Jumat, 26 November 2010

Akhiri Penganiayaan TKI!

Lagi-lagi tenaga kerja Indonesia dianiaya. Kali ini Sumiati binti Salan Mustapa yang menjadi korban. Peristiwa seperti ini menambah deretan panjang nasib TKI di negeri orang.
Upaya pemerintah terkait Sumiati tentu perlu diapresiasi. Namun, pemerintah tentu tak bisa melakukan hal sama setiap kali ada penganiayaan. Harus ada langkah fundamental dan strategis untuk memastikan peristiwa serupa tak terulang dan TKI benar-benar dapat perlindungan.
Penganiayaan atas TKI harus diakhiri. Paling tidak ada tiga langkah fundamental dan strategis. Pertama, perwakilan Indonesia di negara tujuan para TKI harus benar-benar memantau proses hukum atas tindakan tak manusiawi para majikan pelaku penganiayaan.
Pemantauan sangat penting karena para TKI memiliki status sosial yang rendah. Di kebanyakan negara berkembang mereka yang punya status sosial rendah akan mudah diabaikan hak-haknya dalam proses hukum.
Perwakilan RI harus memastikan majikan yang melakukan penganiayaan mendapat ganjaran setimpal dan tak terjadi impunitas terhadap mereka. Jika perlu, memanfaatkan media setempat untuk meliput proses hukum para majikan penganiaya. Tujuannya, agar ada efek pencegah bagi para majikan lain. Mereka diharapkan tak akan melakukan hal sama karena tahu konsekuensi yang dihadapi sangat berat.
Kedua, pemerintah secara serius menangani perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang bertindak sebagai agen pengirim. PJTKI harus dipastikan tak mengirim tenaga kerja seadanya karena tenaga kerja demikian berpotensi dianiaya akibat dari kekesalan majikan. Agen harus diberi sanksi berat apabila mengirim TKI tak berkualitas. Pejabat pemerintahan yang bermain mata dengan PJTKI harus dikenai sanksi.
Ketiga, pemerintah harus menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima TKI. Secara multilateral ada perjanjian internasional yang memberi perlindungan kepada para buruh migran, yaitu International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Buruh Migran). Permasalahan utama, negara pengirim akan sangat bersemangat mengikuti konvensi ini, tetapi tak demikian dengan negara penerima buruh migran.
Indonesia tak mungkin menekan negara penerima TKI untuk meratifikasi mengingat jika meratifikasi, mereka tak hanya harus melindungi buruh migran asal Indonesia, tetapi semua buruh buruh migran di negaranya.
Sebagai pengganti, perjanjian bilateral untuk perlindungan TKI sangat dibutuhkan. Perjanjian ini diharapkan banyak mengakomodasi ketentuan dalam Konvensi Buruh Migran. Artinya, konvensi ini hendak diperlakukan secara bilateral antara RI dan negara penerima TKI.
Legal dan tak legal
Apabila merujuk pada nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani RI dan Malaysia, MOU itu masih sangat jauh dari memberi perlindungan dibandingkan Konvensi Buruh Migran. Tidak memadai karena MOU tak memberi perlindungan sekomprehensif Konvensi Buruh Migran. Misalnya, MOU hanya melindungi pekerja domestik (pekerja rumah tangga), bukan pekerja Indonesia pada umumnya.
Belum lagi MOU hanya melindungi para pekerja domestik yang legal, sementara Konvensi Buruh Migran tak mempermasalahkan legal atau tidak legalnya status dari buruh migran.
Dalam melakukan perundingan, pemerintah tentu harus memiliki posisi tawar. Posisi tawar terpenting adalah tanpa perjanjian bilateral pemerintah tak akan mengizinkan TKI untuk dikirim. Pemerintah harus dapat meyakinkan negara penerima bahwa pemerintah punya kewajiban untuk melindungi warga negaranya di negeri orang.
Mudah-mudahan peristiwa yang menimpa Sumiati merupakan peristiwa terakhir TKI dianiaya. Sudah saatnya para pejabat pemerintah mengubah cara berpikir dalam memperlakukan TKI. Para pejabat perwakilan sudah seharusnya menghentikan pelayanan istimewa bagi pejabat Indonesia yang berkunjung, dan sudah waktunya memberi perhatian khusus kepada para TKI. Kerja keras para TKI turut memberi andil bagi gaji yang diterima para pejabat di perwakilan.
Para pejabat perwakilan tak seharusnya mempermasalahkan legal atau tidaknya TKI ketika memberi perlindungan. Selama warga negara Indonesia, mereka harus dapat perlindungan.
Penulis: Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Jakarta.

(Sumber: cetak.kompas.com)

0 komentar: