Kamis, 09 Desember 2010

Rumah Sakit, Dilarang Tolak Pasien

Dilarang menolak pasien
Undang Undang tentang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 memihak kepada rakyak kecil, lihat saja Pasal  32 ayat (1) yang menetapkan bahwa Rumah Sakit dilarang menolak pasien :  dalam keaadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Namun  dalam realita pelayanan kesehatan di negeri ini, kita masih saja mendengar beberapa Rumah Sakit yang tidak segan segan menolak pasien berkantong tipis. Padahal seharusnya Rumah Sakit memegang teguh prinsip prosperty (kesejahteraan sosial) bagi masyarakat, namun motif bisnis telah merambah dunia kesehatan, sehingga pelayanan kesehatan itu telah bergeser menjadi Rumah Sakit yang semata mencari keuntungan (profitable),

Uang muka
Dalam Regulasi  itu jelas disebutkan, Rumah Sakit wajib memberikan pertolongan pertama (safety first) kepada pasien yang dalam kondisi kritis, dalam arti Rumah Sakit jangan serta merta menolak pasien dengan alasan tempat tidur penuh. Adapun alasan klasik penolakan pasien secara halus : selalu saja  diikatakan tempat tidur sudah penuh (untuk si miskin), namun sebaliknya apabila seorang pasien diantar dengan mobil mewah, maka pelayanan berubah 360 derajat. Bagi sikantong tebal semua menjadi tersedia, tempat tidur dan fasilitas termodern, tercanggih, dokter super spesialis bagi si kaya selalu ada.

Suatu hal lagi yang perlu diperhatikan oleh Manajemen Rumah Sakit adalah tentang uang muka. Dalam pasal yang sama pada Ayat (2) ditegaskan bahwa Rumah Sakit dilarang meminta uang muka pada keluarga pasien yang datang dalam keadaan gawat darurat.  Janganlah bicara uang terlebih dulu, sebelum memberikan pertolongan pertama, tetapi yang penting adalah bagaimana pihak Rumah Sakit menyelamatkan nyawa pasien yang dalam kritis itu secara profesional dan sunguh sungguh.

Ancaman Pidana
Guna melindungi Manajemen Rumah Sakit dari kesalahan penolakan pasien tersebut, maka rambu rambu hukum perlu mereka perhatikan, karena acaman Pidana menunggu bila terjadi pelanggaran dari regulasi kesehatan tersebut.  Dalam pasal 190 di tetapkan :Pimpinan unit pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Lebih drastis lagi, apabila pada pertolongan yang diberikan tidak profesional dalam arti tindakan medis tidak berdasarkan SOP atau asal asalan sehingga menyebabkan kehilangan nyawa pasien, maka acaman hukumannya lebih berat. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidka memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat mengakibatkan kecacatan dan/atau kematian dipidana dengan pidana paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah.

Tanggungjawab Pemerintah
Berpijak kepada azas pembangunan kesehatan adalah perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, dan nondiskriminasi dan norma-norma agama. Seharusnya penolakan pasien gawat darurat di seluruh Fasilitas Pelayaan Kesehatan tidak akan terjadi, apabila seluruh stake holders sektor kesehatan ini taat kepada azas tersebut.

Tentunya untuk memberikan kepastian   bagi pasien gawat darurat mendapatkan pelayanan prima di Rumah Sakit atau di Fasilitas Kesehatan lainnya, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai focal point  harus bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat.

Demikian pula pengelolaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya serta bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perseorangan.

Didalam Undang Undang kesehatan Nomor 36 tersebut, Kementerian Kesehatan tentunya tidak bekerja sendiri seperti yang tercantum didalam Pasal 175,  ” dibentuk Badan Pertimbangan Kesehatan Pusat dan Daerah. Badan Pertimbangan Kesehatan Pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional (BPKN) berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah (BPKD) berkedudukan di ibukota propinsi dan ibukota kabupaten/ kota.”

Semoga saja Undang Undang Kesehatan yang baru seumur jagung ini  dalam aplikasi pelaksanaanya di lapangan  lebih memberikan jaminan terpenuhinya hak kesehatan bagi warga negara sejalan dengan amanah  Undang Undang Dasar 45.


Jakarta, 9 Desember 2010
Thamrin bin Dahlan ibnu Affan

0 komentar: