Rabu, 19 Januari 2011

Jay Subyakto; Pemerintah Tak Peduli Kebudayaan

JAKARTA - Jay Subyakto adalah seorang seniman visual yang lengkap. Berlatar belakang arsitek, dia piawai menyutradarai pertunjukan, penata panggung, serta perancang artistik pertunjukan. Dia juga dikenal andal menggunakan kamera sebagai fotografer. Karya-karya Jay juga merambah dunia iklan yang menampilkan suguhan berbeda dibanding sajian-sajian iklan pada umumnya.
Sejumlah pertunjukan bergengsi di dalam dan luar negeri sukses berkat sentuhan Jay. Nama Jay kembali diperbincangkan, berbarengan dengan sukses Musikal Laskar Pelangi—karya apik sutradara Riri Riza serta penata musik Erwin Gutawa dan produser Mira Lesmana—yang berhasil memikat sekitar 25.000 penonton. Jay berhasil menghadirkan ”keajaiban” panggung seolah mengajak penonton ke alam Belitong seperti digambarkan Andrea Hirata si penulis novel Laskar Pelangi.
***
Bagaimana Anda menilai seorang Jay Subyakto ketika menjalankan profesinya sebagai penata panggung dan perancang artistik? (Nadia Misero, Tangerang)
Dalam setiap pekerjaan yang saya tekuni, saya percaya kerja sama kelompok dan semua pelakunya adalah bangsa sendiri, karenanya ide atau masukan semua lini saya tampung dan perhatikan sehingga seluruh yang terlibat merasakan adanya bagian dari ”dirinya” dalam pekerjaan mereka. Dan tentunya restu dan dukungan dari Vara dan Kaja, cinta dan jiwa saya.
Apa korelasinya antara background pendidikan arsitektur dengan penata panggung dan perancang artistik? (Ida Farida, xxxx@apf.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it )
Sangat erat. Arsitektur buat saya adalah ”ibu dari semua ilmu pengetahuan” karena mencakup seni, estetika, dan teknik. Sehingga saya jadi pemimpi yang mampu mewujudkan ide menjadi kenyataan.
Apakah gambaran Andrea Hirata yang selalu detail, kuat, dan sinematik atas sebuah lokasi dalam novel Laskar Pelangi memudahkan atau malah menyulitkan/membatasi kreativitas Jay untuk merancang artistik Musikal Laskar Pelangi? (Ardian Ismail, Jakarta)
Penggambaran Andrea di buku dan juga film Riri Riza serta foto-foto yang dia buat sangat membantu dan mereka memberikan kebebasan penuh kepada saya. Hasilnya adalah gabungan antara realisme dan khayalan. Dunia panggung dan anak-anak adalah sebuah pesta imajinasi dan saya tidak mau terikat aturan-aturan. Karena kreativitas merupakan fantasi semesta yang luas dan ia tak berbatas.
Saya mengenal Anda sebagai penyandang buta warna. Bagaimana mungkin Anda dapat menghasilkan karya-karya fantastis sebagai seorang penata panggung dan perancang artistik? (Dirga Sakti Rambe, Jakarta)
Tampaknya Dirga belum mengenal saya. Orang dimaksud yang buta warna itu Dimas Jayadiningrat.
Kalau saya penyandang buta korupsi.
Mas Jay, kira-kira, bagaimana cara saya ikut casting untuk pertunjukan teater? (Runi Arumndari, xxxx@hotmail.comThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it )
Runi, kalau senang dunia teater, Anda harus menekuninya, jangan hanya ikut casting. Semua profesi butuh pembelajaran dan pendalaman, tidak ada yang cepat saji. Anda bisa kuliah di IKJ, ISI Yogyakarta dan Solo, atau mendaftar ke kelompok teater.
Apa yang membuat Mas Jay bangkit ketika ada suatu dilema dalam karier? Riwayat pendidikan Mas Jay arsitek, bagaimana keluarga melihat Anda yang kini menjadi perancang dan penata artistik? (Yulianti Yuli, Palembang)
Saya bangkit ketika orang meremehkan diri saya, ketika mereka tidak memberikan kepercayaan dan menganggap saya tidak akan bisa mewujudkan suatu pekerjaan dengan baik. Slamet Raharjo pernah menasihati saya. Katanya, ”Orang Indonesia kalau melihat karya bangsa lain mereka menjadi murid yang melihat guru. Sebaliknya, ketika mereka melihat karya bangsa sendiri mereka berubah menjadi guru yang melihat murid. Sehingga bangsa ini tidak maju karena yang dicari selalu kesalahan dan kekurangan karya anak bangsa sendiri. Tidak ada yang akan menjadi dilematis sepanjang ilmu yang kita dapat diaplikasikan untuk kebaikan.
Ayah Ibu saya selalu mendukung profesi yang saya jalankan sepanjang tidak merugikan orang, tetapi berguna buat orang banyak. Sayangnya mereka wafat tahun 1999 dan tidak pernah melihat hasil kerja saya….
Menurut Anda, mana yang lebih menantang: menyutradarai video musik atau menjadi penata artistik di sebuah acara akbar? (Lucy Damayanti, Solo)
Sama-sama menantang karena dua bidang ini punya keunikan dan kesulitan berbeda. Selain menyutradarai video musik, saya juga membuat iklan dan fotografi, seperti iklan rokok dan kosmetik, tetapi dengan pendekatan pada kultur Indonesia (lihat di www.youTube. com) yang berupa penggugahan atas wawasan Nusantara, kekuatan perempuan Indonesia dan bencana yang melanda negeri kita. Di bidang ini pun saya selalu hanya menggunakan tenaga ahli bangsa sendiri. Karena di dunia iklan kita agency-agency lebih senang dan bangga memakai tenaga asing daripada pribumi.
Dari mana Anda mendapat inspirasi dalam menata sebuah panggung dalam pertunjukan? Masalah terbesar apa yang pernah Anda hadapi dalam menata sebuah panggung? (Novi Jami, Jakarta)
Biasanya inspirasi itu justru datang ketika saya melihat sesuatu yang justru tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya, misalnya dari berita-berita di media, arsitektur, lukisan, musik, alam, dan sebagainya. Ketika ia datang saya selalu mencatat, membuat coretan atau gambar-gambar sehingga saya punya tabungan ide.
Masalah terbesar dalam penataan panggung adalah tidak tersedianya infrastruktur sebuah gedung pertunjukan yang lengkap dan berkualitas.
Anda melihat tata ruang dan infrastruktur di negeri kita ini yang masih belum tertata ”nyeni” dan belum dapat dinikmati kenyamanannya? ( haryamp@xxxx.comThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it )
Jangankan tertata ”nyeni”, tertata benar saja belum. Inilah masalah terbesar negeri kita hampir seluruh infrastruktur fisik dan nonfisik negara ini masih timpang. Ditambah lagi dengan pemerintahan yang tidak peduli dan mengerti tentang pentingnya kebudayaan kesenian, tidak tegas, sibuk dengan kosmetik pencitraan, serta anggota Dewan yang tidak berkualitas. Selama masih ada korupsi dan kepalsuan, peradilan tak akan terwujud Indonesia yang kita cita-citakan.
Mengapa sepeda-sepeda yang ditampilkan dalam seluruh adegan sejak Lintang masih SD sampai Lintang dewasa semua tampaknya masih baru? (Soewarsa Sasraprawira, Jakarta)
Terima kasih Pak Soewarsa, Anda sangat teliti. Semua sepeda yang kami pakai adalah sepeda bekas yang kami beli di pasar loak Jogja, dan murid-murid SD Muhammadiyah Gantong pada masa itu walaupun miskin selalu diajarkan oleh Pak Harfan untuk merawat baik sepeda mereka sehingga selalu bersih dan terawat.
Artistik MLP sangatlah ”outstanding”. Bagaimana Anda mendapatkan inspirasinya? Siapakah kiblat kreativitas Anda? (Ganesha Wisnu Wardhana, xxxx@gmail.comThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it
Saya sangat tersentuh dengan kisah Laskar Pelangi, tentang kerakusan penguasa kita merampas hasil bumi dan menelantarkan penduduk dan pendidikan setempat, Sawahlunto, Bangka Belitung. Inspirasi muncul ketika membaca, sertamerta kita mulai bervisualisasi, berkhayal, dan membayangkan imaji dalam buku tadi. Ditambah ketika melihat filmnya dan yang terpenting adalah mengadaptasi kearifan lokal daerah Belitong, seperti bentuk batuan pantainya, arsitektur tradisional, tarian, dialek bahasa, serta keindahan alamnya.
Kiblat kreativitas saya adalah ayah saya, R Subyakto—KSAL pertama RI—dan paman saya, Mohammad Hatta, Proklamator RI.

Sumber: Kompas Cetak/(ush)   l   Foto: Kompas Cetak   I   Admin: FA

0 komentar: