Surabaya,- Sejumlah elemen masyarakat sipil, diantaranya Orbit, EJA, Kopenham, MTC, MMC, dan Mejacom meminta adanya alokasi anggaran khusus untuk penanganan HIV/AIDS dan NAPZA di daerah, dan mendesak segera sahkan Raperda Pengurangan Dampak Buruk NAPZA.
Menurut elemen ini. pemerintah belum optimal dalam menanggulangi HIV/AIDS. Apalagi pemerintah daerah, justru terkesan menunggu bola dengan mengandalkan program dari pemerintah pusat. Artinya, pemerintah daerah belum punya inisiatif sendiri dalam penanggulangan HIV/AIDS. Terbukti sampai saat ini penanggulangan HIV/AIDS ini masih menggantungkan dana dari asing, bukan dari APBD.
Dari catatan KPAN, anggaran untuk program pengurangan dampak buruk NAPZA, setiap tahunnya menghabiskan 15,7 juta US$. Rinciannya, setiap orang untuk terapi metadon setiap orangnya menghabiskan biaya 132 US$ per tahun. Dengan pengurangan dampak buruk NAPZA, bisa 140 ribu orang yang terselamatkan per tahunnya, dan menghemat dana US$ 76 juta.
“Sayangnya, program pengurangan dampak buruk, seperti pembukaan akses informasi, pencegahan penularan, dan pemulihan, justru dibiayai luar negeri. Padahal pengurangan dampak buruk, justru upaya nyata yang bisa mencegah penularan penyakit dengan biaya yang lebih murah ketimbang pengobatan,” seru elemen ini dalam siaran persnya.
Yang menyedihkan, penanganan AIDS melalui program pengurangan dampak buruk NAPZA tidak menjadi salah satu prioritas program utama kesehatan. Meski demikian, pos anggaran dari APBN untuk kesehatan terus meningkat setiap tahunnya. Dari Rp 6,51 triliun tahun 2005, kini menjadi Rp 21,39 triliun di tahun 2010. Sementara anggaran pada kementerian/lembaga berdasarkan fungsi kesehatan juga terjadi peningkatan dari Rp 5,84 (2005) triliun menjadi Rp 18 triliun (2010).
Di Jawa Timur, realitasnya juga sama dengan pemerintah pusat. Pada ABPD 2011 anggaran untuk kesehatan mencapai Rp 1,685 triliun. Sementara untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp 10,108 triliun, yang meliputi belanja tidak langsung sebesar Rp 5,355 triliun, dan belanja langsung sebesar Rp 4,753 triliun.
Mengacu pada data Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, mayoritas ODHA di Jawa Timur berasal dari kalangan usia produktif. Sementara pada tahun 2010 ini peringkat kasus HIV/AIDS di Jatim naik dari tahun 2009. Pada tahun 2009 kasus HIV/AIDS Jatim menduduki peringkat ketiga setelah Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Sekarang Jawa Timur naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah total 3.540 setelah Jawa Barat dengan total 3.599 orang.
Untuk itu pemerintah diminta proaktik, melakukan jemput bola, dengan memberikan alokasi anggaran khusus untuk program pengurangan dampak buruk NAPZA. Pemerintah provinsi Jatim sudah saatnya mengambil inisiatif sendiri menangani kasus HIV/AIDS jika tidak ingin jumlah orang terinfeksi HIV/AIDS makin meningkat.
Sumber: www.orbit.or.id I Admin: FA
0 komentar:
Posting Komentar