Rabu, 19 Januari 2011

Jalan Sunyi Tan Malaka

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh besar pendiri Indonesia. Ia sosok pejuang luar biasa, penggagas  revolusi Indonesia, dan gigih melawan penjajah. Namun, popularitas Tan Malaka seolah tenggelam dari pemimpin bangsa lainnya. Ironinya, ia hidup dalam kesendirian dan tenggelam. Banyak upaya dilakukan untuk memberi arti pada sosok Tan Malaka bagi bangsa ini. Termasuk, pagelaran Opera Tan Malaka, di Komunitas Salihara Jakarta, pertengahan Oktober lalu.
“Kita tak tahu dari mana ia datang. Mungkin ia tak pernah datang. Ia sendiri mengatakan ia sampai ke Jakarta 11 Juli 1942. Ia bertolak dari Teluk Betung. Menurut cerita, selama empat hari ia berada di atas kapal empat ton yang tua dan bocor.”
Namanya Datuk Ibrahim Gelar Sutan Malaka, tapi lebih dikenal sebagai Tan Malaka. Lahir awal abad 20 dari golongan bangsawan Minangkabau. Ia terpelajar dan cerdas. Ia  sangat suka menjadi guru, hingga mendapat beasiswa sekolah guru ke Eropa. Dan Eropa, mengubahnya.
Tan Malaka melanglang Eropa pada saat negara-negara kapitalis di sana tengah gencar memperluas daerah jajahan. Di sisi lain, Rusia tengah bangkit dengan revolusi komunis di bawah Lenin. Karena itu, selama empat tahun di Belanda, Tan Malaka juga mempelajari pemikiran-pemikiran komunisme, sosialisme, dan teori-teori revolusi. Di sana ia mengagumi Lenin dan belajar teori Marxisme.
Di usia 20-an, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan mengajar. Ia mengajar anak-anak buruh perkebunan di Medan, menjadi aktivis pembela kaum buruh sampai diusir pemerintah Belanda. Tan lalu berkeliling ke Jawa, memimpin gerakan melawan kolonial, hingga ia menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia. Ia bahkan dianggap sebagai salah satu pemimpin komunis terbesar di Asia.
Namun perbedaan sikap di internal partai justru menyebabkan Tan dibenci dan dianggap musuh utama PKI. Tan juga menulis di koran tentang  kaum buruh, politik, pergerakan nasional dan gagasan pendirian republik.
“Ia juga menghimpun orang. Ia membangun Persatuan Perjuangan. Ia jadi guru para pemuda. Untuk itulah ia menulis buku, tinggal di dekat pabrik sepatu di Kalibata, selama delapan bulan, tiga jam setiap hari, ia menulis, menulis.”
Namanya segera membumbung tinggi di kalangan pergerakan dan tokoh pemuda waktu itu. Bersama tokoh gerilya Jenderal Soedirman, Tan membidani lahirnya gerakan Persatuan Perjuangan, sebuah gerakan pemuda menentang penjajahan Belanda tanpa kompromi, dengan slogan Merdeka 100 Persen. Karenanya, ia ia terus diburu pemerintah Belanda. Di usia kurang dari 30 tahun, ia ditangkap di Bandung, lalu diasingkan ke Belanda.
Pria kurus kelahiran Sumatera Barat itu menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pelarian. Selama lebih dari 20 tahun ia bersembunyi, menyamar, memakai tujuh nama samaran, dan lari. Dari Cina hingga Jepang, dari Singapura hingga Filipina, dari Hong Kong hingga Thailand. Tanpa teman, selain kertas, pena, dan segudang gagasan kebangsaan.
Nama Tan Malaka terlalu dikenal oleh Belanda dan sekutunya, maupun Jepang. Karena itu, Tan Malaka adalah juga Tan Ho Seng, seorang guru bahasa Inggris di Singapura. Ia juga Ossario, wartawan di Shanghai. Atau Elias Furientes, seorang koresponden di Filipina. Ia juga adalah Kiai Ilyas Husein alias Haji Hasan saat menjadi penulis dan pelarian di Indonesia.
Tak seorang pun memberitahu Tan Malaka tentang Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sesuatu hal yang dipandang ironis oleh banyak pengagum Tan, pada saat itu dan puluhan tahun berikutnya.
“Kata orang, ia berada di Jakarta hari-hari itu, tapi Proklamasi Kemerdekaan disiapkan para pemuda, dan ia tak ada di sana. Tan Malaka tak tampak bahkan beberapa meter saja dari Jalan Pegangsaa, ia tak kelihatan di tanggal 17 Agustus itu. Tak seorang pun memberitahunya. Aneh. Ia seorang penggerak revolusi. Ia bisa jadi Lenin. Tapi ia kehilangan jejak. Atau ia tidak berjejak.”
Tan Malaka tidak tahu ada proklamasi. Mungkin karena ia terlalu misterius bersembunyi dan menyamar, atau karena sulitnya menjalin kontak dengan kalangan pemuda saat penjajahan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan pun, Tan tetap bersembunyi.
Selama bergerilya bertahun-tahun, para pemuda Indonesia menemukan idola mereka; bukan Soekarno, tapi Tan Malaka. Tan dan Soekarno ibarat dua matahari kembar, yang tidak bisa bersatu. Soekarno memenangkan hati rakyat, tapi Tan Malaka mendapat dukungan gerakan pemuda. Duet Tan Malaka dan Jenderal Soedirman yang selalu mempelopori gerakan perlawanan terhadap penjajah, dianggap sebagai pengganjal duet Soekarno-Hatta yang memilih merdeka melalui diplomasi atau perundingan.
Sampai setahun setelah kemerdekaan, Tan ditangkap dan dipenjarakan pemerintah Soekarno selama dua tahun. Ditahan tanpa diadili, lalu dilepaskan tanpa penjelasan berarti.
Salah seorang tokoh pemuda pergerakan saat itu, Muhammad Yamin menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Pendiri Republik Indonesia. Jauh-jauh hari ia menulis buku berjudul Menuju Republik Indonesia, dan itu terjadi 20 tahun sebelum Proklamasi dikumandangkan.
Tan adalah penggerak revolusi tanpa kompromi. Karenanya, ia rela bernasib berbeda dari Soekarno, rela hidup dalam persembunyian, bahkan ketika penjajah berganti negara.
“Dengan bangganya ia mengatakan, kira-kira “Aku berbeda dari Soekano.” Aku berbeda dari Soekarno, karena kapalku dibela ombak dan angin, sedangkan kapalnya ditarik sekunar Jepang. Soekarno hidup di panggung tentara kependudukan, sedang aku hidup dekat lumpur dan puing, sampah dan lorong rendah.”
Meski gentayangan di gerakan bawah tanah, tanpa bekal apa-apa, kepala Tan Malaka penuh dengan gagasan yang menginspirasi kaum muda. Saking bergeloranya, selama pelarian, ia menulis banyak buku dalam waktu bersamaan. Beberapa bukunya yang populer diantaranya Menuju Republik Indonesia, Parlemen atau Sovyet, Massa Aksi, hingga karya terkenalnya Materi-Dialog dan Logika atau Madilog. Sedikitnya 27 buku ia tulis dan tidak terhitung naskah pidato dan artikel yang menggelora.
“Dengan itu ia ingin mengatakan, Soekarno adalah burung merak, dan Tan Malaka seekor berang-berang. Ia bersembunyi di lobang yang dibikinnya sendiri.”
Lebih dari 20 tahun, tokoh revolusi Indonesia bernama Tan Malaka itu hidup dalam pelarian hingga akhir hayat. Empat tahun setelah proklamasi, Tan Malaka gugur, konon kabarnya dalam suatu eksekusi militer di Kediri, Jawa Timur.
Tan Malaka hidup dalam kesendirian, dan meninggal dalam pelarian. Tragis dan dilupakan. Bahkan kuburannya pun tak ditemukan.
Dalam Opera Tan Malaka, sang sutradara Goenawan Mohamad menggambarkan Tan Malaka yang bersemangat menggerakkan massa namun hidup dalam sendiri, sunyi dan gelap, berpeluh dan dilupakan.
“Tentu saja tokoh ini tokoh menarik, misterius, dan banyak dijadikan legenda. Seperti, ada yang menggambarkan Tan Malaka sebagai Pacar Merah, seorang yang pandai menghilang. Menyamar di waktu Revolusi Prancis. Meski analogi itu tidak tepat, karena Pacar Merah itu membela kaum reaksioner, sedangkan Tan Malaka itu kaum revolusioner. Kedua, dia seperti ditenggelamkan. Sengaja dilupakan atau ditenggelamkan. Lalu timbul, di satu sisi orang sangat ingin melenyapkan dia, si sisi lain mengangung-agungkan dia. Saya mencoba menampilkan Tan Malaka dalam kontroversi, dengan kekaguman, dan juga kekurangannya,” kata Goenawan Mohamad.
Opera Tan Malaka hadir dalam bentuk minimalis, minim dialog, minim drama, tak ada pemeran Tan Malaka, Soekarno dan lain-lain. Hanya narasi, puisi, imajinasi, figur-figur tak dikenal dan para penyanyi aria atau seriosa.
“Yang harus diingau, opera ini tidak bisa dilihat sebagai tuturan kronologis. Ini diskursus, puisi, dimana kronologi tidak penting. Bahkan koherensi dalam urutan tidak penting. Yang penting, asosiasi-asosiasi, imaji-imaji, yang ingin menangkap persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia waktu itu, cita-cita, kegagalan, dan penderitaan yang terjadi,” Tambah Goenawan Mohamad.
Salah seorang penonton opera, Andi Budiman mengatakan, pementasan opera itu memunculkan rasa penasaran untuk mengetahui sosok Tan Malaka lebih lengkap.
“Ideologi Tan Malaka yang kiri, membuat dia tak bisa diterima oleh sejarah resmi Orde Baru. Membuat ia tidak ada tempat lagi di panggung sejarah. Baru belakangan orang memberi apresiasi. Kedua, dia sosok misterius. Tidak banyak orang tahu soal kehidupan pribadinya. Berbeda dengan Soekarno. Tan Malaka, kita tidak tahu kisah percintaannya. Sosok ini tidak banyak dikenal, misterius dan karena itu menimbulkan penasaran,” ujar Andi.
Seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Kartika, merasa mendapat gambaran tentang sosok Tan Malaka, yang tidak ia kenal sebelumnya.
“Jujur saya nggak tahu. Saya baru tahu ada artikel, bahwa Muhammad Yamin pernah menulis artikel, dan menyebut Tan Malaka sebagai Bapak Indonesia. Jadi tahu lebih jelas, soalnya awalnya saya tidak tahu dia seperti apa. Setelah lihat opera, oo ternyata begitu,” ungkap Kartika.
Puluhan buku dan pidato ditulis Tan Malaka, berisi gagasan dan pemikiran, pada puluhan lalu, dan kini diterbitkan ulang. Namun kisah kehidupan pribadinya tidak banyak terungkap. Tan Malaka mungkin tidak peduli. Atau kita yang tidak peduli padanya.

Sumber: KBR68H   I   Admin: FA

0 komentar: