Rabu, 12 Januari 2011

Nasionalisme dan Penghapusan Subsidi BBM

Tahun 2010 lewat sudah. Seperti janji pemerintah, Maret 2011, kenaikan harga BBM tak lagi bisa ditunda.
Ini kenyataan yang harus dihadapi masyarakat. Pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau apa pun namanya bukan hal populer. Ini akan memicu kegelisahan publik, yang tentu saja tak populer bagi pemerintah di era penuh pesona ini. Terlepas dari itu, subsidi BBM sekitar Rp 80 triliun setahun sudah sangat membebani neraca keuangan negara.
Tak bisa dimungkiri, negara wajib menyubsidi warganya. UU Migas jelas menyebutkan, kebutuhan bahan bakar dalam negeri tak bisa dilepas sesuai dengan harga pasar. Namun, subsidi bukanlah tanpa batas dan sepatutnya jadi pelajaran berharga bagi publik ini untuk memahami betapa harga bahan bakar tidaklah murah dan sangat terbatas.
Selama ini konsep keadilan yang jadi inti semangat subsidi terkesan salah kaprah. Jumlah pemilik kendaraan, sebagai pihak yang merasakan langsung subsidi BBM, tak sebanding dengan total penduduk yang hampir 250 juta, yang seharusnya juga punya hak setara. Subsidi yang seharusnya dirasakan semua dan demi menunjang kesejahteraan rakyat ternyata dimanfaatkan segelintir warga untuk hal tak produktif.

Siapkah pemerintah?
Pengurangan subsidi BBM bertujuan baik. Hanya persoalannya, kapan waktu yang tepat. Persoalan lain, penerapan kebijakan yang diskriminatif dengan tetap membiarkan premium bersubsidi dikonsumsi pengguna sepeda motor dan kendaraan berpelat kuning. Ini menunjukkan kegamangan pemerintah.
Kebijakan diskriminatif niscaya akan menimbulkan persoalan yang jauh lebih pelik. Praktik jual beli liar BBM bersubsidi bakal marak. Para tukang ojek atau sopir angkot, misalnya, akan mencari cara memanfaatkan disparitas harga antara BBM bersubsidi yang mereka terima dan BBM nonsubsidi. Ini berarti membiarkan tumbuhnya tindakan kriminal di lapisan bawah.
Tak kalah penting, kesiapan pemerintah. Jika pada Maret 2011 subsidi mulai dicabut, pemerintah harus mampu menyediakan pasokan pertamax, pertamax plus, dan premium yang cukup. Setiap depot harus punya cadangan ketersediaan BBM minimal untuk 10 hari. Ini butuh tangki timbun yang tak bisa dibangun dalam 1-2 bulan. Kebutuhan BBM nonsubsidi yang naik juga menuntut perbaikan dan perubahan di kilang Pertamina, yang juga butuh waktu.
Penarikan BBM bersubsidi dari pasaran juga menjadikan kita kelebihan stok premium. Terlebih, konversi premium ke pertamax perlu bahan high octane mogas component (bahan untuk menaikkan oktan premium ke pertamax), yang harus diimpor. Pihak asing pasti ingin mereguk keuntungan dengan memanfaatkan keadaan terdesak kita lalu menekan kita untuk mengekspor premium lebih murah ke negara mereka. Di sana mereka mem- blend premium ini jadi pertamax atau pertamax plus untuk kembali dijual dengan harga tinggi ke Indonesia. Ini hukum pasar. Lagi-lagi pihak asing diuntungkan dan kita dalam posisi lemah.
Pengurangan subsidi bertahap bisa jadi pilihan. Katakanlah besaran pengurangan subsidi awal yang dipatok Rp 3,8 triliun. Dari angka itu, pemerintah harus menyodorkan ke publik besaran kenaikan harga premium yang harus dihadapi dalam setahun ke depan. Lalu, terapkan kebijakan bertahap dengan menaikkan harga premium Rp 100 per liter per bulan mulai Januari 2011. Jika ini dijalankan dalam setahun, angka Rp 3,7 triliun bisa dicapai. Begitu seterusnya hingga angka pengurangan subsidi tercapai.
Cara ini juga akan menjadikan disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi tak melonjak seketika sehingga menyempitkan ruang gerak para spekulan oportunistis. Lebih jauh, tahapan demi tahapan yang dilakukan akan mendekatkan disparitas harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi, yang niscaya akan menjadikan publik akhirnya memilih BBM nonsubsidi yang harganya tak berbeda jauh tetapi kualitasnya jauh lebih baik. Subsidi hanya akan dialokasikan untuk transportasi umum. Selama tahapan itu dilakukan, pemerintah harus membangun segala infrastruktur yang dibutuhkan.

Batasi SPBU asing
Tugas pemerintah yang harus segera ditunaikan, meyakinkan publik akan kegunaan uang hasil pengurangan subsidi. Selain menyeimbangkan neraca keuangan negara, pengurangan subsidi juga bertujuan negara punya lebih banyak dana untuk membangun berbagai infrastruktur yang jadi kebutuhan vital masyarakat, seperti rumah sakit, sekolah, jalan, dan jembatan. Program ini juga bermanfaat agar warga Indonesia menyadari pentingnya menyisakan cadangan energi kepada generasi penerus dan menyadarkan pemahaman masyarakat akan mahalnya harga bahan bakar sehingga mereka harus mulai menghematnya dari sekarang.
Jika disparitas harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi sudah kian menipis, hal yang harus dicermati adalah maraknya SPBU asing. Sudah saatnya SPBU asing tak dibiarkan leluasa bermain di lahan distribusi BBM yang tak padat modal dan teknologi. Harus ada batasan jelas mengenai kuota mereka dan mewajibkan mereka mendistribusikan BBM hingga pelosok negeri. Selama ini mereka hanya bermain di kota-kota besar. Atas nama pasar bebas, beri kesempatan pemain lokal di luar Pertamina ikut dalam persaingan. Monopoli Pertamina harus dikikis.

Achmad Faisal Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina 2006-2010

0 komentar: