Rabu, 09 Februari 2011

Uskup Timika John Saklil: ISKA Benar Soal Darurat Kebebasan Beragama

“Kekerasan yang dilakukan kelompok kecil yang radikal adalah ancaman serius terhadap kehidupan berbangsa—karena silent majority masyarakat Indonesia masih amat toleran.” Demikian penjelasan Muliawan Margadana, 46, Ketua Presidum Pusat (PP)  Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA)  kepada Tempo via sambungan telpon menyusul rilis  berjudul Darurat Kebebasan Beragama yang dikirim organisasi itu ke berbagai media—termasukTempo--pada Selasa malam, 8/02/2011.

Dalam rilis tersebut, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia menekankan, kasus penyerangan dan pembunuhan sejumlah Jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang , Banten pada Minggu, 6 Februari 2011 dan pembakaran gereja-gereja di Temanggung,  Jawa Tengah, pada Selasa, 8 Februari 2011 melahirkan kondisi darurat  kebebasan beragama di Tanah Air. 

ISKA menyatakan dukacita mendalam atas jatuhnya korban nyawa dan rusaknya sarana peribadatan umat beragama serta fasilitas umum serta mengecam keras segala tindak kekerasan dan intoleransi yang mengatasnamakan agama. Tindakan oleh sekelompok kecil warga masyarakat itu, menurut organisasi ini,  jelas-jelas menggambarkan tak adanya kebebasan  beribadah bagi pemeluk agama dan kepercayaan—seperti yang dijamin dalam UUD 1945.

Sekretaris Jenderal ISKA Kikin Tarigan mengatakan diperlukan saringan jelas dan jernih terhadap  nilai-nilai yang   bertentangan dengan nilai-nilai fundamental bangsa yang toleran, harmonis dan beradab dalam. Deradikalisasi terhadap pihak yang menentang pluralisme, menurut Kikin, harus dilawan dengan terus-menerus meneguhkan solidaritas yang tak mengenal sekat.

Uskup Timika Mgr. John Philip Saklil, 51 tahun, yang terbang dari Timika ke Jakarta untuk memimpin rapat khusus Komite Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)—selepas kekerasan di Pandeglang dan Temanggung, membenarkan isu darurat kebebasan beragama “ISKA benar sekali soal itu. Ini sudah lama berlangsung,  dan isu darurat kebebasan beragama itu harus diterima dan dikaji dengan lapang dada—dan jangan diterima sebagai ancaman” ujarnya kepada Tempo via sambungan telpon, pada Selasa malam, 08/02/2011.

John Saklil mengatakan  dua kekerasan terakhir ini menunjukkan  betapa kaum kuat terus-menerus menekan yang lemah. Dan  pemerintah sungguh tak boleh membiarkan hal ini terjadi: “ Negara kita sudah seperti tanpa hukum dan tidak bisa melindungi hak-hak warganya,” John menegaskan dalam nada prihatin. “Kasus semacam ini kian sering terjadi dan bila pemerintah tidak menanggapinya dengan serius, destruksi moral bangsa bakal makin besar,” dia menekankan.

Muliawan Margadana menyatakan  hal  serupa. “Pemerintah tak bisa menangani dari aspek kriminalnya saja, tapi  harus membereskan soal kerukunan beragamanya.” Menurut Muliawan,  masalah dalam kekerasan di Pandeglang dan Temanggung sudah jelas terbaca  kelompok (pelaku, Red), mau pun  polanya. “Tapi terasa adanya keengganan dalam penanganan, sehingga reputasi Indonesia di mata internasional—termasuk ketika negara kita mulai memimpin ASEAN—sudah ternoda.” 


Sumber: Tempointeraktif.com   I   Penulis: Hermien Y. Kleden   I   Admin: FA

0 komentar: