Permukiman padat penduduk di tepi rel kereta api di kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (7/1/2011) |
Jakarta,- Sepintas melintas di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, kondisinya seperti permukiman biasa. Namun, di antara rumah itu, terselip gang-gang. Sebagian selebar kurang dari 1 meter. Di kiri kanan gang itu berdiri rumah petak dengan penduduk yang tidak sedikit.
Walau gang sempit dan sanitasi pas-pasan, Carsinem bertahan di situ, di rumah petak bersama suami dan seorang anaknya. Rumah itu berada di RT 04 RW 05 Kelurahan Tanah Tinggi.
Di seberang rumahnya, tinggal Herlina—anak sulungnya—bersama keluarganya. Herlina juga tinggal di rumah petak.
Kehidupan Carsinem ditopang dari ketan-serundeng yang setiap hari dimasak olehnya. Lantaran rumah yang terlalu sempit, Carsinem memasak di depan rumah. Ketan yang sudah matang sebagian besar dijual Herlina. Ada pula tetangga yang turut mengambil ketan dan menjualkan ke pasar.
Herlina biasa membawa dagangan itu ke Pasar Gembrong yang tidak jauh dari rumah mereka. ”Selain ketan, saya juga menjual susu kedelai,” kata Herlina.
Dari hasil menjual ketan, Carsinem bisa mengantongi keuntungan Rp 50.000 per hari. Itu kalau semua dagangan habis terjual. Jika tidak, tentu hasilnya tidak sampai segitu.
Uang itulah yang digunakan Carsinem untuk mencukupi makan sehari-hari dan aneka kebutuhan. Kebutuhan harian yang dikeluarkannya, antara lain, untuk membayar uang pakai kakus sebesar Rp 500 sekali pakai.
Hal serupa terjadi di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Sebagai kecamatan kedua terpadat di DKI Jakarta, sejumlah gang di kecamatan ini juga ditumbuhi rumah petak yang rapat. Kondisinya mirip dengan Johar Baru, lengkap dengan gang sempit dan rumah sempit yang dihuni banyak orang.
Samin (70), salah seorang warga RT 02 RW 03 Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, mengatakan, pertumbuhan penduduk diikuti dengan menjamurnya rumah di setiap jengkal lahan yang ada. Akibatnya, pemandangan di tempat itu hanya melulu rumah tinggal yang berimpitan, menjulang hingga dua atau tiga lantai, menutup semua pemandangan di luar perkampungan itu.
Kepadatan tidak hanya terjadi di luar rumah Samin. Di dalam rumahnya sendiri, kepadatan itu juga sangat terasa. Rumah ukuran 4 meter x 8 meter berlantai dua itu harus dihuni oleh 18 orang, yaitu Samin, istrinya, kedelapan anaknya, empat menantu, dan empat cucu. ”Semua tinggal di sini, makan di sini,” ujarnya.
Mereka menempati kamar-kamar kecil di lantai atas rumah yang terbuat dari papan dan kayu. Samin membuka warung makan kecil yang mengambil sebagian ruang tamu dan teras rumahnya.
Kepadatan di sekitar tempat tinggalnya, menurut Samin, sudah mulai terjadi sekitar 1980-an. Makin kemari, jumlah pendatang ke tempat itu makin tidak terkendali.
Gang-gang sempit antarrumah pun dimanfaatkan untuk memasak, mencuci, dan kegiatan rumah tangga lain. Di salah satu gang, Gang Venus, suasana terasa pengap dan gelap karena tidak mendapat sinar matahari. Langit tertutup bangunan yang menyatu di bagian atasnya.
Tidak hanya itu, kepadatan penduduk yang teramat sangat juga memudahkan terjadi pergesekan sosial antarwarga yang berujung pada berbagai kejadian, seperti tawuran. Di Johar Baru bahkan sedikitnya ada tiga titik lokasi tawuran. Di Tambora, menurut Cholil, Ketua RW 3 Jembatan Besi, tawuran antarpemuda bisa terjadi hampir setiap pekan.
Kohesi sosial
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Fadhil Imran, dalam karya tulisnya berjudul ”Determinan Ekologi terhadap Kejahatan” menyebutkan, ada dua penyebab munculnya kejahatan di kawasan kumuh padat, yaitu kondisi fisik lingkungan yang kumuh dan miskin infrastruktur serta lingkungan sosial yang tidak bersahabat.
Dari dua penyebab itu, lingkungan sosial menjadi penentu utama. Lingkungan sosial ditentukan dua hal, yaitu tingkat kepadatan penduduk dan kohesi sosial.
”Semakin padat kawasan kumuh, kawasan tersebut akan semakin tertekan kemiskinan. Semakin kawasan tersebut tertekan kemiskinan, semakin lemah kohesi sosial di kawasan tersebut. Semakin lemah kohesi sosial, semakin tinggi tingkat kejahatan,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.
Sistem dan struktur sosial pun kemudian berubah dan ditentukan tingkat pendapatan seseorang tanpa melihat lagi halal haramnya pendapatan. ”Yang terbentuk kemudian hubungan patron client dunia kejahatan jalanan di lingkungan tersebut,” ujar Fadhil.
”Solusi jangka pendeknya adalah mengurangi luas kawasan kumuh sampai pada titik minimal syarat sosial sebuah komunitas kawasan dipenuhi,” ucapnya.
Kepala Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat mengatakan, setiap orang membutuhkan minimal 10 meter persegi untuk ruang pribadi.
Padatnya penduduk di permukiman dan kemiskinan merupakan faktor risiko yang memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Setiap individu memiliki kapasitas atau kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada.
Untuk itu, pembangunan perkotaan perlu memerhatikan keberadaan ruang publik yang bisa digunakan masyarakat untuk melepas stres dan berinteraksi dengan sesama.
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto berpendapat, lonjakan jumlah penduduk tanpa diimbangi pertambahan peluang ekonomi akan membuat kemiskinan yang dialami masyarakat makin meluas dan mendalam. Tekanan kemiskinan yang parah membuat masyarakat frustrasi dan dilampiaskan dalam berbagai perilaku negatif, mulai sikap anarki hingga bunuh diri.
Diperlukan langkah berani untuk menata kawasan itu. Pembangunan rumah susun sudah sangat mendesak, begitu pula dengan penertiban bangunan yang melanggar ketentuan, penindakan pemakaian listrik ilegal, serta pendataan dan pengawasan arus keluar masuk penduduk.
Kalau tidak, kawasan kumuh di Jakarta tidak akan pernah hilang. (MZW)
Sumber: Kompas.com I Penulis: Fransisca Romana, Agnes Rita S, dan Windoro Adi I Editor : A. Wisnubrata I Admin: FA
0 komentar:
Posting Komentar