Budaya konsumerisme menjerumuskan remaja dalam lubang prostitusi. Keluarga tak lagi jadi tempat yang aman.
Mengejar biaya hidup tinggi. Tabrak sana-sini tambal kantong bolong.
Pukul 1 siang. Lia beranjak meninggalkan gedung sekolah. Sembari sibuk menulis SMS, dara 16 tahun ini bergegas menuju salah satu mal besar di pusat kota Surabaya. Dia memilih salah satu sudut mal. Tak lama kemudian seorang pemuda menghampiri. Setelah berbincang sejenak, keduanya pergi. Menuju hotel atau motel yang disepakati.
Lia mengaku itulah kegiatan "sampingan"-nya di sela rutinitas sebagai pelajar. Tidak jarang ia membolos demi mendapatkan penghasilan.
Korban Perceraian
Lia mengaku terpaksa menjalani kegiatan “sampingan” itu demi menambah uang saku.
Sejak orang tuanya bercerai 6 tahun lalu, Lia hidup menumpang di rumah salah satu kerabat. Selama tinggal di rumah tersebut, biaya sekolah dan kebutuhan hidupnya amburadul. Hingga beberapa bulan menunggak bayar SPP.
Tidak hanya persoalan biaya pendidikan yang menjadi masalah bagi Lia. Kakak iparnya sering mencoba melakukan pelecehan seksual kepadanya. Lia menjadi tidak betah tinggal di rumah kerabat.
Dia pun menjadi pekerja seks komersial remaja. Lia mengaku telah melakukan hubungan badan saat kelas II SMP. "Saat menerima tamu pertama kali, sekitar November 2009, saya memang sudah tidak perawan lagi," ujarnya.
Menurut Lia, tarif melayani tamu bervariasi. Berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Namun, tidak setiap hari dia menerima order. Hanya saat benar-benar membutuhkan uang.
Lia menentukan tempat kencan, hanya di beberapa hotel. Tamu yang diterima juga tidak asal. Dia perlu melihat dahulu tamu yang akan ditemani. Jika dirasa aman, urusan boleh lanjut.
Dalam sebulan penghasilan Lia mencapai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Uang itu digunakan untuk membayar SPP dan keperluan rumah seperti listrik dan air. Jika ada sisa, dia membeli kosmetik dan pakaian.
Lia sadar, profesinya rawan penyakit. Juga risiko sosial seperti diketahui keluarga atau teman. Karena itu, Lia mewajibkan tamu memakai kondom. Dia meminta tamunya menjaga rahasia. "Perasaan takut ada sih. Tapi mau bagaimana lagi?" ujarnya.
Korban Gaya Hidup
Pekerjaan “sampingan” juga dijalani Anita, 15 tahun. Pelajar kelas III SMP ini berasal dari keluarga yang lumayan mapan. Dia mengaku, ayahnya komisaris sebuah perusahaan swasta.
Anita mencari kebahagiaan di luar rumah. Dia merasa orang tuanya tidak mengerti kebutuhan anak serta perkembangan zaman. "Saya ingin memiliki Blackberry atau pakaian model terbaru. Karena itulah saya memilih terjun sebagai swinger," ujarnya.
Dalam “praktik” Anita memilih melayani pria paro baya atau om-om. Tarif sekali kencan Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu. Kadang-kadang mencapai Rp 1 Juta.
Anita sengaja memilih om-om, karena biasanya tidak rewel dan royal. Selain memberikan uang, mereka kerap membelikan pakaian model terbaru.
Anita terjun ke lingkaran prostitusi sejak 6 bulan lalu. Ia mengaku, keperawanannya dihargai Rp 2 juta oleh seorang pengusaha asal Kalimantan.
Lokasi kencan yang dipilih Anita tidak sembarangan. Ia mensyaratkan minimal hotel bintang 3. Hal itu untuk menjaga kemungkinan buruk seperti diketahui tetangga, teman, dan keluarganya.
Anita berhasil meraih impiannya. Kini dia ber-Blackberry.
Jejaring Sosial
Anita memanfaatkan teknologi internet untuk menjaring tamu. Dia ”mempromosikan” diri melalui Facebook dan Yahoo Messenger. Hampir semua klien dan pelanggan tetapnya dimasukkan dalam daftar teman di dua jejaring sosial tersebut.
Cara ini dirasa Anita paling aman melindungi identitasnya. "Harus ada trik khusus dalam pemasaran dan pengamanan. Langkah ini paling tepat," katanya yakin.
Hal serupa dilakukan Lia. Dia menggunakan Facebook untuk mendapatkan klien dari anak baru gede hingga om-om. Melalui situs pertemanan ini dia mendapatkan beberapa pelanggan tetap.
Lia punya jurus menarik pelanggan. Dalam waktu-waktu tertentu, Lia memberikan layanan gratis untuk klien pilihan. "Saya rela memberikan gratis. Selain karena pengen, ini salah satu strategi untuk klien," ujarnya.
Baik Lia maupun Anita memanfaatkan warung internet sebagai “kantor pemasaran”. Dari warnet tersebut mereka menggaet klien dan tawar-menawar, baru kemudian menuju lokasi transaksi.
Sistem Keliru
Pengamat sosial Dwi Sarwindah mengatakan, maraknya anak-anak yang terjun ke praktik prostitusi akibat minimnya pengawasan yang diberikan orang tua. Ia juga menyoroti peran media massa, khususnya televisi, yang ikut meracuni pola pikir anak-anak. Di antaranya dengan memberikan mimpi-mimpi lewat tayangan sinetron.
"Media massa berperan besar dalam perkembangan mental anak. Karena itu, mereka juga harus menjaga kualitas siaran," kata dosen Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya ini.
Eksploitasi anak-anak yang jamak terjadi, kata Dwi, dapat dilihat melalui perspektif relasi kuasa yang melingkupi kehidupan anak-anak, baik secara langsung maupun tidak. Ketiga pihak tersebut adalah orang tua, masyarakat, dan negara.
Dwi mengatakan, keluarga seharusnya memberikan tempat berlindung paling aman bagi anak. Kemudian masyarakat memberikan kesempatan kepada anak untuk leluasa mengekspresikan diri. Jika keluarga dan masyarakat tidak bisa, secara yuridis menjadi tanggung jawab negara.
Namun, negara yang idealnya melindungi secara maksimal hak anak-anak, justru menjadi lingkungan yang mengancam kehidupan anak. (*)
http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=880
Sumber: VHR Media I Penulis: Yovinus Guntur / Angga Haksoro I Foto: Yovinus Guntur I Admin: F.A.
Sumber: VHR Media I Penulis: Yovinus Guntur / Angga Haksoro I Foto: Yovinus Guntur I Admin: F.A.
0 komentar:
Posting Komentar