NEVER LET ME GO
Sutradara : Mark Romanek
Skenario : Andrew Garland (Berdasarkan novel karya Kazuo Ishiguro)
Pemain : Carey Mulligan, Keira Knightley, Andrew Garfield
Di sebuah dunia reka, Ishiguro membentang layar yang menampilkan masyarakat dystopia. Kira-kira rekaan itu adalah: Inggris di tahun 1970-an. Tersebutlah sebuah asrama di Hailsham yang menerapkan sebuah sistem ganjil. Anak-anak menempuh pendidikan tanpa mengetahui masa depan mereka. Hanya di kemudian hari, setelah mulai remaja mereka baru tahu bahwa mereka dipelihara agar kelak setelah dewasa, organ tubuhnya satu-persatu disumbangkan kepada mereka yang sudah “memesan”.
Seperti juga pada novelnya, sutradara Mark Romaneck menceritakan ini semua dari sudut pandang Ruth (Carey Muligan) yang sejak kecil sudah tertarik pada Tommy (Andrew Muligan). Tetapi sejak kecil pula, sahabatnya sendiri, Kathy (Keira Knightley) yang karakternya sangat dominan dan licin berhasil merebut Tommy dari Ruth. Tetapi soal cinta segitiga ini adalah satu hal. Yang lebih memberatkan adalah bagaimana mereka setap hari mendekati hari-hari yang menentukan ketika lever, atau ginjal atau mata mereka digerogoti.
Ketiganya tumbuh bersama dan menatap masa depan mereka yang dekat dengan kematian. Romaneck menyajikan gambaran pantai yang kelabu dan murung, seperti juga nasib ketiga remaja itu dan murid –murid lainnya yang seolah tak mampu melawan nasib yang sudah digariskan ketika organ mereka satu demi satu diambil.
Yang menjadi problem dari film (yang bersetia pada novelnya) ini adalah konsep cerita ini. Novel (dan film) ini memberi sugesti tentang sebuah negara antarah berantah mirip Inggris yang memiliki “polisi medis” yang menguasai kehidupan mereka. Sementara kita tak disajikan suasana “big brother is watching you” seperti dalam novel “1984” (George Orwell). Artinya ada banyak momen di mana trio Ruth, Tommy dan Kathy sebetulnya bisa saja kabur atau mencelat entah ke negara mana, asal jangan di neraka gila yang seenaknya mewajibkan mereka menggali-gali tubuh manusia.
Para remaja itu digambarkan pasrah pada ‘nasib’ yang digariskan negara pada mereka. ‘Pemberontakan’ itu hanya sampai pada saat Tommy dan Ruth yang saling mencintai mencoba meyakinkan Kepala Sekolah/Asrama bahwa Tommy memiliki bakat seni lukis yang luar biasa, dan mungkin saja dia bisa diberikan semacam dispensasi. Seni peran Andrew Garfield sungguh meremas hati. Luar biasa; melebihi apa yang sudah kita lihat dalam film Lions for Lambs (Robert Redford) , The Other Boleyn Girl(Justin Chadwick) dan Social Network (David Fincher). Mungkin hanya sosok Tommy yang diperankan Garfield inilah—meski sesaat-- yang memperlihatkan ‘kemarahan’ melalui kepedihan yang garang dan begitu pedih.
Kazuo Ishigiro adalah seorang novelis yang memang mementingkan atmosfer dalam novel-novelnya. Karya sebelumnya seperti Remains of the Day (1993) yang juga sudah diangkat menjadi film oleh James Ivory, dengan pemain Anthony Hopkins dan Emma Thompson l, sengaja menghindar hingar bingar Perang Dunia II. Ceritanya lebih berkutat pada seni melayani dan mengabdi yang anggun dari seorang pelayan, siapapun majikannya. Film Never Let Me Go, betapapun keji dan brutalnya sang Negara pada warganya, tetapi Kazuo Ishiguro menekankan keanggunan para tokohnya saat melalui detik-detik akhir hidupnya. Bahkan pada saat terakhir mereka melepas organnya satu-persatu, kita tak melihat selintasanpun caci-maki atau sumpah serapah para tokoh itu.
Justru inilah yang membuat film ini sungguh muram. Kemana rasa marah dan pemberontakan itu? Kenapa tokoh-tokoh itu tampak lemah dan penurut? Di mata sutradara Romaneck, kekuatan manusia jelas kalah oleh lindasan Negara. Dan hingga akhir film, kita mencoba menghibur diri dengan menyatakan bahwa ini hanyalah sebuah negara fiktif.
Leila S.Chudori