Dia tertatih di Jalan Tahrir yang lengang. Berhenti sebentar di depan tank berwarna kuning pasir dan memegang luka di atas tulang pipi. Seorang tentara menghampiri dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Pemuda itu hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya. Pagi masih buta, dia berjalan di bawah sinar merkuri. Pada termometer dingin tercatat 7 derajat Celsius, dan pemuda berjenggot tipis itu membekap tubuhnya dengan jaket tebal dan lehernya dengan kafiyeh. Di Kamis pagi yang dingin itu, dia keluar dari Midan Tahrir, Kairo, untuk sementara. "Saya akan kembali siang nanti," katanya kepada Tempo.
Dia mengaku bernama Ahmed, nama paling digemari di Mesir. Tanpa nama belakang, itu sama saja dengan mengaku bernama anonim. Yang agak jelas adalah statusnya: mahasiswa Fakultas Ilmu Politik di American University Kairo. Kampusnya tepat di samping Midan Tahrir. Ahmed, tentu saja, bukan pulang dari kampus yang dihuni anak-anak orang berduit itu. "Sejak kemarin saya di Midan Tahrir, menginap di sana bersama pemuda lain," katanya. Ia bergabung dengan ribuan pemuda yang berdemonstrasi menentang pemerintah. Mereka meminta Presiden Husni Mubarak, yang telah berkuasa selama 30 tahun, turun sesegera mungkin.
Sudah sejak 25 Januari lalu protes ini digelar di alun-alun itu. Seperti petasan di pernikahan Betawi, demonstrasi itu menular, meletup beruntutan di kota-kota Mesir lainnya, dari Aswan di selatan sampai Alexandria di utara. Yang turun kemudian bukan hanya para pemuda berpendidikan seperti Ahmed, tapi juga orang tua, kaya dan miskin. Koran oposisi memperkirakan dua juta orang turun ke jalan pada puncak demonstrasi, 1 Februari lalu.
Dari profesor American University, pengusaha, hingga warga yang biasa terlihat meminta-minta, semuanya berkerumun di Tahrir. Juga orang-orang partai oposisi. Ada Ayman Noor, pendiri partai liberal Al-Ghad yang menjadi lawan Mubarak dalam pemilihan presiden 2005, dan Hamdeen Sabahi dari Partai Al-Karama, pecahan Nasserist. Pendiri Asosiasi Nasional untuk Perubahan, Mohamed el-Baradei, juga kembali dari Wina, Austria, untuk bergabung dengan massa.
"Ini adalah demonstrasi terbesar yang tercatat dalam sejarah Mesir. Saya tak pernah melihat demonstrasi sebesar ini," kata Mohamed Anter, jurnalis koran oposisi El-Shuruq. Lebih besar daripada demonstrasi penggulingan sistem kerajaan pada 1952.
Meski belum bisa menjatuhkan Mubarak, kekuatan mereka berhasil membuat kursi kepresidenan goyah. Mubarak terpaksa membentuk kabinet baru, menunjuk wakil presiden, berjanji tak akan maju dalam pemilihan umum September mendatang, mau berdialog dengan oposisi, dan mengubah konstitusi agar presiden tak dipilih lebih dari dua kali. Semuanya-kecuali pembubaran kabinet-belum pernah dia lakukan selama 30 tahun berkuasa.
Mesir terguncang. Pusat dari gonjang-ganjing di Mesir ini bukanlah di permukaan. Apa yang terjadi di Tahrir merupakan akibat dari pergerakan yang tak terlihat di bawah tanah, sebuah perlawanan dari dunia maya. "Kami datang karena ada seruan bersama di Twitter," kata Ahmed. "Sejak ada undangan untuk bergerak pertama pada 25 Januari, semua informasi disebarkan lewat Twitter."
Juga di Facebook. Ada akun "We are all Khaled Said" yang memiliki fan lebih dari 370 ribu orang. Khaled Said adalah pedagang yang tewas akibat dianiaya polisi tahun lalu. Akun ini menyerukan aksi antipemerintah berkali-kali, termasuk mengundang aksi 25 Januari lalu.
Tentu saja undangan itu tidak datang tiba-tiba. Setelah kejatuhan Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali oleh kekuatan rakyat pada pertengahan bulan lalu, sejumlah pemuda Mesir terinspirasi untuk melakukan aksi serupa. Keyakinan bahwa Mubarak tak mungkin digoyang mulai diragukan. "Jika Tunisia bisa, kami pasti bisa," kata Gala Ahmad, mahasiswa Universitas Ain Shams, Kairo. Diskusi ini tentu saja tak dilakukan di kantor senat mahasiswa atau di kafe-kafe. Terlalu berbahaya. "Satu-satunya tempat paling demokratis di Mesir adalah toilet umum. Kau bisa menuliskan caci-maki kepada pemerintah di dinding toilet."
Awalnya belum terpikir untuk membuat aksi, apalagi besar-besaran seperti yang terjadi belakangan. "Kami membuat gerakan anti-Mubarak di Twitter dan ternyata responsnya baik," kata Gala. Semakin hari semakin banyak yang terlibat dalam perbincangan itu, sehingga mereka berpikir untuk membuat dukungan di dunia maya ini menjadi nyata. "Harus menjadi satu gerakan massa yang nyata agar suara kami didengar, harus turun ke jalan. Kami tinggal mencari momen yang pas."
Dan waktu yang tepat itu adalah 25 Januari. Pemilihan waktu ini amat menentukan. "Jika terlalu cepat, mahasiswa enggan turun, karena mereka masih sibuk ujian. Jika terlalu lambat, momentum Tunisia akan hilang," ujar Hoda, mahasiswi berambut pirang yang lututnya terluka dalam demonstrasi. Maka dipilihlah tanggal di hari-hari awal liburan musim dingin. Tak ada rapat-rapat khusus, tak ada komandan, semua diputuskan di Twitter. Mereka tak melibatkan partai oposisi atau gerakan perlawanan yang sudah lama bergerilya di bawah tanah, seperti Ikhwanul Muslimin. "Ini adalah gerakan pemuda Mesir, tak ada politikus yang menginginkan kekuasaan," kata Gala.
Selain tidak melibatkan politikus senior, gerakan itu dilakukan para pemuda yang selama ini tidak peduli kepada politik. "Ini semua dilakukan anak muda yang dulu apolitis dan kini memilih turun ke jalan," ujar Sharif Kouddous, keponakan budayawan oposisi Mohammed Abdel Kouddous, dalam salah satu tweet-nya.
Ahmed, misalnya. Berbeda dengan Gala dari Universitas Ain Shams, yang mahasiswanya kerap berdemo, Ahmed adalah mahasiswa American University, yang selama ini terkenal hedonis dan tak peduli sama sekali kepada politik. "Dulu kami menganggap politik tak berpengaruh pada kehidupan kami. Tapi belakangan ini semua berubah. Harga-harga melambung dan sarjana susah mencari kerja," kata Ahmed.
Sebelumnya, pada 2005, muncul juga gerakan yang didukung oleh mereka yang awalnya tak terlibat politik. Namanya Kefaya atau Cukup. Nama panjangnya adalah El-Haraka el-Masreyya men agl el-Taghyeer atau Gerakan Mesir untuk Perubahan. Pergerakan mereka pun mulai tumbuh dan merangkul para politikus lintas partai. Inilah untuk pertama kalinya politikus dari berbagai partai-sosialis, komunis, Islam, Nasrani-berkumpul dalam satu wadah. Sayang, pergerakan ini tak berumur panjang. Tak sampai setahun, mereka bubar karena banyak aktivisnya yang ditangkap. Para politikus senior menganggap mereka "orang biasa yang menginginkan demokrasi tapi tak siap berkorban".
Tiga tahun kemudian, saat terjadi demam Facebook, gerilya lewat Internet pun dimulai. Media ini dianggap lebih aman daripada berkumpul bersama seperti yang dilakukan Kefaya. Harakah Shabab Sadisa Abril atau Gerakan Pemuda 6 April adalah yang paling mencorong. Mereka menggunakan Facebook untuk menggalang dukungan bagi para buruh di kota industri El-Mahalla el-Kubra pada April 2008. Diskusi yang dibangun oleh Ahmed Salah dan Ahmed Maher ini berhasil menarik perhatian 70 ribu orang. Sayang, situs ini berhenti pada 2009 karena para administratornya ditangkap dan situs mereka di-hack.
Mungkin saat itu momennya kurang pas dan isu yang dibawa terlalu lokal. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dengan Gerakan 25 Januari. Isu yang mereka bawa lebih luas dan menyentuh semua orang: krisis ekonomi. "Ternyata tidak sulit mengajak pemuda Mesir turun ke jalan," kata Gala. "Ini karena kebanyakan dari mereka sudah lulus sekolah, bahkan sarjana, tapi sangat sulit mencari pekerjaan, sulit melewati hari demi hari karena harga yang terus naik."
"Ini seperti bom waktu yang siap meledak," kata Prof Dr Abd al-Hamid Hassan al-Ghazali, mantan kepala biro politik Ikhwanul. "Kekecewaan yang terus-menerus diterima rakyat Mesir akhirnya sampai ke titik klimaksnya. Kemiskinan dan pengangguran yang menghantui antara lain menjadi faktor terjadinya semua ini."
Meski yang pertama bergerak adalah kelompok muda berpendidikan, belakangan kelompok lain yang tak mengenal Internet pun ikut turun ke jalan. Misalnya Hassan Kareem, 36 tahun, seorang sopir taksi. Sejak 25 Januari lalu, dia memiliki kesibukan baru: menjadi koordinator demonstrasi. Ia mengumpulkan massa yang tak terjangkau Twitter. "Ya, dari kedai-kedai kopi di pinggir jalan, dari kerumunan massa yang memiliki keresahan sama bahwa miskin itu tidak enak dan pemerintah harus mengubah kebijakan ekonomi menjadi prorakyat agar terbuka lapangan kerja," ujarnya.
Ia dan teman-temannya mengatur rute jalan yang bisa dilalui, yel-yel apa saja yang harus diteriakkan, dan sebagainya. Ini semua dilakukan secara spontan tanpa melibatkan organisasi resmi. Bahkan pembagian makan pun mereka lakukan dengan spontanitas. "Entah dari mana, ada saja yang membagikan roti dalam jumlah besar, kadang jus buah," katanya. Para demonstran juga mengatur keamanan dari penyusupan provokator. Mereka yang masuk ke Midan Tahrir digeledah untuk memastikan tidak ada senjata tajam atau benda berbahaya lain. Bahkan sampah pun mereka pungut sendiri dan mereka kumpulkan di beberapa sudut. Semuanya rapi, meski tanpa komando yang jelas.
Memang sempat terjadi bentrokan dan kemarahan yang tak terkendali. Pada 28 Januari, terjadi bentrokan besar antara demonstran dan polisi. Sejumlah mobil polisi rusak dan hangus. Kantor pusat Partai Nasional Demokrat-nya Mubarak di Tahrir dibakar. Bahkan sejumlah penjara dijebol-meski ada dugaan para penjahat sengaja dilepas untuk membuat suasana kacau. "Kerusuhan itu terjadi bukan karena kami menyerang. Itu hanya reaksi dari serangan polisi," kata Ahmed. Setelah itu, polisi ditarik dan keamanan sepenuhnya di tangan tentara yang berjanji tak akan melepaskan tembakan.
Meski di lapangan tak bermasalah besar, ketiadaan komando, organisasi resmi, dan tokoh utama ini membuat pemerintah kesulitan saat ingin mengajak mereka berdialog. Dalam pidatonya Selasa pekan lalu, Mubarak memang mengajak kelompok oposisi berdialog. "Tapi dengan siapa kami berdialog? Para pemuda itu terbagi-bagi dalam banyak kelompok kecil," kata Wakil Presiden Umar Sulaiman kepada stasiun televisi Nile. Sulaiman mungkin bingung karena dia tak punya akun Twitter.
Pemerintah akhirnya merangkul Partai Wafd dan Partai Tagammu untuk berdialog. "Kami mau berdialog, justru untuk melaksanakan tuntutan para pemuda di Midan Tahrir," kata Dr El-Sayyid el-Badawy Shahhata, Ketua Umum Partai Wafd, kepada Tempo.
Selain tak ada pemimpin, para pemuda di Midan Tahrir memang tak menginginkan adanya dialog. "Kami hanya ingin dia turun sekarang. Tak ada yang harus didiskusikan," kata Hoda. Itulah mengapa, setelah Mubarak mengajak berdialog dan berjanji tak mencalonkan diri sebagai presiden lagi, para penentang pemerintah masih memadati Midan Tahrir pada Rabu dan Kamis. Puncaknya Jumat pekan lalu. Selepas salat berjemaah, para tweeps (tweet people, sapaan untuk pengguna Twitter) itu berteriak penuh semangat: ruhi atau pergi Mubarak!
Sumber: tempointeraktif.com I Penulis: Qaris Tajudin, Akbar Pribadi Brahmana Aji (Kairo) I Admin: FA
0 komentar:
Posting Komentar