Sabtu, 15 Januari 2011

Cukong Malaysia Raja Hutan Kalimantan (3)

Pengusaha besar asal Malaysia leluasa memainkan kayu Kalimantan. Memanfaatkan aturan pemerintah, pejabat daerah, ketua adat, dan warga lokal.



Yosep Unja juga bekerja pada Hengking. Kontraktor kayu ini asal Ukit-Ukit, Embaloh Hulu. Unja mempunyai garapan di Limpasuk, sekitar 40 kilometer dari Badau. Untuk membawa kayu menuju Badau ia membayar sewa truk Rp 175 ribu.

Sama seperti Anton, ia juga tak mau sekadar sebagai penonton di daerahnya sendiri. Apalagi harga kayu cukup lumayan. Ada cukong kayu dari Malaysia sebagai pembeli dan pemberi modal kerja. Dan, ada peraturan memberikan izin pembukaan dan pemanfaatan hasil hutan 100 hektare. 
Cukong kayu Malaysia juga berebut kayu. Mereka berusaha memberi pelayanan terbaik bagi para kontraktor. Menurut Unja, cukong paling bagus Hengking. Sebab, kalau warga perlu, dia gampang membantu. Kalau kayu datang, Hengking langsung bayar. “Dia selalu bawa stok uang,” kata Unja. Kontraktor menjual kayu senilai Rp 50 juta langsung pinjam Rp 50 juta juga akan diberi.
Unja menuturkan, ada sekitar 20 cukong kayu di perbatasan yang menampung dan mengusahakan langsung kayu dari Indonesia. Antara lain Ngu Tung Peng alias Apeng, Hengking, Robin, Hendri, Simon, Lily, Aseng, Ling, dan Simon.
Anas dari World Wildlife Fund Kalimantan Barat mengatakan, cukong warga lokal juga banyak. Misalnya Shaang, Yusuf, dan Sawang dari Lanjak; Imelda dan Edmundus dari Ukit-Ukit; Haji Ali dari Jongkong; Sukardi dari Jawa Timur; Dadang dari Semitau; B Saren dan Mathias Eges dari Benua Martinus;  serta Agap dari Bukung.
Unja membawa kayu langsung ke Hengking. Harga kayu cukup berfariasi. Tiap tan meranti dihargai 400-600, jelutung 700 ringgit, kayu kapur 400-600, dan ramin 800-1.500 ringgit. Kayu ramin ada kategori A, B, dan C.
“Kayu ini diekspor ke Jepang, Singapura, dan Thailand. Ramin digunakan sebagai bahan  bangunan  dan  alat  rumah  tangga. Harganya mencapai 900 dolar tiap satu tan,” kata Anas. 
Ketika usaha kayu ditutup, Unja rugi Rp 30 juta. Ia harus membayar karyawan, transportasi kepulangan karyawan, dan lainnya. Belum lagi kayu yang tak bisa diangkut dan dijual.
Selain menampung kayu dari para kontraktor, cukong dari Malaysia juga mendirikan sawmill di Indonesia. Awalnya kayu-kayu persegi dibawa langsung ke Malaysia. Karena tak ada gangguan, orang Malaysia mendirikan timber atau pengolahan kayu sendiri.
“Kalau dari awal dicegah masuk, tidak akan ada illegal logging,” Matius, warga Dusun Tematu, Lanjak.
Matius bingung, mengapa orang Malaysia bebas masuk ke Kapuas Hulu. Tak mungkin orang Jakarta tak tahu. Ia anggap pemerintah Indonesia malu-malu untuk mengambil cukai. Padahal, kalau mau memfasilitasi pendirian sawmill yang dikelola pemerintah, uangnya bisa untuk pembangunan di Kalbar. Sebab, sawmill ada SPTH-nya. Ada SPK. Sehingga ada pemasukan bagi masyarakat. Akhirnya, cukai diambil raja-raja kecil di kampung dan uangnya untuk kepentingan sendiri. Padahal, uang dari hasil kayu miliaran rupiah.
Malaysia mendirikan perusahaan yang menampung kayu ilegal dari Indonesia. Setiap kayu yang masuk diberikan sertifikasi, sehingga menjadi kayu legal. Setiap tan membayar 15 ringgit. “Kayu yang dibawa ke Malaysia betul-betul grade A. Kayu tak ada noda atau pecah,” kata Matius.
Negosiasi pembuatan sawmill ataupun pengusahaan kayu berada di rumah betang. Setelah mendapat uang, biasanya rumah betang berganti dengan beton. “Itu salah satu ciri dari adanya sawmill atau aktivitas illegal logging,” kata Matius.
Matius pernah bekerja sebagai manajer di sawmill. Sebuah sawmill membutuhkan 200-300 balok. Sistem kerja tiga shift. Ukuran kayu 15x9 cm dengan panjang 16 kaki. Ukuran kayu 12x9 cm dengan panjang 14 kaki.
Di Kecamatan Batang Lupar ada tujuh sawmill. Di Guntul ada sawmill paling besar, milik Apeng. Sawmill itu punya 8 mesin gergaji pita (bend saw), 2 gergaji pembelah (break down), dan 8 pemotong (cutter). Bend saw merupakan mesin penggergaji statis bagi kayu gelondongan. Pekerja di Guntul ribuan. Mereka datang dari seluruh wilayah di Indonesia. Terutama dari Sambas, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Di Sumpak terdapat 2 bend saw dan 1 mesin pemotong. Di Tematu ada 2 bend saw, 2 pemotong, dan 1 pembelah. Di Sepan ada 2 bend saw dan 1 pembelah. Di Sungai Luar ada 3 bend saw, 3 pemotong, dan 1 pembelah. Di Ukit-Ukit ada 1 bend saw dan 1 pemotong. Di Kelawik ada 3 bend saw, 2 pemotong, dan 1 pembelah.
Di Kecamatan Embaloh Hulu ada 1 sawmill. Di Kerangkang terdapat 4 bend saw, 4 pemotong,  dan 1 mesin pembelah.
Henri Jali, Kepala Dusun Sungai Luar, menyerahkan wilayah hutannya kepada Mr Ling, cukong Malaysia. “Fee untuk rumah betang 25 ribu ringgit,” katanya. Saat itu 1 ringgit senilai Rp 2.200.
Jali sudah lama menjadi kepala dusun di rumah betang Sungai Luar. Pekerjaan warga di rumah betang menoreh karet di Malaysia. Pada saat “bisnis” kayu marak, warga mengerjakan sendiri kayu dan bekerja sama dengan perusahaan Malaysia. “Perusahaan tidak sengaja masuk. Ada warga yang mengajak toke masuk,” kata Jali. Toke merupakan sebutan untuk pengusaha dalam bahasa China.
Perjanjian dengan warga, boleh mengambil kayu, tapi harus membangun rumah betang yang ditinggali warga. Kayu jenis tertentu, seperti kayu belian, tak boleh diambil. Kayu itu untuk membangun rumah. Kayu di gunung tidak boleh ditebang lagi, karena warga takut kehilangan sumber air.
Mr Ling mempunyai dua orang sebagai pemimpin di sawmill, yaitu Ayu dan Acien. Ketua Dusun Luar, Hen. Wakil, Awa. Bagian lapangan, Paulus Jimbau. Setelah era kayu berakhir, Jimbau menjadi anggota DPRD Kapuas Hulu. 
Sawmill di Sungai Luar punya 7 bend saw dan 1 mesin pembelah. Sistem kerja harian, pakai tan. Bagian sawmill sehari dibayar Rp 100 ribu dan bagian bend saw Rp 150 - 300 ribu. 
Warga setiap hari ke Malaysia, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Beli gula, kopi, beras, dan lainnya. “Dulu, bukan main (berlimpah) makanan. Sekarang, makan ayam sebulan sekali saja sudah lumayan,” kata Iding.



Rumah betang terdiri atas 30 pintu. Listrik untuk penerangan menggunakan generator kecil yang mampu membuat 200 lampu menyala. Di kamp ada ratusan lampu. Sawmill ada 2 generator berkekuatan 5 ribu watt dan 25 ribu watt.

Kayu dari Sungai Luar dibawa ke Pelabuhan Sibu, Sarawak. Selanjutnya diekspor ke Jepang dan Korea. Mereka punya log yard atau lapangan untuk kayu log di Badau. Juga ada log pond untuk kayu log di danau.
Selain menjarah hutan secara manual dan mekanis, pembabatan hutan juga dilakukan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
Seperti yang dilakukan Zulkifli sekitar tahun 2000. Dia bersama kakak dan beberapa orang menebang kayu di sekitar hulu Sungai Sibau. “Kayu ditebang dan dibiarkan dulu di sungai,” kata Zulkifli. Agar orang tidak masuk ke wilayah itu, bagian masuk ke sungai ditutup beberapa kayu gelondong. Kayu dipasang melintang. 
Setelah terkumpul, kayu gelondong diikat sebagai rakit. Lalu dibawa dengan cara menghanyutkan dan mengikuti aliran sungai hingga ke Putussibau. Perjalanan butuh waktu sehari semalam. Sesampai di Putussibau, ada pedagang pengumpul. Dari Putussibau, kayu dibawa ke Danau Sentarum.
 
“Uang sangat berlimpah saat itu,” kata Zulkifli. Dia selalu menabung. Dari main kayu, dia bisa membuat rumah, membeli kendaraan, dan lain-lain. Berbeda dari keluarga kakaknya. Begitu kayu habis, habis juga uangnya.
Cukong Besar
Bicara soal pembalakan liar di Kapuas Hulu, tak bisa dipisahkan dari Ngu Tung Peng alias Goh Tian Tek alias Syamsul Bahri alias Apeng. Pria ini merupakan orang paling dicari pihak keamanan Indonesia. Namun, dia juga dianggap dewa penolong bagi warga di wilayah Kapuas Hulu bagian perbatasan dengan Malaysia.
Apeng pemberani dan pekerja keras. Ia berasal dari suku Pucau. Di daratan China, suku ini terkenal berani. Apeng selalu membawa senjata di bawah jok mobilnya. Ada mandau, senjata laras pendek dan panjang, hingga soft gun.
Apeng memiliki lahan kayu di berbagai wilayah dunia yang ada hutannya, seperti Indonesia, Kamboja, Thailand, Brasil, dan Afrika. Ia pernah membabat hutan di Lhoksumawe, Aceh, sekitar tahun 1980-an. Apeng juga membabat hutan di Sorong, Irian Jaya.
Di Thailand, Apeng harus berperang dengan pasukan pemberontak pemerintah, sebelum membabat hutan di sana. Jadi, ketika dia membabat hutan di Kalimantan, ia anggap biasa saja. Sebab, tak perlu menggunakan senjata. Cukup mendatangi para ketua adat dan dusun. Bernegosiasi dengan pejabat di pemerintahan serta aparat kepolisian dan TNI.    
Apeng menghadiri pelantikan Usman Dja’far sebagai Gubernur Kalbar (2003-2008) di gedung DPRD. Ia mengenakan dasi dan pakaian resmi. Sebagian besar orang tak mengenalnya.
Apeng pernah beristri orang Dayak Iban. Ia pandai bahasa Iban. Setelah itu, menikah dengan Wati, perempuan Jawa yang ditemui ketika membabat hutan di Aceh. Dia mendapat dua anak dari Wati.
Apeng operator lapangan. Dia punya perusahaan Green Atlantic di Sibu, Sarawak, Malaysia. Pemimpin perusahaan Robert Ngu, adiknya. Ketika masuk ke Kapuas Hulu, awalnya Apeng sebagai rekanan PT Plantana Rasyindo. Rasyindo singkatan dari Roni Azwar Anas. Roni anak Azwar Anas, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998. 
Sebagai kontraktor, Apeng menghadiri land clearing atau pembersihan lahan PT Plantana. Land clearing merupakan salah satu cara atau kedok untuk mendapatkan kayu. PT Plantana bergerak di bidang perkebunan. Saat itu perusahaan mengusahakan lahan perkebunan seluas 60 ribu hektare di Badau, Lanjak, dan Kantuk. Mereka juga membuat pembibitan sawit.
PT Plantana sempat memiliki lahan seluas 1.500 hektare. Tak sabar mengikuti proses perkembangan perusahaan, Apeng bergerak sendiri mencari kayu. Apeng menggunakan celah dari peraturan pemerintah. Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan Kabinet Indonesia Bersatu, 1999-2000, memberikan izin kepada warga memanfaatkan hutan seluas 100 hektare dan 5.000 kubik kayu. 
Memanfaatkan peraturan tersebut, Apeng mendirikan koperasi dan mendanai warga membuat izin pemanfaatan kayu. Untuk mendapatkan izin, koperasi harus merogoh sekitar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta. Izin tersebut selesai dalam waktu sebulan. “Yang memberikan izin tentu bupati,” kata Hefni.
Bupati Kapuas Hulu saat itu, 1995-2000, Yakobus Frans Layang. Setelah itu Abang Tambul Husin. Ia menjadi bupati periode 2000-2005 dan 2005-2010. Tambul Husin sangat tertutup dan tak mau berkomentar mengenai pembalakan liar di Kapuas Hulu.



Ketika 100 hektare habis, warga bisa minta izin lagi. Karena koperasi membayar pajak, hal itu dibolehkan. Ada penyalahgunaan pada peluang yang diberikan. Yang semula 1 hektare, akhirnya satu benoa dikuasai. Izin 100 hektare tak dikontrol dalam pelaksanaannya. Izin dekat rumah, tapi kerjanya di hulu sungai.

Saat itulah timbul istilah illegal logging. Adanya perusahaan besar yang masuk membuat hal itu bisa dilaksanakan. Faktor orang dalam yang mengajak investor masuk turut memperparah pembalakan liar. Akhirnya setiap kampung membuat sendiri. Proses jual belinya juga gampang. Bahkan, asal ada lokasi, akan mudah membuka hutan. Kearifan lokal menjadikan hutan sebagai alam yang harus dipelihara pun hilang.
WWF Kalbar melaporkan pembalakan liar 2002-2004 di TNBK, penebangan dan penjualan kayu di kecamatan sepanjang perbatasan sudah berlangsung sejak empat tahun (1999). Menurut Camat Badau Parbubu LT Thobing, hal ini didukungPemda Kapuas Hulu. Latar  belakang penebangan ini, isu masuknya perusahaan perkebunan antara duanegara yang berlokasi di sepanjang perbatasan dengan Sarawak (Malaysia).
Pertimbangan bupati saat itu, Yakobus Frans Layang, jika kerja sama perkebunan ini benar-benar terlaksana, masyarakat adat diperbolehkan mengerjakan kayu dan dijual ke Malaysia. Mengapa ke Malaysia? Negara ini membeli kayu dengan harga di atas standar, mudah transportasinya, serta urusan birokrasinya tidak berbelit-belit. Cukup dengan uang muka alias tutup mulut, kayu mereka pun lolos.
Humas Polda Kalbar AKBP Suhadi mengatakan, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Polda telah mencatat 15 perusahaan milik Apeng beroperasi di Kalbar. Semua perusahaan menggunakan nama koperasi unit desa (KUD) dan koperasi simpan pinjam. Dengan memiliki koperasi, Apeng leluasa mendapatkan izin pembukaan lahan hutan 100 hektare, sesuai izin hak pengusahaan hutan 100 hektare yang pernah dikeluarkan pemerintah.
Padahal, sebagai warga negara asing, Malaysia, Apeng tidak berhak membuat koperasi dan dapatkan hak pengelolaan hutan. “Aktivitas yang dilakukan Apeng merupakan kejahatan,” kata Suhadi.
Laporan WWF Kalbar mengenai pembalakan liar menyatakan, “Untuk mendapatkan dana dari pemerintah dan menghidupkan koperasi, sebagian koperasi berusaha dengan cara membuat ukiran dan seni, serta pengadaan sembako. Mereka membuat pintu ukiran dari kayu panyau. Pintu ini dijual ke Putussibau dan Pontianak dengan harga Rp 500 ribu – Rp 700 ribu per pintu. Koperasi ini titipan Imelda (sepupu Bupati Yakobus Frans Layang), dengan tujuan membuka hutan untuk mendapatkan kayu. Imelda juga menjadi pembeli dan penampung kayu. Ia menguasai pembelian kayu di Sungai Labian (Ukit-Ukit) dan sekitarnya sampai ke daerah  Mungguk.” 
Izin yang diberikan Menteri Kehutanan akhirya dievaluasi dan dicabut pada tahun 2005. Sebab, izin banyak yang bermasalah dan menunggak pajak. Karena itu, ketika dinyatakan masuk daftar pencarian orang (DPO) Apeng tak terima. Sebab, dalam mengerjakan berbagai proyek kayu dia mendapat izin resmi dari pemerintah. Dalam hal ini bupati sebagai kepada daerah. 
Hingga sekarang Apeng masih berstatus sebagai DPO. “Kalau ada yang melihat dan mengetahui keberadaannya, harap beri tahu polisi,” kata Suhadi.
Apeng selalu melibatkan masyarakat setempat. Orang-orang ditempatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ada yang menjadi sopir traktor, sopir eksafator, atau pengupas kayu. Pekerja harian dibayar Rp 30 setiap jam. Rata-rata orang bekerja 7-8 jam. Pekerjanya ratusan orang dari seluruh Indonesia. Orang dari Malaysia dan Bangladesh juga ada.
Daerah yang pertama dikerjakan di Seriang, awal tahun 2000. Kedua, Guntul, sekitar 2001. Ketiga, Mungguk, sekitar 2003. Keempat, Merakai, sekitar 2004. Setelah itu kayu diangkut ke Badau menggunakan truk. Lalu diekspor melalui pelabuhan besar di Kuching, Sarawak. Atau, menggunakan pelabuhan kecil di Serikai.
Metode yang dilakukan Apeng sebelum masuk adalah mendekati para ketua kampung.
“Nanti hutan kita dibuka. Buka peluang masyarakat. Kalau sudah marak, akan dibuka sekolah,” kata Antonius Leo, Temenggung di daerah aliran sungai (DAS) Labian, menirukan ucapan Apeng.
Temenggung adalah ketua adat bagi warga Dayak. Tugasnya menangani ketika ada tanah hak adat terlanggar pembalakan liar. Tanah sudah diadatkan. Kalau ada alat berat pembalakan liar lewat tanah merah, harus bayar adat. Ada kepercayaan warga, tanah merah bila terbongkar, harus dikembalikan lagi. Dendanya berupa potong babi, bayar parang, sirih, pinang, dan lainnya.
“Biasanya perusahaan tak mau tahu, alatnya apa saja. Pokoknya dibayar langsung sekalian,” kata Leo. Upacara adat dan sanksi Rp 5 juta. Uang itu untuk membeli perlengkapan upacara dan kebutuhan menyelenggarakan upacara adat. Setelah itu tanah tersebut didoakan.
Pada setiap aksinya, Apeng selalu berkata kepada warga, sudah mendapat izin dari pemerintah Kalbar. Untuk memuluskan usahanya mendapatkan kayu, Apeng memberikan fee pada rumah betang. Besarnya 10 ringgit tiap 1 tan. Ada orang kampung yang mencatat. Premi dibayar setiap bulan. Setiap kampung dibagi sama besar. Setiap pintu sekitar Rp 300-400 ribu.
Ia membayar honor ketua dan wakil ketua kampung. Pada tahun pertama, uang untuk ketua kampung Rp 1,5 juta dan wakil Rp 500 ribu. Tahun ketiga, ketua Rp 500 ribu dan wakil Rp 300 ribu. Apeng juga membayar orang yang dianggap vokal dan kritis. Sebab, orang itu dianggap dapat mempengaruhi warga di kampung atau rumah betang. Untuk menaklukkan orang ini, Apeng menggelontorkan uang Rp 300 ribu.
Apeng menyatakan pernah membantu membiayai pembangunan rumah dinas Kepolisian Resort Kapuas Hulu, kantor Polisi Sektor Embaloh Hulu di Desa Mataso, Kecamatan Embaloh Hulu, serta beberapa ruang di Polres Kapuas Hulu.
Humas Polda Kalbar Suhadi menyatakan, uang yang diperoleh Apeng merupakan hasil mencuri di Indonesia. Sehingga tidak jadi masalah jika uang itu digunakan bagi pembangunan di wilayah Indonesia. Karena uang yang ia berikan merupakan uang masyarakat Indonesia. Namun, membangun harus memiliki ketentuan dan mesti sesuai dengan daftar isian perencanaan anggaran (DIPA). “Jadi, untuk membangun itu tidak asal saja,” katanya. (bersambung)


Sumber: VHRmedia   I   Penulis: Muhlis Suhaeri

0 komentar: