraga Profesional Indonesia memberi lampu hijau. 
Kontroversi muncul. Irfan Bachdim, striker Persema Malang yang memperkuat timnas pada Piala AFF, terancam ditendang dari skuad timnas U-23. Padahal, Irfan sudah mengantongi jaminan masuk tim nasional U-23 tanpa seleksi. Persema ikut LPI, bukan ISL yang diakui PSSI.
“Kalau kita, siapa pun dia, permainannya bagus, kita pakai. Tapi kalau PSSI bilang liganya tidak diakui, susah juga gimana memakainya, meski permainannya bagus. Kebijakannya ada di PSSI, termasuk soal status Irfan,” kata Iman Arif.
Badan Tim Nasional mengingatkan PSSI agar mengubah pola pikir. Jangan terlalu sibuk mengurus polemik LPI dan politisasi sepak bola. Pembenahan sistem adalah agenda yang lebih mendesak.
“Harus ada pembenahan. Siapa pun pemimpinnya, kalau sistemnya sudah berjalan, tidak ada masalah. Sistemnya yang harus dibenahi bukan isunya,” ujar Iman.
Senada dengan Iman, mantan Manajer Persebaya Saleh Mukadar menegaskan, perbaikan manajemen dan sistem pembinaan pemain mutlak dilakukan. “Jika dua hal itu tidak ada, jangan harap ada prestasi.” (E4)


Sumber: VHRmedia   I   Penulis: Kurniawan Tri   I   Admin: F.A.

0 komentar: