Peringatan Hari Anak International pada hakekatnya merupakan momentum yang penting untuk menggugah kepedulian maupun partisipasi seluruh Rakyat Indonesia dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta menghargai pendapat anak.
Hadapi serta kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Sebagian dari data itu menyingkap realita pahit kehidupan jutaan anak di seluruh dunia yang hidup serba berkekurangan yang selalu bergelut dengan krisis makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya...
Berdasarkan laporan Organisasi Pembela Korban Kekerasan pada dekade lalu, dalam bentrokan militer yang terjadi di seluruh dunia, sebanyak 30 juta anak menjadi korbannya dengan berbagai cara. Dalam peperangan-peperangan itu, sekitar dua juta anak tewas, lebih dari satu juta anak kehilangan orangtua mereka dan 6 juta anak luka dan cacat.
Laporan itu juga menambahkan, sepanjang masa tersebut 12 juta anak kehilangan tempat tinggal sementara 10 juta anak lainnya mengalami gangguan psikologis hebat. Kondisi yang menyedihkan terdapat juga pada anak-anak yang dipenjara di sejumlah negara termasuk Sudan, betapa sesungguhnya sudahkah anak- anak atau generasi penerus untuk masa depan bumi kita tempat hidup kita ini sudah diperlakukan secara layak dan dididik untuk dipersiapkan menghadapi zaman dan kehidupan yang keras dan penuh kompetisi kelak.
Jika peringatan hari anak nasional atau peringatan- peringatan lainnya hanya dirayakan sebagai sebuah pesta untuk menyambut hari yang bersejarah tersebut, saya hanya mengatakan percuma... kesan yang didapat dengan pesta- pesta tersebut tidak kurang dari 1 % efek yang dihasilkan yang seharusnya dapat lebih dari 60 % jika benar- benar dimanfaatkan dengan baik momen tersebut. Begitu banyak anak- anak dan generasi muda penerus yang akan mewarnai masa depan kelak, mendapatkan kehidupan yang tidak layak, pendidikan yang kurang, dan gizi serta kemakmuran yang kurang.
Kriminalisasi anak makin berkembang terus. Kriminalisasi anak meningkat berarti makin banyak anak berada dalam kehidupan masa kecil yang pahit. Agar permasalahan apalagi kepahitan hidup yang menimpa anak dapat ditekan sampai titik terendah maka instansi terkait kesejahteraan anak perlu memberikan intervensi atas dasar rasa keadilan yang lebih masuk akal kepada anak melalui lingkup tugas tiap instansi.
Fokus tulisan ini membahas tentang permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum (disingkat ABH). Beberapa tahun ini kasus ABH makin meningkat, di mana penyebabnya terletak pada masih ada lembaga, oknum, yang belum saling memahami, mendukung dalam rangka memberi perlindungan. Terutama muaranya adalah menyikapi seutuhnya proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Akumulasi masalah yang menghadang kesejahteraan anak belum terpecahkan, kini muncul keprihatinan baru akan nasib anak: puluhan ribu anak Indonesia berada dalam jeruji besi. Status mereka adalah narapidana, dipenjarakan. Paling memelas lagi, sebagian besar anak-anak dalam jeruji besi berada dalam ruangan yang sama dengan penjahat lainnya yang berusia dewasa.
Berikut data angka yang memilukan, di kutib dari sumber Direktorat Pelayanan Sosial Anak, Kementerian Sosial. Pada tahun 2008 dari 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), Kementerian Hukum dan HAM dilaporkan terdapat 6.505 anak dengan kenakalan diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak di antaranya (71,05%) diputus pidana. Tahun 2009 kasus tindak pidana anak yang diajukan ke meja hijau pengadilan meningkat menjadi 6.704 anak, 4.748 di antaranya (70, 82%) diputus pidana.
Orang di luar negeri heran dan bertanya kepada pejabat pemerintah serta pejabat lembaga yang bergiat dalam perlindungan anak, koq banyak amat anak yang jahat di negeri ini?
Padahal persoalan sebenarnya terletak pada hukum formal yang sama sekali tidak memberi perlindungan kepada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak benar lagi untuk digunakan untuk mengadili anak, karena jelas mengkriminalasasi anak. UU No.3/1997 sudah disarankan sejak bertahun-tahun agar harus diamandemen., karena tidak pantas menetapkan putusan pidana kepada anak usia 8 tahun. Tetapi langkah amandemen ini masih belum nampak.
Dengan landasan hukum formal seperti itu, ditambah kultur aparat seperti polisi, Satpol PP yang masih suka menyiksa anak, maka perlindungan dan kesejahteraan makin sulit diwujudkan di negeri ini.
Kondisi Sekarang yang tidak sehat dan tidak menyejahterakan anak harus segera memperoleh perhatian, terutama dari seluruh instansi penegak hukum terkait agar pembangunan kesejahteraan anak jangan terabaikan dengan sikap oknum dan dukungan peraturan hukum yang sudah tidak up to date.
Masa depan anak masih panjang. Pada era globalisasi dan perkembangan situasi dan kondisi dalam negeri sekarang, ketahanan dan daya tahan anak (resilence) sangat diperlukan, dan didukung oleh perhatian orang tua dan seluruh komponen bangsa agar anak dapat tumbuh kembang, berprestasi serta berpartisipasi mengukir masa depan mereka sendiri.
Tujuan Peringatan Hari Anak International
Pertimbangan peringatan HARI ANAK INTERNATIONAL diselenggarakan setiap tahun adalah untuk:
1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta bersama dengan Pemerintah dalam menyelenggarakan upaya pembinaan dan pengembangan anak secara holistik-integratif dan berkesinambungan.
2. Meningkatkan kesadaran pemerintah, masyarakat, orang tua dan segenap komponen
3. Bangsa untuk memenuhi hak-hak anak berdasarkan Child Rights, dan menghindarkan anak-anak dari: abuse (penyalahgunaan, perlakuan kejam, penyiksaan), neglect (melalaikan), eksploitasi, kekerasan terhadap anak, diskriminasi, drugs (pemakaian obat-obatan terlarang), pornografi, dll.
4. Menunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia internasional (minimal pada tingkat Asia Pasifik) bahwa kita mendukung hak-hak anak dan melakukan upaya kesejahteraan anak.
Tentu saja kita masih ingat program televisi 'PANGGUNG HIBURAN ANAK-ANAK' yang tayang setiap hari Minggu di tahun 80an dulu. Menampilkan para penyanyi-penyanyi cilik yang sudah beken dan memiliki fans anak-anak pula. Sekaligus sebagai ajang untuk memperkenalkan para pendatang baru. Acara ini sangat digemari anak-anak bahkan orangtua pada masa itu. Anak-anak memiliki 'lingkungan' musiknya sendiri sesuai dengan usia dan perkembangannya. Tapi, lihat yang terjadi sekarang! Tak ada lagi yang namanya 'dunia anak-anak' itu. Para penyanyi cilik dulu sudah beranjak dewasa dan menanggalkan image mereka sebagai anak-anak. Para pencipta lagu anak pun mulai tenggelam. Dan pada akhirnya, lenyap jugalah acara 'PANGGUNG HIBURAN ANAK-ANAK' yang sangat beken itu.
Anak-anak masa kini sudah bersentuhan dengan lagu-lagu remaja/dewasa dengan thema PERCINTAAN! Sungguh miris melihat anak-anak berumur 7-12 tahun menyanyikan lagu-lagu cinta seperti RADJA, PETERPAN, DEWA, BCL, ROSSA, ST12, PADI dan SO7. Di acara yang notabene berembel-embel anak-anak. Yaitu, acara'IDOLA CILIK'. Para penyanyi cilik yang bersaing untuk menjadi idola anak-anak itu menyanyikan lagu yang mengisahkan tentang orang-orang dewasa yang sedang kasmaran bahkan tentang pengkhianatan cinta. Padahal, anak seumur diapun mungkin belum memahami makna dari lirik lagu tersebut. Akibatnya, anak-anak sekarang menjadi terlalu cepat dewasa. Mengenal pacaran dalam usia sangat dini. Dan tentu saja juga mengenal kosmetika dalam usia yang sangat dini pula. Karena mereka berpatokan pada penampilan idolanya yang memang sudah berusia dewasa. Entah apa yang menyebabkan 'dunia musik anak-anak' ini menjadi mati suri. Apakah proses regenerasi penyanyi cilik yang tidak berjalan dengan baik? Ataukah para pencipta lagu-lagu hits yang jumlahnya bejibun di negara ini memang tidak mau melirik sedikitpun ke zona ini? Atau memang media yang tidak menyediakan proporsi seimbang untuk acara berthema anak-anak. Entahlah.
Tapi yang pasti, kalau perfilman Indonesia saja yang dulunya sangat terpuruk masih bisa berdiri, maka acara-acara musik untuk anak-anak ini juga masih bisa bangkit. Karena tidak ada kata 'HABIS' untuk anak-anak. Dia akan selalu ada di setiap generasi. Begitu satu generasi anak sudah beranjak dewasa, dibelakangnya sudah ada generasi anak yang baru lagi. Dan lagu dengan thema anak-anak, biasanya abadi. Mudah-mudahan anak-anak dimasa mendatang masih bisa mendengarkan dan menyanyikan lirik-lirik sederhana, lucu namun penuh dengan nasihat dan didikan seperti lagu-lagu anak yang ceria di era 80an dulu. Semoga.. "Susan, Susan, Susan, kalau gede mau jadi apa? Aku kepingin pinter biar jadi dokter.." (Boneka Susan/Ria Enes)
Di usia yang cukup belia mereka tidak dapat menikmati kehidupan layaknya anak-anak lain. Mereka harus terlibat dalam praktek perbudakan, kerja paksa, perdagangan anak, ikatan hutang, prostitusi, pornografi, dan semua bentuk-bentuk pekerjaan yang mungkin bisa membahayakan keselamatan, kesehatan, dan moral anak-anak. Kita lihat betapa banyak anak-anak di kota Ambon yang mengalami hal-hal di atas.
Tengoklah kehidupan malam di karaoke-karaoke atau diskotik-diskotik, penerima tamunya banyak yang masih di bawah umur. Lihat juga di pelabuhan-pelabuhan, di penambangan pasir, dan di pasar-pasar, anak-anak banyak melakukan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak. Belum lagi kehidupan yang tidak sehat yang mereka jalani. Pada malam hari mereka yang tinggal di pasar-pasar, ada yang bertelanjang dada, ada yang sedang main kartu, makan mie instan yang masih mentah, dan tidurnya di tempat yang paginya dipakai untuk jualan ikan. Bayangkan kalo yang mengalami hal itu adalah anak-anak kita, akankah kita berdiam diri?
Ingatlah menurut Keppres Nomor 36 tahun 1990 yang merupakan ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB (CRC, 1984) dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23/2002 menjelaskan bahwa Pemerintah, penegak hukum, masyarakat, keluarga, dan orang tua merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak. Sadarkah kita akan hal ini? Sadarkah kita bahwa kita merupakan bagian dari orang yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap anak dan atau pekerja anak terutama pihak sekolah harus mengetahui kebutuhan khususnya agar mereka dapat masuk dan bertahan di dunia pendidikan. Adapun menurut Modul Merangkul Pekerja Anak yang dikembangkan ILO (Internasional Labour Organisation) menjelaskan bahwa kebutuhan khusus pekerja anak antara lain; dukungan ekonomi (adanya program sekolah gratis, penyediaan prasarana), waktu (adanya beban belajar yang diatur bersama), akademis (adanya masa transisi untuk mengejar ketinggalan pelajaran), motivasi (penggunaan metode pembelajaran yang variatif, praktis, dan sesuai kebutuhan masa depan), budaya (merubah pola pikir yang salah bahwa pendidikan hanya untuk anak laki-laki dan orang yang punya uang), dan psikologi (adanya pembelajaran-pembelajaran yang mengakses isu dunia pekerja anak).
Nah, setelah mengetahui kehidupan pekerja anak, faktor-faktor yang menyebabkan pekerja anak tidak dapat masuk dan bertahan di lingkungan sekolah, dan kebutuhan khusus mereka agar dapat kemabali dan bertahan di lingkungan sekolah. Marilah melalui peringatan Hari Anak Nasional ini kita tingkatkan kesadaran tentang isu pekerja anak dan mendorong semua pihak untuk mengembalikan mereka ke lingkungan sekolah. Kami yakin dan percaya jika semua anak termasuk pekerja anak dapat memperoleh pendidikan dengan baik maka kapasitas sumber daya manusia Indonesia meningkat sehingga tujuan pembangunan nasional tercapai.
(Penulis: Ayu Lestari / Editor: Indra)
0 komentar:
Posting Komentar